Thursday, January 31, 2019

Ini Lho I Saw The Devil (2010)

Bayangkan tunangan kita yang sedang memiliki korelasi yang sangat baik dengan kita tiba-tiba saja menghilang dan ditemukan telah tewas dalam kondisi badan yang termutilasi. Saya jamin diatas 90% orang pada ketika itu akan pribadi dirasuki amarah serta dendam yang akan menciptakan mereka benar-benar mengutuk perbuatan sang pembunuh dan pribadi berkata bahwa ia akan membalas dendam sang tunangan kemudian pergi menyiksa si pembunuh. Tapi apa ada yang hingga benar-benar merealisasikan hal tersebut? Tentu sangat jarang di kehidupan nyata. Tapi di dunia film hal itu sudah sering terjadi ibarat juga dalam "I Saw the Devil" ini. Bedanya, huruf utama yang melaksanakan balas dendam di film ini punya cara lain untuk membalas perbuatan sang pembunuh.

Seorang kepetangan kepolisian berjulukan Soo-hyun (Lee Byung-hun) sedang diselimuti kesedihan dan hasrat balas dendam yang sangat besar setelah mendapati tunangannya, Joo-yun (Oh San-ha) ditemukan tewas dalam kondisi yang mengenaskan dimana tubuhnya dimutilasi oleh sang pembunuh. Hasrat membalaskan penderitaan sang tunangan telah membutakan mata Soo-hyun. Dia memutuskan menyelidiki sendiri kasus ini. Akhirnya ia mendapat 4 tersangka yang diduga sebagai pelaku pembunuhan tersebut. 2 tersangka awal ternyata bukan orang yang dicari dan berakhir dalam kondisi sekarat setelah dihajar habis oleh Soo-hyun. Akhirnya Soo-hyun hingga pada tersangka ketiga, seorang laki-laki berjulukan Kyung-chul (Choi Min-sik). Kyung-chul memang ialah pembunuh Joo-yun yang sebenarnya. Tidak hanya Joo-yun tapi Kyung-chul juga sudah membunuh, memutilasi dan memperkosa banyak gadis bagus lain. Setelah melaksanakan penyelidikan dirumah Kyung-chul, Soo-hyun yakin dialah pembunuh tunangannya dan mulai melaksanakan perburuan. Setelah pertemuan pertama mereka yang berakhir dengan perkelahian brutal yang ia menangkan, Soo-hyun meminumkan sebuah kapsul yang berisi alat pelacak sehingga alat itu tertanan dalam badan kyung-chul. Hal itu menciptakan segala gerak-geriknya terus diawasi dan didengar Soo-hyun. Maka dimulailah agresi balas dendam lanjutan dari Soo-hyun yang berusaha memperlihatkan rasa sakit dan teror bertahap terhadap sang pembunuh sadis.

Luar Biasa! Itulah kata yang terus terucap dalam benak saya selama dan setelah menonton film ini. Semua aspek yang ada dalam "I Saw the Devil" digarap dengan begitu baik dan tidak biasa. Dari segi tema memang terdengar klise, tapi begitu kita tahu bagaimana agresi balas dendam yang dilakukan disini maka kita akan segera sadar bahwa film ini bukanlah film balas dendam biasa. Film ini juga dibalut dengan tingkat kesadisan yang cukup untuk menciptakan beberapa orang merasa agak mual dan ngilu melihatnya. Kesadisan yang diberikan dalam film ini hebatnya terasa sekali tidak asal sadis dan banjir darah tapi memang pas dengan momen film dan untuk makin membangun suasana.
"I Saw the Devil" memiliki berbagai momen yang menciptakan saya terpana alasannya ialah disajikan dengan begitu menegangkan tapi tidak melupakan keindahan dalam pengambilan gambarnya. Adegan opening yang ber-setting ditengah salju pada tengah malam ialah sebuah pembukaan yang benar-benar pas bagi film ini. Kemudian salah satu adegan favorit saya tentunya ialah pertemuan pertama antara Soo-hyun dan Kyung-chul yang bagaikan sebuah pertarungan satu lawan satu antara monster dengan monster. Saya bagaikan melihat Michael Myers v.s. Jason Voorhees tanpa topeng dan atribut mereka. Sebuah pertarungan seru dan menegangkan yang akan menjadi awal perburuan dan kejar-kejaran yang ternata masih manyimpan banyak momen menegangkan dan luar biasa lainnya.

