Saturday, December 29, 2018

Ini Lho The Internet's Own Boy: The Story Of Aaron Swartz (2014)

Aaron Swartz yaitu perjaka jenius yang pada usia 14 tahun telah berkontribusi besar dalam penciptaan RSS. Aaron Swartz yaitu seorang programer jenius atau banyak orang mengklasifikasikannya sebagai hacker (tergantung sudut pandang anda). Dia juga merupakan founder, co-founder dan co-owner dari reddit, creative commons, dan masih (sangat) banyak lagi. Tidak hanya itu, ia juga seorang penggerak politik yang berfokus pada kebebasan tiap orang mendapat informasi khususnya melalui internet. Tapi dengan segala aspek "scientific" yang menempel pada Aaron, dokumenter karya Brian Knappenberger ini amat erat bagi penonton amatir menyerupai saya. Karena apa yang ditekankan oleh The Internet's Own Boy adalah bagaimana Aaron Swartz sebagai seorang insan yang ingin mengakibatkan dunia menjadi lebih baik. Sederhana, tapi menciptakan film lebih dalam menggali subjek sekaligus memberi sentuhan emosional. 

Knappenberger tidak menujukan film ini secara khusus bagi pihak tertentu, entah itu pengguna internet, programer, aktifis, atau pengamat berita. Sebaliknya, ia berusaha mengakibatkan dokumenter ini sebagai media memperkenalkan Aaron Swartz beserta hidup dan perjuangannya kepada penonton sebanyak mungkin. Untuk itu tidak hanya jati diri Aaron, hal-hal yang ia geluti pun dijabarkan dengan singkat namun terang disini. Jangan khawatir kalau anda bukan orang yang menghabiskan lebih banyak didominasi hidup menjelajah internet sehingga absurd dengan istilah "RSS", "Creative Commons", atau website menyerupai "Reddit", alasannya yaitu film ini menuturkannya sesingkat dan sejelas mungkin. Hal itu menciptakan filmnya semakin less-segmented sekaligus lebih gampang bagi penonton memahami bagaimana hebatnya sosok Aaron Swartz dan kenapa begitu banyak orang sanggup mengagumi perjaka yang tewas bunuh diri (?) tahun 2013 ketika masih berusia 26 tahun ini. 
Satu-satunya hal yang menghalangi film ini menjaring penonton secara lebih luas yaitu cara bertuturnya. Pada masa dimana dokumenter banyak disajikan dengan cara gres guna menghindari kebosanan, The Internet's Own Boy memilih teknik konvensional dimana narasi hasil wawancara mendominasi. Jangankan bermain-main lewat mix dengan genre lain, film ini pun minim dalam penggunaan visualisasi guna mempermudah pemahaman penonton. Kita lebih banyak diajak mendengar dan melihat aneka macam narasumber mengutarakan dongeng mereka perihal Aaron. Ibarat sebuah presentasi, kita tidak akan mendapati sang presenter menggunakan slide power point melainkan hanya bermodal bahasa mulut sambil sesekali menuliskan poin penting di papan tulis. Mungkin terdengar membosankan. Tapi bagaimana kalau si pembicara yaitu orang yang jago memainkan dinamika, membawa emosi pendengar, punya cara bertutur yang asyik, dan bermodalkan bahan yang intinya menarik? Itulah yang terjadi pada film ini. Membutuhkan fokus lebih untuk mengikuti kalimat demi kalimat, tapi tidak pernah menciptakan audience tersesat.

Beberapa hari kemudian saya gres saja menonton Citizenfour, (review) sebuah dokumenter yang berbicara perihal internet serta konspirasi pemerintah. The Internet's Own Boy tidak memicarakan hal yang persis sama (meski di suatu bab dongeng Edward Snowden sempat disinggung) tapi pengaruh yang diberikan tidak jauh berbeda. Penonton ditampar untuk disadarkan perihal bagaimana pihak otoritas menyerupai pemerintah, forum hukum, hingga para pemilik modal sudah semakin menanamkan kukunya, mencengeram, merenggut hak-hak masyarakat yang ada "di bawah" mereka. Jika Citizenfour bicara perihal NSA yang memata-matai keseharian semua orang, maka film ini menawarkan bagaimana kita semakin dibatasi untuk mendapat informasi bahkan perihal hal-hal yang seharusnya merupakan hak tiap orang menyerupai ilmu pengetahuan dan aturan negara. Kita diharuskan membayar dalam jumlah tidak sedikit (puluhan dollar/ratusan ribu rupiah bahkan lebih) untuk mendapat jurnal sebagai modal berguru atau detail suatu aturan hukum. Tanyakan saja pada mahasiswa bagaimana kesalnya mereka ketika mendapati suatu jurnal yang berkhasiat untuk menuntaskan suatu kiprah tidak sanggup diakses secara gratis. 
Film ini sama menyerupai yang coba dilakukan oleh Aaron berusaha menyajikan sudut pandang lain perihal Illegal downloading atau pelanggaran hak cipta. Selama ini kita dibentuk pribadi oke bahwa kedua hal tersebut yaitu tindak kriminal, tidak menghargai usaha sang pembuat dan sebagainya. Tapi benarkah itu? Bagaimana kalau sebetulnya segala hal berbayar dan berizin itu merupakan hak kita yang harusnya sanggup diakses secara bebas? Bagaimana kalau yang terjadi selama ini bukan pemberian hak cipta melainkan usaha mempertebal isi dompet mereka yang sudah tebal? Sebuah konklusi perihal "bocah 14 tahun yang lain" menandakan hal itu. Filmnya menampar. Mengajak penonton untuk tersadar akan segala kebohongan yang ada, dan itu berhasil. Emosi saya berhasil diaduk-aduk ketika melihat betapa semena-menanya pihak otoritas dalam usaha mereka menjatuhkan Aaron Swartz. 

Setelah berhasil menyadarkan, film ini juga turut mengajak penonton untuk bangkit. Bukan sekedar permintaan kosong, alasannya yaitu lewat usaha Aaron Swartz, kita bakal melihat bahwa sesuatu yang mustahil sanggup terwujud kalau timbul rasa persatuan untuk melawan. Dengan kehadiran momen uplifting tersebut, dokumenter yang dipenuhi konspirasi dan thriller ini memantapkan posisinya sebagai sajian yang nyata dan penuh harap. Aaron Swartz memang telah meninggal dalam usia muda, tapi terang segala usaha dan semangatnya tidak akan mati, dan telah menghasilkan bukti otentik bahwa semuanya tidak keliru dan tentunya tidak sia-sia. Information is power, begitu esensi dan latar belakang usaha Aaron. The Internet's Own Boy sendiri membawa semangat yang sama dengan merangkum serta membuatkan hal tersebut pada khalayak lebih luas.

Artikel Terkait

Ini Lho The Internet's Own Boy: The Story Of Aaron Swartz (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email