Kata "berbeda" tidak melulu selaras dengan kualitas sebuah film. Diperkosa Setan adalah suguhan berbeda, tapi terang bukan tergolong kategori bagus. Sudah sering saya tekankan, keklisean juga sanggup berujung karya berkualitas bila penggarapannya baik. Namun harus diakui, karya anti-mainstream punya pesona tersendiri, sebab menyaksikan suguhan model gres yang belum pernah/jarang kita temui merupakan pengalaman menarik. Gila Jiwa the Movie selaku perayaan 40 tahun karir Ria Irawan di dunia hiburan Indonesia jelas dibentuk bermodalkan semangat demikian: menyuguhkan karya anti-mainstream. Anthology bukanlah hal gres dalam perfilman tanah air, tapi lain dongeng jikalau tiap segmen mempunyai genre berlainan.
Gila Jiwa the Movie terdiri dari lima short beda genre dan digarap pula oleh lima sutradara: langgar (Julia Perez), komedi (Aming), horor (Ade Paloh), musikal (Afgansyah Reza) serta drama (Ria Irawan) Segmen langgar bercerita mengenai seorang superstar yang terjebak dalam konspirasi pembunuhan, komedi wacana kehidupan bocah berhijab bersama sang ibu, horor wacana rasa ingin tahu dua gadis mengenai ilmu hitam, musikal yakni kisah korban bully dan imajinasinya, sedangkan drama sekaligus penghubung kelima segmen bertutur mengenai empat dewasa dengan obsesi mereka membuat film anti-mainstream.
Permasalahan terbesar (baca: paling sering) di anthology movie terletak pada ketimpangan kualitas antara tiap short, begitu pula film ini. Suguhan langgar sebagai pembuka jadi paparan terlemah. Adegan agresi berhias koreografi ala kadarnya plus kekacauan naskah jadi penyebab. Alhasil ambisi berlebih biar ceritanya twisty malah terasa menggelikan. Setidaknya Julia Perez meski belum sanggup disebut anggun cukup pertanda kapasitasnya berakting. Andai tidak harus mengarahkan dirinya sendiri, penampilan Jupe berpotensi mengesankan (lihat saja Gending Sriwijaya). Bagian musikal punya kelemahan di kasarnya transisi adegan real world menuju musical number. Tata artistik adegan bernuansa broadway pun terlampau sederhana, sama sekali tak memanjakan mata sebagaimana seharusnya. Untung momen teatrikal yang lebih mengutamakan esensi gestur plus rasa daripada kemeriahan panggung, mencuatkan keindahan berkesan.
Bab komedi satir mempunyai penceritaan paling berpengaruh berkat keberhasilannya melontarkan kritik teruntuk kultur pemakaian hijab. Sekilas terkesan konyol, absurd, sekaligus nonsense, namun di baliknya terdapat kritikan tajam menggelitik, sebab memang selucu itu persepsi orang akan aturan menggunakan hijab dan bagaimana semestinya anak/wanita berperilaku. Ditambah kehadiran Tio Pakusadewo menggunakan jilbab tanpa melupakan bobot akting (karakternya tidak berujung karikatur dangkal). Horor garapan Ade Paloh mungkin bakal paling membingungkan bagi lebih banyak didominasi penonton jawaban liarnya progresi alur. Mengusung tema parallel universe, rasa surealisme minim eksplanasi tertuang kental mencipta keganjilan yang tak jarang memusingkan. Absurditasnya twisted nan menyenangkan walau kurang menyeramkan.
Persamaan keempat kisah di atas yakni nuansa abstrak ditambah pergerakan narasi acak kalau tak sanggup disebut kacau. Short penghubung garapan Ria Irawan jadinya memberi alasan teruntuk kekacauan tersebut. Alasannya memang terasa menggampangkan, sedikit "memaksa" penonton mendapatkan kekacauan itu, tapi paling tidak penyakit segmen penghubung dalam film antologi yakni "muncul sambil lalu" berhasil dihindari. Ria Irawan memberi cukup kekuatan pada kisahnya, bukan sekedar menjalankan kiprah menggabungkan tiap sisi penceritaan. Kekurangannya, selipan unsur meta berkaitan dengan niatan para sutradara Gila Jiwa the Movie terkesan membuat filmnya berusaha terlampau keras menjadi anti-mainstream sewaktu beberapa kali karakternya meneriakkan "ingin membuat film anti-mainstream". Seolah anda membuat film komedi yang rutin menyatakan "ini film komedi, lho."
Gila Jiwa the Movie merupakan film divisive. Kegilaannya bernarasi sanggup menimbulkan penonton benci atau malah jatuh cinta. Walaupun harus diakui sanksi konsepnnya belum berjalan maksimal, saya menerima pengalaman menonton menyenangkan. Rentetan keanehannya stabil menjaga ketertarikan saya, sehingga ketika sebuah segmen tersaji lemah sekalipun, senyum tetap sukses dihadirkan. Senyum tanda kepuasan pasca menikmati perayaan terhadap proses kegilaan berkarya tanpa tekanan. Di ketika seorang seniman berkarya tanpa paksaan bermodalkan kebebasan, ia akan menikmati, bersenang-senang membuat karya tersebut. Apabila proses kreatifnya semacam itu, perasaan serupa akan simpel tersalurkan kepada penonton. Itu yang terjadi pada Gila Jiwa the Movie.
Ini Lho Asing Jiwa The Movie (2016)
4/
5
Oleh
news flash