Selain menyajikan intensitas ketegangan yang tidak mengendeur, sutradara Kim Ji-woon juga menyinggung mengenai ambiguitas moral dalam balas dendam itu sendiri. Perlukah balas dendam dilakukan? Awalnya kita memang mungkin akan menganggap bahwa Soo-hyun melaksanakan hal yang sempurna alasannya ialah perbuatan Kyung-chul memang sudah kelewatan. Soo-hyun bagaikan ksatria yang sedang memburu monster pembunuh. Tapi begitu si ksatria mulai mengayunkan pedangnya dengan gampang tanpa memikirkan hal lain selain membunuh, menikmati menyiksa dan membunuh yang ia lakukan, serta  pada balasannya bermandikan darah iblis sang monster kemudian apa bedanya sang ksatria dengan monstrer itu? Begitu juga yang terjadi pada Soo-hyun yang lambat laun menimbulkan kisahnya seakan tidak lagi agresi pengejaran balas dendam tapi menjadi pertarungan antar sesama psikopat.

Dan tentunya kredit lebih pantas diberikan kepada duo Lee Byung-hun dan Choi Min-sik. Dua pemain film yang namanya sudah cukup populer diseluruh dunia ini bisa menghidupkan huruf masing-masing dengan sangat luar biasa. Choi Min-sik dengan huruf Kyung-chul sukses membuatnya menjadi salah satu psycho killer terbaik dalam film yang pernah saya tonton. Tanpa topeng apapun, Kyung-chul terlihat sangat mengerikan dengan mulut dinginnya ketika membunuh.Orang ini menimbulkan "membunuh" seakan semudah memotong sayuran didapur. Sedangkan Lee Byung-hun sebagai Soo-hyun terlihat keren berdasarkan saya. Keren dalam artian segala sepak terjangnya, kemampuan bela diri, dan pada balasannya disaat ia menjadi sosok "psikopat baru" ia bisa memperlihatkan wajah masbodoh disaat membunuh orang walaupun yang ia bantai memang orang jahat.

Ini Lho Just Go With It (2011)

Kolaborasi keenam Dennis Dugan dan Adam Sandler? Ditambah adanya seorang Jennifer Aniston? Saya sudah sanggup menebak film macam apa ini. Film kerja sama Dugan-Sandler pastilah sebuah komedi yang menyertakan unsur remaja (baca: sex) didalamnya. Apabila ditambahkan seorang Jennifer Aniston maka film itu sudah pastilah bergenre komedi romantis dimana komedinya yaitu komedi khas seorang Adam Sandler. Saya tidak berharap menerima suguhan yang spesial, komedi romantis cerdas ala "Easy A" atau "500 Days of Summer". Saya hanya ingin sanggup menikmati film ini untuk sekedar hiburan ringan saja.

Danny (Adam Sandler) yaitu seorang dokter bedah plastik yang sukses. Dahulu disaat ia belum merupakan orang sukses ibarat sekarang, Danny sempat nyaris menikah tapi gagal sesaat sebelum menikah. Tapi sesudah itu ia menyadari suatu hal bahwa status sebagai "pria gagal menikah" menciptakan banyak perempuan simpati padanya dan menciptakan mereka mau menghabiskan semalam bercinta dengan Danny. Di kantornya, Danny mempunyai seorang ajudan berjulukan Katherine (Jennifer Aniston) yang yaitu janda dengan dua orang anak. Antara Danny dan Katherine sudah menjadi sobat bersahabat yang tidak pernah menyembunyikan belakang layar sedikitpun satu sama lain.

