Bagaimana kalau vampir benar-benar ada dan hidup di sekitar kita? Pertanyaan itu mungkin sedikit banyak sudah dijawab oleh Jim Jarmusch lewat drama gothic-nya, Only Lovers Left Alive. Kali ini giliran duo sutradara asal Selandia Baru, Taika Waititi dan Jermaine Clement yang menghadirkan balasan atas pertanyaan tersebut. Bedanya, mereka menjawabnya dengan penuh lelucon. What We Do in the Shadows tidak akan terasa "senyata" film Jim Jarmusch itu, dan bergotong-royong sajian ibarat ini sangat berpotensi menjadi komedi kurang terpelajar yang memuakkan. Parodi perihal mitologi dan kehidupan vampir di "dunia nyata" memang inspirasi yang berisiko. Kebodohan ialah apa yang akan terjadi kalau parodi ibarat ini hanya berfokus pada melucu seenaknya, tapi Waititi dan Clement jauh lebih pandai dalam mengobrak-abrik mitologi vampir. Kisahnya perihal empat vampir beda zaman yang tinggal dalam satu apartemen di Wellington, Selandia Baru. Viago (Taika Waititi) ialah sang abjad utama yang paling rapih diantara vampir lain. Karena itulah ia nampak sebagai pengontrol keliaran teman-temannya.
Vladislav (Jermaine Clement) yang berusia 862 tahun ialah yang paling sadis, sekaligus playboy kelas berat yang gemar melaksanakan orgy sebelum memangsa korbannya. Deacon (Jonathan Brugh) ialah yang termuda (183 tahun) sekaligus yang paling liar dan sulit diatur, khususnya dalam hal membagi pekerjaan bersih-bersih apartemen. Terakhir ada Petyr (Ben Fransham), vampir tertua berusia 8.000 tahun yang penampilannya ibarat Count Orlok dari Nosferatu dan paling ganas sehingga harus tinggal sendirian di bawah tanah. Meski merahasiakan status mereka sebagai vampir, keempatnya baiklah untuk didatangi oleh para pembuat film dokumenter yang akan merekam aktivitas mereka sehari-hari. Dari dokumenter itu kita akan diajak melihat bagaimana keempat vampir berusia ratusan tahun ini harus menjalani hidup sebagai vampir dengan banyak sekali keunikannya, ibarat dilarang masuk rumah tanpa diundang, hanya bisa keluar di malam hari, hanya bisa mengonsumsi darah manusia, tidak punya bayangan di cermin, dan masih banyak lagi. Pastinya kehidupan sebagai vampir tidak semudah dan sekeren yang ada di pikiran banyak orang.
Siapa yang menganggap vampir tidak keren khususnya di masa ini? Vampir tidak bisa mati, bisa terbang, bisa hipnotis, bahkan bisa berubah wujud. Siapa peduli kalau vampir hanya bisa keluar di malam hari? Bukankah kehidupan malam ialah yang paling menyenangkan? Taika Waititi dan Jermaine Clement seolah benar-benar paham kehidupan vampir (atau jangan-jangan mereka vampir?), alasannya ialah kalau vampir memang benar adanya aku rasa hal-hal inilah yang akan mereka sampaikan pada manusia. "Coba lihat dari sudut pandang kami" ialah kalimat yang tampaknya ingin diucapkan para vampir dalam film ini. Menyebut film ini "memanusiakan vampir" rasanya kurang tepat, tapi ibarat itulah yang aku rasakan. Bukan alasannya ialah pendekatan yang amat realis, tapi lebih alasannya ialah What We Do in the Shadows menunjukkan bahwa diluar kesaktian mereka, vampir juga punya duduk perkara sepele dari kehidupan sehari-hari yang ironisnya kebanyakan hadir alasannya ialah keunikan mereka. Dari situ juga sumber komedi utama film ini berasal.
Mungkin komedinya tidak akan menciptakan anda sakit perut alasannya ialah tertawa, tapi sudut pandang yang digunakan untuk mengskploitas keseharian vampir itu amat menyenangkan untuk ditonton. Unik alasannya ialah banyak sekali komedi sejatinya muncul dari kejadian-kejadian yang bagi para vampir hanya bab dari keseharian mereka, tapi bagi kita dengan segala pengetahuan perihal mitos akan mereka, semua itu jadi kejutan demi kejutan menyenangkan. Semua mitos umum perihal legenda vampir tidak ada yang terlewatkan untuk dibahas oleh film ini, membuatnya menjadi eksplorasi lengkap. Apa yang menciptakan komedinya tidak kurang terpelajar bahkan cerdas ialah bagaimana kelihaian Waititi dan Clement untuk tetap menciptakan semuanya masuk logika. Coba bayangkan kalau vampir memang ada, maka hampir semua hal yang terjadi disini akan terjadi. Kecerdasan kedua sutradara sekaligus penulis naskah ini makin terasa ketika parodinya hingga ke hal terkecil. Tentunya vampir memang akan kebingungan untuk berpakaian tanpa harus melihat cermin bukan? Apalagi dengan style baju masa kemudian yang ribet itu.
Semakin banyak mockumentary yang hadir, tapi semakin banyak pula yang lupa esensi utamanya untuk terlihat senyata mungkin. What We Do in the Shadows mungkin punya pergerakan kamera yang terlalu halus untuk sebuah mocku, tapi kesan faktual terang berhasil diperlihatkan. Saat sebuah film bergaya ibarat ini bisa menciptakan kesan realistis berpengaruh padahal temanya jauh lebih fantasi daripada mockumentary kebanyakan, terang film itu spesial. Inilah yang terjadi kalau istilah "what if...?" didefinisikan dengan sempurna. Tidak hanya itu, pada beberapa bab film ini juga dengan tepat menghadirkan atmosfer horror yang kuat. Entah dengan kebrutalan berdarah, atmosfer creepy, atau sosok Petyr. Banyak parodi yang hanya berfokus pada memperlihatkan banyolan plesetan sebanyak mungkin tanpa berpikir akan kualitas dongeng maupun karakter, tapi tidak dengan film ini. Baik sebagai parodi, horror, maupun mockumentary, What We Do in the Shadows sudah sangat berhasil tampil memuaskan.
Ini Lho What We Do In The Shadows (2014)
4/
5
Oleh
news flash