Ini Lho Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015)

Banyak film biopic tidak lebih dari sekedar rangkuman data-data yang divisualisasikan. Penonton hanya diberi tahu wacana babak demi babak kehidupan sosok yang diangkat, tanpa diajak untuk mengetahui secara lebih mendalam. Seperti apa contoh pikirnya, dan siapa sejatinya sosok tersebut. Sesuatu yang tidak akan dipaparkan lengkap oleh data maupun catatan sejarah manapun. Saya yakin seorang Garin Nugroho bukan sutradara yang hanya asal merangkum data demi data. Pastilah muncul interpretasi berupa eksplorasi lebih dalam mengenai sosok yang diangkat. Hal itu sudah ia perlihatkan lewat Soegija tiga tahun lalu. Tidak hanya berfokus pada sosok Soegija, tapi juga esensi usaha dan ideologinya. Sebuah eksperimen yang bekerjsama kurang berhasil, dan Guru Bangsa Tjokroaminoto merupakan penyempurnaan dari eksperimen tersebut.

Kisahnya dimulai sedari masa kecil Tjokroaminoto hingga hijrah-nya ke Surabaya. Disanalah ia memulai usaha melawan kolonialisme Belanda. Sebuah babak gres usaha Indonesia yang tidak lagi memakai fisik dan kekerasan, melainkan otak dan strategi. Dari situlah Tjokroaminoto mulai membentuk Sarekat Islam (SI), perkembangan dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang telah dibekukan pemerintahan Belanda. Rumah Tjokroaminoto yang terletak di Peneleh, Surabaya juga merupakan daerah berguru bagi banyak tokoh yang kelak berperan besar dalam kemerdekaan Indonesia menyerupai Agus Salim hingga Koesno (Soekarno). Hadir selama 160 menit, Guru Bangsa Tjokroaminoto dirangkum dalam beberapa babak sebagai representasi tiap fase usaha sang tokoh. Durasi yang cukup usang itu nyatanya tetap tidak merangkum setiap sisi kehidupan Tjokromanito. Tapi dengan tujuan menghadirkan usaha yang didasari dua kata "Hijrah" dan "Iqra", timeline yang ada sudah mewakili dengan tepat tujuan tersebut.

Film ini bukan biopic yang "berani", dalam artian sosok Tjokroaminoto masih digambarkan sebagai seorang guru besar, ksatria piningit, raja tanpa mahkota yang mendekati kesempurnaan. Lewat banyak sekali konflik yang hadir pun penonton tetap digiring untuk meyakini bahwa segala langkah yang ia ambil ialah yang paling tepat. Konflik pergesekan yang bekerjsama dapat memunculkan perdebatan penuh keabu-abuan terjadi antara kubu Tjokroaminoto yang mementingkan perdamaian dengan kaum muda pimpinan Soemaun yang lebih radikal dan tidak ragu memakai kekerasan. Dua sudut pandang ini sesungguhnya dapat memunculkan kesan ambigu alasannya ialah tujuan mereka yang sama-sama ingin membebaskan Indonesia dari cengkeraman Belanda. Masing-masing punya kelebihan sekaligus kekurangan. Tapi disini sosok Soemaun ter-antagonis. Karakternya gampang dibenci sedangkan Tjokroaminoto sebaliknya.

Kekurangan tersebut seringkali menciptakan filmnya terasa tidak jauh beda dari buku-buku sejarah satu sudut pandang. Tujuannya memang untuk memperkenalkan sosok Tjokroaminoto sebagai guru besar yang luar biasa, dan untuk itu filmnya berhasil. Tapi sebagai aksara dalam film, sosoknya tidaklah begitu menarik. Tapi kemudian muncul pembeda. Sebuah pembeda yang menyebabkan film ini terasa spesial, bukan sekedar biopic berat sebelah. Unsur pembeda itu ada pada pengemasan Garin Nugroho. Meski dengan aksara utama yang tidak terlalu kompleks, Garin mengemas film ini bukan sekedar slide show tiap babak kehidupan Tjokroaminoto, melainkan visualisasi ideologi, berbasis dari dua kata: Hijrah dan Iqra. "Hijrah" bertujuan untuk menyebar luaskan perjuangan, mencari "tanah subur" bagi usaha itu. Sedangkan "Iqra" yang berarti "baca" merupakan perwakilan dari usaha yang mengutamakan otak kaum terpelajar. Kaum terpelajar yang dibuat oleh pendidikan dan berjuang dengan kecerdasan, bukan sekedar digerakkan kemarahan tanpa pikir panjang.