Sampai suatu hari Danny bertemu dengan gadis yang ia yakini bakal menjadi tambatan hatinya yang terakhir, Palmer (Brooklyn Decker) yang jauh lebih muda dari Danny. Sial bagi Danny, Palmer menemukan cincin kawin miliknya yang ia letakkan dalam kantong celana. Dan untuk kesekian kalinya Danny menentukan berbohong mengenai ijab kabul kepada wanita. Danny mengaku bila ia dan istrinya sedang dalam proses perceraian. Untuk itulah ia meminta sumbangan Katherien untuk berpura-pura menjadi istrinya. Bahkan hingga meminta bawah umur Kahterine berpura-pura menjadi anaknya.Bahkan mereka sekeluarga bersama Palmer hingga liburan ke Hawaii dimana liburan tersebut ternyata menjadikan banyak sekali masalah.

Yap, semudah yang saya bayangkan untuk memprediksi jalan dongeng film ini dan bagaimana simpulan ceritanya. Bahkan saya masih agak merasa film ini terlalu memaksakan dalam menyatukan dua abjad utamanya di simpulan film, walaupun tidak separah dominan film rom-com. "Just Go With It" nyatanya punya lebih banyak momen menghibur dibandingkan film-film lain yang sejenis. Komedinya lebih lucu, walaupun romance yang ada tetap tidak sanggup dibilang bagus tapi lebih sanggup saya terima juga. Jarang sekali saya sanggup tertawa menonton film rom-com ibarat saya tertawa dikala adegan tari hula antara Jennifer Aniston dan Nicole Kidman. Romantisme antara abjad Danny dan Katherine sempat agak dipaksakan mengingat keduanya sudah ibarat sobat kental yang sangat kecil kemungkinan jatuh cinta. Tapi bolehlah penyatuan mereka sesudah beberapa hari menjalani kehidupan bohong sebagi suami istri yang akan bercerai sedikit menumbuhkan rasa citna diantara keduanya.

Bicara soal akting, Adam Sandler yaitu yang paling menyia-nyiakan bakatnya. Lagi-lagi ia hadir dengan model abjad yang sama, tampilan rambut yang sama, model baju yang sama, pokoknya semua sama. Padahal ia sanggup jauh lebih berkembang dari itu.Sedangkan Nicole Kidman berdasarkan saya tidak sedang menyiakan talenta akting kelas Oscar miliknya disini, tapi mencoba bersenang-senang dan mencoba tipe abjad yang gres dan nyatanya cukup menyenangkan melihatnya berakting konyol. Jennifer Aniston juga sesungguhnya tidak spesial, tapi dialah sumber segala kelucuan di film ini. Aniston yang sudah berpuluh kali memerankan tipe abjad yang sama terasa sudah menyatu dengan tipe abjad macam ini. Dan di usianya yang sudah melewati kepala 4 ternyata Aniston masih terlihat manis dan seksi buat saya.

OVERALL: Sebuah komedi romantis yang tidaklah Istimewa tapi setidaknya masih sanggup lebih menghibur daripada film-film lain yang sejenis.

RATING:

Ini Lho Life Is Beautiful (1997)

Hanya sedikit saja film non-Hollywood yang dapat berbicara banyak di Oscar bahkan hingga masuk nominasi "Best Picture". Film garapan Roberto Benigni dimana ia juga berperan sebagai bintang film utamanya ini yakni satu dari sedikit film non-Holly yang dapat mendapat 7 nominasi Oscar termasuk "Best Picture" dan memenangkan 3 diantaranya dimana salah satunya yakni kemenangan Benigni di kategori "Best Actor". Sebuah pencapaian yang luar biasa untuk sebuah film Eropa.

Guido (Roberto Benigni) merupakan seorang Yahudi-Italia. Guido yakni tipikal orang yang unik dimana kesehariannya seolah tidak pernah diisi dengan kesedihan. Apapun permasalahan yang ia hadapi ia selalu berusaha menyikapinya dengan santai dan senang. Bahkan disaat ia jatuh cinta dengan Dora (Nicoletta Braschi) yang akan segera bertunangan dengan laki-laki lain yang jauh lebih kaya darinya, Guido tetap berusaha dengan penuh senyuman hingga alhasil ia dapat membawa Dora lari dan menikah.

