Friday, December 28, 2018

Ini Lho The Fog (1980)

Jika Halloween adalah bagaimana John Carpenter membawa sebuah urban legend kedalam dunia nyata, maka The Fog adalah urban legend itu sendiri. Dibuka dengan adegan seorang laki-laki renta (John Houseman) menceritakan kisah angker di depan api unggun ihwal kabut misterius yang menenggelamkan sebuah kapal, film ini mengajak penonton menyaksikan teror ketika kisah tersebut menjadi kenyataan. Carpenter tidak banyak berbasa-basi disini. Tidak menyerupai Halloween yang menghabiskan paruh pertamanya untuk pembangunan teror secara perlahan, The Fog langsung tancap gas sehabis adegan pembuka tadi selesai. Tengah malam yang biasanya damai di kota kecil berjulukan Antonio Bay mendadak dipenuhi bencana misterius. Kita tahu semua barang yang bergerak dan pecah dengan sendirinya yaitu perbuatan para hantu, meski kita akan bertanya-tanya untuk apa hantu mencabut pompa bensin atau menyalakan alarm mobil. Jangan harap Carpenter maupun Debra Hill selaku penulis naskah bakal menjawab itu.

Jika bicara soal cerita, The Fog memang bukan merupakan horror yang cerdas. Kita alhasil tahu bahwa semua teror itu hadir alasannya masa kemudian kelam yang dimiliki Antonio Bay. Karena itu para hantu berusia 100 tahun tersebut harus membunuh enam orang untuk melampiaskan dendam mereka. Keenam nyawa harus diambil dalam rentang waktu satu jam, antara pukul 12 hingga 1 malam, alasannya pada jam itulah keenam konspirator yang juga pendiri Antonio Bay berkumpul untuk merencanakan sebuah tindakan kejam. Kaprikornus bisa ditebak para hantu berniat menghabisi enam orang keturunan konspirator tersebut bukan? Disitulah naskah Carpenter dan Hill tampak kebingungan. Di satu momen khususnya yang melibatkan huruf Father Malone (Hal Holbrook) tampaknya memang itu tujuannya. Tapi di momen lain para hantu tampak menyerang siapapun secara acak. Tapi pada adegan pembuka mereka hanya mejatuhkan barang di sebuah supermarket tanpa membunuh seorang laki-laki yang ada disana. 
Pada alhasil itu yaitu lubang yang diciptakan memang hanya untuk memberi kesempatan pada filmnya menebar teror selama mungkin, termasuk adegan ketika sebuah papan kayu tiba-tiba terbakar atau mayit yang mendadak hidup kembali hanya untuk memberikan pesan menggelikan. Tapi disaat sebuah film horror bisa menghadirkan kengerian, tidak peduli seburuk apapun kualitas naskah maupun aspek lainnya maka itu yaitu horror yang baik. Carpenter menciptakan film horror yang tidak murahan disini. Kengerian dihadirkan lewat pembangunan atmosfer, bukan scare jump penuh imbas bunyi memekakkan. Scare jump muncul hanya pada saat-saat tertentu yang memang membutuhkan kehadirannya, dan tanpa dentuman musik yang berlebihan. Hasilnya pun efektif. Teror sudah dibangun dari awal dan tak pernah berhenti. Tapi itu bukan berarti filmnya terburu-buru. Karena berpusat pada membangun suasana, The Fog sendiri terasa menyerupai kabut yang menyeruak perlahan tapi secara niscaya menyelimuti seisi kota. 

Ketegangan merambati penonton, bukan menggedor mereka tiba-tiba. Alhasil kita tidak akan merasa lelah dan filmnya pun tidak pernah kehabisan materi bakar. Film ini tidak berusaha mengejutkan penonton, namun bermain-main dengan antisipasi kita. Penonton diajak melihat eksklusif (khususnya pada klimaks) bagaimana kabut secara perlahan menyelimuti seisi Antonio Bay. Kita tahu kalau pada alhasil kabut telah menutupi seluruh kota, maka ancaman bakal mencapai puncaknya. Rasanya pun mencekam, alasannya meski tidak diajak berada eksklusif disana, penonton bagai melihat eksklusif dari balik kaca. Kecemasan semakin memuncak ketika kita sadar bahwa kita hanya bisa melihat tanpa bisa berbuat apapun. Perasaan tidak berdaya melihat para huruf yang juga tidak berdaya itu mengakibatkan klimaksnya begitu efektif. Seperti di lebih banyak didominasi filmnya, Carpenter juga menjadi komposer musik film ini. Hasilnya pun luar biasa. Film-film klasiknya termasuk Halloween dan The Fog kerap menghadirkan sebuah scoring klasik yang tepat mewakili suasana filmnya. Cobalah mendengarkan scoring film ini sambil menutup mata, maka suasana mencekam alasannya perasaan bakal hadirnya hal misterius yang mengancam sontak bakal kita rasakan. 
Walaupun bernaskah buruk, The Fog punya kelebihan yang jarang dimiliki horror kebanyakan, yaitu huruf yang anggun dan gampang menarik simpati. Karena fokusnya bukan hanya teror terhadap salah satu tokoh melainkan seisi kota, maka film ini membagi fokusnya pada beberapa karakter. Kesemuanya menerima porsi yang cukup berimbang. Interaksi yang hadir diantara mereka pun bukan sekedar pengisi durasi yang membosankan, melainkan dinamika hidup antara sosok-sosok "nyata". Nick Castle (Tom Atkins) dan Elizabeth (Jamie Lee Curtis) yaitu pasangan yang tidak hingga mengganggu tone film ini dengan kisah cinta mereka, meski patut disayangkan huruf Elizabeth tidak mewadahi Jamie Lee Curtis untuk tampil habis-habisan layaknya di Halloween. Kathy Williams (Janet Leigh) dan Sandy (Nancy Loomis) yaitu dua huruf bertolak belakang yang menunjukkan dinamika menarik. Kathy yaitu bos yang ceriwis tapi tidak annoying sedangkan Sandy yaitu ajun yang ketus dan bisa menciptakan ucapan "Yes mam" menyerupai "screw you". 

Tapi yang paling mencuri perhatian yaitu Stevie Wayne (Adrienne Barbeau) sang penyiar radio. Bermodalkan bunyi Adrienne Barbeau, huruf Stevie jadi begitu esensial bagi film ini. Diawal kita mengenalnya sebagai tipikal penyiar radio perempuan dengan bunyi menggoda. Tapi seiring film berjalan, kiprahnya bermetamorfosis bumbu ketegangan. Ibarat pertandingan sepak bola, Stevie yaitu komentator yang menarasikan tiap bencana dan menciptakan pertandingan bertambah seru. Stevie pun semakin menerima simpati dari saya ketika ia mengambil tugas heroik dengan bertahan di mercusuar guna menunjukkan gosip ihwal pergerakan kabut meski hal itu membahayakan keselamatannya. Klimaksnya yang terbagi dalam dua lokasi pun menerima laba dari hal tersebut. Adegan di Gereja memang punya skala lebih besar, tapi meski hanya sendirian dan berada di satu lokasi, kejar-kejaran antara Stevie dengan para hantu (atau zombie?) terasa sama bahkan lebih menegangkan. 


Artikel Terkait

Ini Lho The Fog (1980)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email