Apa yang bisa dinikmati dari sebuah film dengan secara umum dikuasai berisikan pertengkaran tanpa konklusi dan keheningan sebagai pengisi diantara pertengkaran itu? Sutradara asal Turki, Nuri Bilge Ceylan memperlihatkan bahwa kedua hal itu bisa menjadi studi huruf mendalam. Tapi saya merasa perlu memperingatkan bahwa pemenang Palme d'Or 2014 ini ialah definisi tepat dari sajian arthouse. Berjalan lambat ditambah durasinya yang mencapai 196 menit membuatnya bisa menjadi pengalaman menonton yang melelahkan. Seperti film sebelumnya, Ceylan masih membawa ceritanya ke tempat Anatolia, tepatnya pada sebuah hotel yang terletak di puncak gunung Cappadocia. Kesan natural begitu terasa disini, mulai dari pengambilan gambar yang mengeksploitasi hamparan pegununangan, hingga arsitektur hotel yang kebanyakan dikemas alamiah. Pemilik hotel ialah Aydin (Haluk Bilginier), seorang tuan tanah kaya dengan properti dimana-mana mulai dari hotel hingga rumah yang disewakan. Dulu ia ialah pemain drama teater, walau kini lebih berfokus menulis kolom di koran lokal dan berniat menulis buku ihwal sejarah teater di Turki.
Secara sekilas mungkin akan tercermin kehidupan tepat dari Aydin. Tidak hanya kaya dan hidup tenang di puncak gunung ia pun menikahi seorang perempuan manis yang berusia jauh lebih muda berjulukan Nihal (Melissa Sozen). Aydin juga tinggal bersama adik perempuannya, Necla (Demet Akbag) yang gres saja bercerai. Tapi ternyata kehidupannya tidak sebahagia yang nampak dari luar. Walau berstatus suami istri, interaksi antara Aydin dan Nihal tidak tampak menyerupai itu. Mereka tidak tahu ihwal aktivitas satu sama lain dan hampir tidak pernah bertegur sapa. Sekalinya terjadi pembicaraan, selalu hadir ketegangan. Ada rasa tidak suka yang terpendam. Hal itu terpancar terang dari verbal serta tatapan mata Nihal ketika berhadapan dengan sang suami. Bahkan pada sebuah kesempatan, ia bisa begitu ramah pada orang lain tapi berubah mendadak menjadi ketus ketika bicara dengan Aydin. Dengan Necla pun terjadi hal serupa dimana oborolan keduanya selalu berawal dari pertanyaan yang berujung pada perdebatan penuh sinisme. Seolah belum cukup, Necla dan Nihal pun sempat bersitegang.
Seperti yang saya sudah saya katakan, Winter Sleep dipenuhi dengan pertengkaran. Tiap ada interaksi antara tokoh utama hampir dipastikan bakal berujung pada perdebatan. Apapun yang diperdebatkan kita tidak pernah menerima konklusi dari topik itu. Semua berujung dengan ketiadaan kata setuju disaat salah satu huruf menentukan membisu atau pergi. Makara apa guna dari perulangan adegan semacam ini? Pada kebanyakan drama, obrolan entah konteksnya pertengkaran atau bukan sering dipakai untuk memberikan pesan atau tema film. Disini hal serupa pun terjadi, tapi bukan menjadi tujuan utama. Fungsi sejatinya ialah studi ihwal perasaan terpedam tiap orang. Apa yang mereka rasakan, bagaimana mereka memandang seseorang, hal-hal yang tidak pernah mereka luapkan semenjak lama. Diadaptasi dari dongeng pendek berjudul "The Wife" karya Anton Chekov, sosok yang banyak menghasilkan naskah teater, film ini membawa ciri itu dengan kuat. Tensi dan eksplorasi huruf dibangun lewat dialog.