Menikah beberapa tahun alhasil mereka dikaruniai seorang anak berjulukan Joshua (Giorgio Cantarini). Kehidupan mereka bertiga selalu diwarnai kesenangan, dan itu semua berkat Guido. Bahkan disaat para Yahudi selalu diolok-olok Guido tetap berusaha menciptakan sang anak tersenyum dengan menciptakan dongeng tersendiri sehingga sang anak dapat terus menikmati hidupnya dalam keindahan. Sampai puncaknya suatu hari mereka sekeluarga ditangkap oleh tentara Nazi dan dibawa ke kamp konsentrasi. Disanalah ujian bagi Guido dimulai untuk melindungi sang anak dan terus menciptakan sang anak menganggap hidupnya diisi dengan keindahan.

Film ini mungkin akan terasa terbelakang dan tidak logis disaat penonton melihatnya sebagai film mengenai kehidupan di kamp konsentrasi. Sosok Guido yang diberikan Benigni selaku bintang film (dengan sangat luar biasa) hanya akan terlihat sebagai orang terbelakang yang cari mati. Tapi bila "Life is Beautiful" dilihat sebagai sebuah film pembelajaran mengenai bagaimana kita seharusnya selalu memandang faktual semua hal dalam hidup kita sekaligus tidak pernah patah semangat, maka film ini yakni film yang menyenangkan dan menyentuh untuk disaksikan. Sosok Guido yakni benar-benar pola individu yang tidak pernah melihat suatu kejadian dari sisi negatif dan berusaha menghadapinya dengan senyuman dan candaan. Bahkan ia juga berusaha sekuat tenaga menciptakan orang disekitarnya tidak larut dalam kesedihan dan ikut tertawa dengannya.

Hal itu juga yang coba diberikan oleh Benigni selaku sutradara. Dia mencoba mengajak menonton untuk tidak menyesali segala penderitaan dan problema hidup Guido yang makin usang makin berat, tapi mengajak mereka untuk dapat tetap memandang faktual dan tersenyum mengikuti kisahnya. Hingga alhasil penonton dibawa pada sebuah ending yang mungkin dapat dilihat sebagai ending yang menyedihkan. Tapi sekali lagi jangan lupa akan semua pesan yang dibawa oleh Guido sepanjang film bahwa kita harus melihat sebuah kejadian dari sisi positif. Maka kita akan melihat ending itu sebagai sebuah tamat yang mungkin mengharukan tapi faktual dan menjadi awal yang baru.


OVERALL: Sebuah film yang menyenangkan dan merupakan salah satu film hollocaust yang paling faktual dalam menyikapinya dan tidak meninggalkan rasa depresif bagi yang menonton. Life is beautiful, dude.

RATING:

Ini Lho Kung Fu Panda 2 (2011)

Disaat kondisi sedang heboh akhir film animasi "Cars 2" rilisan Pixar yang notabene selalu mendapat review sangat anggun dan jaminan meraih Oscar mendapat kritikan jelek di masa perilisannya dan hanya mendapat rating Rotten Tomatoes 33% (Mayoritas film Pixar mendapat rating diatas 95% kecuali film Cars yang pertama yang hanya mendapat 74%) saya lebih dulu berkesempatan menyaksikan film rilisan studio tentangan Pixar, Dreamworks yang juga merupakan sekuel, yakni "Kung Fu Panda 2". Film ini sendiri mendapat review yang cukup positif (83% di RT) sehingga saya cukup berharap banyak walaupun berdasarkan saya eksklusif film-film rilisan Dreamworks tetaplah bukan film yang bisa mengambil hati penontonnya, tapi setidaknya masih bisa memperlihatkan hiburan yang seru.

