Rasanya cukup umur ini sulit menemukan horror yang punya kapasitas menakut-nakuti penonton ketika jump scare makin jadi primadona. Sehingga tidak mengherankan tiap kali suguhan macam itu hadir, kebanggaan setinggi langit senantiasa mengiringi. Setelah The Babadook dan It Follows, giliran The Witch karya sutradara debutan Robert Eggers mencuri perhatian, memunculkan cita-cita bahwa masih ada horror filmmaker dengan kemampuan membangun kengerian atmosfer secara efektif tanpa harus berusaha keras menjadi "critics darling" namun mengalienasi penonton awam alasannya filmnya terlampau berat untuk dinikmati. The Witch akan membawa anda kembali jauh menuju kurun 17, menjelajah hutan belantara New England guna menyibak diam-diam angker di dalamnya.
William (Ralph Ineson) beserta keluarganya gres saja diusir dari sebuah komunitas Katolik puritan akhir dituduh menentang hukum Gereja. Mereka pun pindah menetap di samping hutan sembari membangun kebun jagung demi memenuhi kebutuhan pangan. Beberapa bulan kemudian keluarga tersebut dirundung sedih kala bayi mereka, Samuel mendadak hilang. William berasumsi Samuel dimangsa oleh serigala, tapi istrinya, Katherine (Kate Dickie) menyalahkan sang puteri sulung, Thomasin (Anya Taylor-Joy) yang dikala itu tengah bertugas menjaga Samuel. William tetap berusaha meyakinkan keluarganya bahwa Tuhan akan selalu menawarkan perlindungan, namun kepercayaan mereka semakin terkikis, menghadirkan perpecahan tanpa tahu teror penyihir setia mengintai dari dalam hutan.
Sepanjang 88 menit durasinya, The Witch memang berjalan lambat, tapi bukan berarti Robert Eggers betah membuat penonton berlama-lama menunggu tanpa satu pun hal signifikan terjadi. Berbeda dengan arthouse horror di luar sana yang menghabiskan waktu cukup usang membangun atmosfer agar penonton bisa mencicipi kesunyian mencekam setting-nya, film ini hanya butuh sekitar tujuh menit hingga kecacatan pertama muncul hilangnya Samuel dan kita berkesempatan "mengintip" ritual disturbing sang penyihir. Daripada bertahap, pembangunan atmosfer, eksplorasi karakter, serta ekspo kengerian dilakukan secara bersamaan sehingga kita tak usah lebih dulu terjebak kebosanan menanti filmnya tancap gas.
The Witch tidak bergantung pada jump scare hanya muncul 2-3 kali melainkan pemanfaatan kolektif dari scary imagery lewat sinematografi Jarin Blaschke, creepy atmosphere hasil musik gubahan Mark Korven, juga eksplorasi dongeng melalui naskah goresan pena Robert Eggers. Rangkaian gambar film ini terasa mencekam tanpa perlu mengeksploitasi gore ataupun penampakan hantu berwajah mengerikan. Adegannya didominasi twisted situation berisi tingkah absurd binatang atau insan yang mengacaukan nalar logika kita, membuatnya justru semakin mengerikan. Terlebih Robert Eggers piawai merangkai gambar-gambar tersebut agar tidak bertebaran acak sekaligus membuat timing sempurna bagi terornya. Sedangkan musik karya Mark Korven selaku scoring film horor paling eerie selama beberapa waktu terakhir kolam menyiratkan teror mencekam yang perlahan mencengkeram.
Ditinjau melalui sudut pandang dongeng pun, The Witch menyimpan kekuatan sebagai folktale menyeramkan penuh aura kejahatan wacana goyahnya kepercayaan insan tatkala iblis mulai menyodorkan kecerdikan bulus memanfaatkan kelemahan kita. Bukan hal gampang menyaksikan bagaimana William dan keluarganya mulai terpecah belah meragukan satu sama lain. Terasa begitu jahat alasannya The Witch tidak (langsung) melukai fisik tokoh-tokohnya, melainkan menjatuhkan psikis mereka terlebih dahulu. Paparan unsur agamanya tak berusaha menjelekkan satu pihak, murni eksplorasi lemahnya keimanan seseorang dikala barisan doa sekedar terucap di verbal tanpa merasuk dalam hati, atau sebagai topeng guna menyembunyikan kelamahan dan ketidakberdayaan seseorang macam William yang nyatanya hanya andal membelah kayu. This movie shows how the devil drags us human into joining their side in a fucked up and eeriest way.
Ini Lho The Witch (2015)
4/
5
Oleh
news flash