Dialognya mengeksploitasi inner masing-masing huruf dan pertengkaran yang terjadi merupakan tabrak argumen dimana masing-masing tidak bersedia mengalah. Tensinya terjaga berkat ini, dan saya selalu berhasil dibentuk terpaku karenanya. Pada momen perdebatan dimulai, saya akan berpihak pada salah satu (biasanya Aydin) alasannya ialah beranggapan argumen lawan bicaranya tidaklah masuk akal. Tapi seiring berjalannya pembicaraan, keberpihakan itu tidak lagi bisa dipertahankan. Saat satu per satu argumen terungkap saya pun mulai merasa argumen tidak masuk logika itu ada benarnya, bahkan lebih tepat dari apa yang diucapkan Aydin. Begitu pula sebaliknya, secara terus menerus. Adegan semacam ini merupakan bukti bagaimana kuatnya obrolan film ini. Kata demi kata disusun untuk mewakili tiap huruf dan penuh argumen kuat. Disamping itu, Winter Sleep juga menyajikan cerminan realita ihwal pertengkaran. Kita semua niscaya pernah terlibat dalam pertengkaran dimana masing-masing pihak selalu kukuh dengan argumennya (khususnya dengan pasangan). Mungkin semua juga pernah mencicipi ketika dalam pertengkaran kalimat yang akan kita pakai sebagai "senjata utama" ternyata tidak bisa memenangkan perdebatan. Alih-alih meluluhkan, yang terjadi justru menambah sinisme lawan bicara.
Ada beberapa tema besar. Tema sosial menyoroti perbedaan antara si kaya dan si miskin. Aydin dan keluarganya ialah sosok kaya dengan kekuatan besar, sedangkan Hamdi (Serhat Kilic) dan keluarganya ialah si miskin yang tak berdaya. Winter Sleep lebih cerdas sekaligus kritis dalam mengangkat tema ini. Bukan sekedar memperlihatkan penindasan, tapi membawa penonton untuk mengamati dari sisi masing-masing pihak. Tentu saja lagi-lagi obrolan yang terjalin ialah senjata utama untuk memberikan itu. Kedua perwakilan utama dari tiap sisi punya huruf menarik. Aydin sebagai pihak kaya selalu berusaha menutupi keinginannya untuk berkuasa, dihormati dan berada di atas orang lain. Seperti ketika Hamid ingin membayar ganti rugi, Aydin selalu berkata "tidak usah repot-repot" tapi tidak pernah menolak. Seperti yang disebutkan Nihal, Aydin selalu punya cara untuk mempermalukan dan merendahkan orang lain tanpa perlu tampak menyerupai itu. Sedangkan Hamdi selalu menebar senyum, tapi gampang bagi kita untuk tahu senyum itu penuh keterpaksaan. Satu kesamaan dari dua karakterisasi itu ialah masing-masing menyembunyikan perasaan orisinil mereka.
Perbedaannya, Hamdi menyadari itu, Aydin tidak sepenuhnya. Dengan Aydin sebagai huruf utama, film ini memperlihatkan sosok insan yang telah begitu usang mengenakan topeng hingga ia pun alhasil tidak sadar akan topeng tersebut. Film ini menyoroti perjalanan Aydin untuk menyadari isi hatinya yang asli. Disaat huruf lain memakai pertengkaran untuk memberikan sisi terpendam mereka, Aydin tidak. Dia hanya berusaha membalas lawan bicaranya, alasannya ialah itu ia tampak menyerupai membenci semua orang. Karena itu pula hampir semua orang punya alasan membenci dirinya yang berujung pada kesepian. Aydin ialah orang yang kesepian meski tidak atau menolak menyadari itu. Ironi terjadi ketika ia begitu kehiangan sewaktu satu per satu tamu pergi meninggalkan hotel. Dia merasa kehilangan alasannya ialah hanya mereka yang bisa diajak bicara dalam atmosfer menyenangkan dengan Aydin. Ironis, alasannya ialah ia tidak mencicipi itu ketika berinteraksi dengan adik serta istrinya meski tinggal seatap. Di tengah hamparan salju yang terhampar indah di Cappadocia, rasa hambar begitu menusuk. Kedinginan yang hadir dalam bentuk harmoni antara cuaca dan kesepian yang dialami Aydin. Winter Sleep mengalun perlahan selama lebih dari tiga jam dengan niscaya dan penuh emosi.
Ini Lho Winter Sleep (2014)
4/
5
Oleh
news flash