Po kini sudah menjadi jago kung fu yang disegani dan dikenal sebagai "Dragon Warrior". Walaupun begitu tentunya Po masihlah panda gendut yang tidak jauh beda dengan dulu, yang ceroboh, bawel tapi juga konyol. Kali ini Po dan kawan-kawannya sesama master kung fu (furious five) berusaha menghentikan agresi Lord Shen, mantan anak kaisar merak yang dibuang oleh istana dan berusaha membalas dendam dengan berkeinginan menguasai Cina. Untuk mewujudkan ambisinya, Shen membuat sebuah senjata yang sangat dahsyat. Saking dahsyatnya, senjata itu bisa untuk memusnahkan kung fu dari dunia.

Tentunya Po dan kawan-kawannya tidak akan membiarkan Shen menguasai Cina dan memusnahkan kung fu. Tapi disaat genting menyerupai itu tiba-tiba Po mendapat bayangan masa lalunya. Masa kemudian Po yang sesungguhnya ternyata berkaitan dengan Lord Shen. Masa kemudian yang akan menjelaskan siapakah Po bekerjsama dan mengapa ia bisa dibesarkan oleh ayahnya yang kini beliau kenal yang notabene yaitu seekor angsa.
Salah satu kelebihan film ini dan prekuelnya yaitu penggambaran tokoh-tokoh yang memang sangat menarik. Sosok binatang yang direka ulang menjadi jago-jago kung fu dengan keahlian masing-masing saya akui yaitu kreatif dan sangat menarik. Di film ini muncul beberapa jenis binatang (baca: master kung fu) baru. Dan saya akui mereka cukup memiliki keahlian dan sosok yang menarik. Tapi sayangnya tidak semuanya mendapat porsi yang cukup. Yang paling saya kecewakan yaitu sosok Master Croc dimana saya sempat ingin tau bagaimana isian bunyi Jean-Claude Van Damme. Tapi nampaknya pemilihan nama Van Damme hanya sebagai penarik minat orang cukup umur untuk menyaksikan film ini.

Bagaimana dengan adegan aksinya? Bagaimana dengan kelucuan yang jadi andalan prekuelnya? Bagaimana dengan  plot ceritanya? Jujur semuanya bisa dibilang khas Dreamworks. Diramu dengan pas tapi tidak Istimewa adalagi hingga menancap dalam hatisaya. Well, mungkin kelucuan film ini yaitu pengecualian. Kelucuan yang ada berdasarkan saya memang lucu dan jauh lebih lucu dari film-film Dreamworks lain yang biasanya garing. Tentunya Po jadi bintang utama kelucuan. Dan lagi melihat penggambaran sosok Po diwaktu kecil yang begitu lucu dan menggemaskan. Adegan agresi film ini juga bekerjsama cukuplah menghibur walaupun saya pernah melihat yang kurang lebih sama di film pertamanya. Yah, menyerupai yang saya bilang adegan agresi ala Dreamworks kadang dosisnya agak berlebihan dalam artian negatif, tapi masih bolehlah. Untuk ceritanya juga tidak jelek dan menghibur, walaupun penempatan misteri masa kemudian Po bekerjsama sangatlah predictable fakta yang sesungguhnya.

RATING:

Ini Lho Catatan Harian Si Boy (2011)


Sebelum ini tercatat sudah 2 tokoh legenda film Indonesia yang dibuatkan film lagi sehabis sekian usang absen. Yang pertama yakni Nagabonar dalam "Nagabonar Kaprikornus 2" yang secara kualitas sangat pantas dibanggakan dimana Deddy Mizwar kembali menjadi Nagabonar. Sedangkan yang satu yakni Kabayan lewat "Kabayan Kaprikornus Milyuner" dimana Kabayan tidak lagi diperankan oleh Didi Petet melainkan Jamie Aditya dan sayangnya film ini berkualitas kacrut. Kali ini satu lagi legenda film dikembalikan ke layar lebar, yaitu Boy. Saya sendiri bukan orang yang hidup di jaman Si Boy meraih jaman keemasan. Saat "Catatan Si Boy" memasuki film kelima saya bahkan belum lahir. Tapi saya tetap mengenal namanya yang melegenda sebab dianggap sebagai perlambang anak muda idaman ketika itu. Saya sendiri sempat menyaksikan 1 atau 2 filmnya walaupun secara kisah sudah agak lupa. Dan sehabis 20 tahun absen, sutradra Putrama Tuta menciptakan film yang bisa dibilang regenerasi dan bukan remake atau reboot dari "Catatan Si Boy".