Dua hal itu disampaikan dengan sempurna, menawarkan jalur bagi ceritanya untuk bergerak. Sehingga meski terpecah dalam banyak sekali babak, tetap ada pengikat yang menyatukan semuanya. Tetap ada satu rasa dan satu nuansa yang begitu kental terpancar sepanjang film. Begitu baik pula cara Garin menangani unsur Islam yang kental dalam cerita. Banyak film wacana tokoh Islam khususnya dengan genre biopic di Indonesia hanya berakhir sebagai alat untuk menghadirkan ceramah demi ceramah tanpa esensi kuat untuk pengaruhnya pada cerita. Meski terlalu "sempurna" menggambarkan Tjokroaminoto, film secara keseluruhan bukanlah sekedar ceramah agama, bukan film religi. Nuansa Islam yang kental memang aspek signifikan yang melandasi dan menyokong usaha karakter-karakternya. Semuanya memang harus disampaikan tanpa maksud untuk sok suci. Hal itu menciptakan saya sama sekali tidak merasa digurui, tetap nyaman menikmati segala kebaikan sopan santun yang dihadirkan.

Mengemas film apapun, Garin tetaplah Garin. Sutradara yang kental dengan surealisme plus kecintaan pada banyak sekali jenis kesenian khususnya pertunjukkan di atas panggung teater. Lewat film ini Garin memperlihatkan cara luar biasa untuk menyuntikkan semangat surealisme dalam sebuah drama realis tanpa perlu merusak warna filmnya. Sebaliknya, kehadiran banyak sekali tarian, nyanyian dan adegan one take dengan kamera statis layaknya dokumentasi pertunjukkan teater menambah keindahan fillm. Saya begitu menyukai setiap film masuk pada adegan interogasi Tjokroaminoto di penjara. Menggunakan pewarnaan hitam putih dan teknik kamera menyerupai di atas, saya merasa menyerupai tengah menonton drama teater lewat koreografi gerak, blocking serta tata lampu menawan. Karakternya secara bergantian keluar masuk "panggung" menjadi spotlight dengan sosok sentral tetap dipegang oleh Tjokroaminoto. Semua itu didukung pula oleh tata artistik luar biasa. Setiap aspek mulai dari setting, properti hingga gerak kamera ialah kesempurnaan yang mewakili kematangan Garin Nugroho dalam bertutur.

Saat film memasuki tahap produksi dan saya mendengar Reza Rahadian sebagai Tjokroaminoto saya tidak ragu, hanya berujar "lagi-lagi dia". Tapi bagaimana lagi? Reza merupakan salah satu pemain drama terbaik Indonesia dikala ini. Bahkan mungkin yang terbaik alasannya ialah kematangan serta pengalaman yang telah ia punya. Semua itu ia buktikan disini. Wibawa dapat jadi sebuah kekakuan dikala sang pemain drama gagal menangani aspek tersebut, tapi Reza terang tidak. Harus banyak melakoni adegan orasi, ia begitu lancar. Hanya lewat satu momen saja, yaitu adegan pembuka dikala ia menatap kamera dengan tajam, menceritakan sedikit biodata singkat mengenai Tjokroaminoto saya sudah yakin bakal diperlihatkan performa terbaik sang pemain drama sepanjang karirnya. Reza Rahadian pun dapat bangun tegak, menonjol meski harus "berhadapan" dengan aktor-aktor lain yang banyak lebih senior juga berakting baik menyerupai Christine Hakim, Sujiwo Tejo, hingga Didi Petet. Faktor besarnya porsi bekerjsama turut kuat disini.

Bicara soal karakter, tentunya ada ciri khas Garin Nugroho yang kembali terasa, yakni kemunculan aksara yang sekilas tidak mempunyai porsi penting namun sejatinya mewakili sesuatu. Ada banyak, tapi salah satu yang paling berkesan ialah Stella yang diperankan Chelsea Islan. Paling berkesan alasannya ialah Stella bagaikan perwakilan bagi saya sendiri (baca: generasi muda Indonesia). Stella banyak mengajukan pertanyaan pada Tjokroaminoto sekaligus menyimpan impian dan memperlihatkan kepedulian pada kondisi bangsa. Pada suatu kesempatan, Tjokroaminoto menjawab bahwa seharusnya Stella yang mempunyai tanggapan atas pertanyaan yang ia ajukan. Sebagai penerus bangsa, kita memang "hanya bisa" berguru dari para tokoh sejarah, namun yang akan menjawab dan memilih nasib Indonesia di masa depan ialah kita sendiri. Selain Stella ada pula tokoh lain yang berfungsi sebagai simbol, mulai dari simbol kebodohan, keserakahan, rakyat kecil, dan lain-lain. Silahkan anda cari sebagai pencarian interpretasi yang menambah keasyikan menonton.

Verdict: Tidak sempurna, tapi Guru Bangsa Tjokroaminoto layak disebut sebagai puncak kematangan bertutur Garin Nugroho sehabis 30 tahun berkarya. Bercerita penuh makna dan menjadi penyatuan tepat realita dunia kasatmata dengan surealisme dalam kebebasan verbal seni. Salah satu film Indonesia dengan production value terbaik.