Film sudah dibuka dengan sebuah adegan balap kendaraan beroda empat yang cukup seru dan tidak norak layaknya adegan kebut-kebutan kendaraan beroda empat di secara umum dikuasai film lokal. Balapan tersebut melibatkan Satrio (Ario Bayu) yang sudah sering keluar masuk penjara akhir balapan tersebut, dan malam itu lagi-lagi ia tertangkap polisi. Disana Satrio bisa langusng bebas sebab teman-temannya menebusnya (lagi). Satrio memang punya sahabat-sahabat baik macam Andi (Abimana), Nina (Poppy Sovia) dan Herry (Albert Halim). Mereka semua termasuk Satrio bekerja di bengkel kendaraan beroda empat milik Nina. Di kantor polisi itu juga Satrio bertemu dengan gadis berjulukan Natasha (Carissa Puteri) yang gres pulang dari London.

Natasha gres saja mengalami nasib sial bersama pacarnya, Nico (Paul Foster). Di tengah jalan kendaraan beroda empat yang mereka naiki dicegat beberapa orang tidak dikenal yang kemudian memukuli Nico dan membawa lari kendaraan beroda empat beserta tas dan segala barang Natasha didalamnya. Disaat Nico sedang menjalani investigasi di kantor polisi, karenanya Satrio dan teman-temannya mengantarkan Natasha pulang. Mulai ketika itulah Satrio mulai tertarik pada Natasha. Ketertarikan itulah yang membawanya untuk membantu Natasha mencari seorang berjulukan Boy yang dahulu yakni merupakan kekasih ibunda Natasha, Nuke yang kini sedang koma di rumah sakit. Selama keadaan koma, Nuke selalu memegang buku harian milik Boy. Hal itulah yang menciptakan Natasha yakin dengan membawa Boy kepada sang ibu ada kemungkinan keadaannya membaik. Satrio juga menerima tantangan dari Nico yang tidak terima kekasihnya ia dekati. Bahkan konflik itu hingga menjalar kepada persahabatan Satrio.
Jujur saja plot dan kisah film ini masuk kategori yang tidak mengecewakan standar. Tidak kacangan tapi cukup gampang ditebak. Tapi aba-aba dari Putrama Tuta dan akting yang manis dari para pemainnya menciptakan "Catatan Harian Si Boy" ini jauh dari kesan klise dan membosankan. Film ini bisa dikatakan yakni citra tepat kehidupan anak muda khususnya anak muda Jakarta jaman sekarang. Walaupun begitu, bagi saya yang bukan termasuk golongan tersebut dan kehidupan saya tidak 100% terwakili oleh film ini tetap saja masih ada beberapa unsur yang memang menggambarkan kehidupan anak muda secara umumnya. Hal itulah yang menciptakan film ini boleh dikatakan berhasil melanjutkan semangat film-film "Catatan Si Boy" yang dulu.

Karakter-karakter dalam film ini juga sangatlah menarik dan jikalau diperhatikan, komposisi dan karakterisasi mereka kurang lebih sama dengan tokoh-tokoh dalam film "Catatan Si Boy" yang dulu. Satrio sebagai tokoh utama tentu menjadi perlambang seorang Boy yang merupakan sosok laki-laki yang bisa dibilang idaman setiap wanita. Yang saya ingat dari beberapa film CSB yang sempat saya tonton, Boy yakni sosok yang nyaris sempurna. Jika diibaratkan superhero, Boy yakni Superman. Tampan, kaya, cerdas, baik hati dan tentunya rajin Solat. Satrio juga kurang lebih sama, tapi ia tampak lebih membumi. Dia orang kaya tapi tidak mau menikmati kekayaan yang hasil korupsi tersebut. Satrio juga rajin Solat tapi di film ini itu tidak diumbar sebanyak si Boy dulu. Hal yang tepat untuk dilakukan. Bukannya saya menganggap sosok abjad yang Soalt itu tidak gaul tapi untuk merebut hati anak muda jaman kini tampaknya tidak tepat lagi menggambarkan hal tersebut dengan sangat gamblang kalau tidak mau dicap film religi.

Ada dua tokoh yang saya sangat sukaidi film ini, yaitu Andi dan Herry. Sosok Herry yang diperankan Albert Halim yakni Istimewa bagi saya, sebab biasanya melihat sosok seorang bencong di film rasanya sangat annoying dan menciptakan saya ingin menghajar tokoh tersebut. Tapi seorang Herry bisa mengangkat martabat (halah!) seorang pemuda gemulai di layar lebar. Dia bukanlah sosok yang menyebalkan, tapi lucu, menghibur dan setiap kemunculannya mampu menyajikan kelucuan yang tidak garing. Tapi tokoh terbaik di film ini terang seorang Andi. gayanya yang sok cool, super pede dan lontaran celetukan lucu dan seringkali kotor sangat-sangat menghibur. Diperankan oleh Abimana  (dulu dikenal dengan nama Robertino) sosok Andi sangat-sangat menghibur dengan celetukan konyol dan tingkah polahnya yang juga lucu walaupun dibalik itu semua ia terkadang menyampaikan hal yang tepat dengan caranya sendiri.

Jika diibaratkan lomba lari, film ini yakni ketika dimana Boy menyerahkan tongkat estafet kepada Satrio. Dan sehabis ini giliran Satrio dan teman-temannya yang melanjutkan usaha Boy dan mewakili generasi muda ketika ini. Sekarang tinggal bagaimana seorang Putrama Tuta menciptakan lanjutan perjalanan Satri dan teman-temannya (kalau ada) tanpa membawa pemanis Boy sebab kini sudah waktunya Boy dan rekan-rekannya beristirahat dan menyaksikan regenerasi ini berlanjut. Tapi jikalau dilihat dari film ini saya yakin tanpa pemanis nama Boy sekalipun, Putrama Tuta masih akan bisa membawa perjalanan belum dewasa muda ini dengan arah yang baik kedepannya nanti.


OVERALL: Cerita film ini memang standar, tapi "Catatan Harian Si Boy" yakni sebuah hiburan yang sangatlah keren dan menarik. Dan jangan lupajuga scoring yang sangat mewakilik keseluruhan film


RATING:

Ini Lho Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000)

Film garapan sutradara Ang Lee (Brokeback Mountain, Sense and Sensibility) ini yaitu satu dari sedikit film absurd yang bisa menerima banyak nominasi Oscar termasuk "Best Picture" sesudah 3 tahun sebelumnya "Life is Beautiful" meraih hal yang sama. Selain itu, film yang dibintangi Chow Yun-fat, Michelle Yeoh dan Zhang Ziyi ini juga sering disebut-sebut sebagai salah satu film martial arts terbaik sepanjang masa. Ceritanya sendiri yaitu adonan dari action yang tentunya berisikan adegan-adegan kung fu dan drama yang mengetengahkan dongeng cinta antar karakter. Dan Ang Lee terlihat berusaha menggabungksan dua hal tersebut secara berimbang. Cukup unik mengingat jarang sekali film kung fu macam ini yang punya unsur drama yang kuat.
Li Mu Bai (Chow Yun-fat) yaitu seorang jago kung fu sekaligus jago pedang yang namanya sudah dikenal. Dia selama ini melaksanakan perjalanan untuk memburu Jade Fox, seorang perempuan yang dahulu telah membunuh guru dari Li Mu Bai. Tapi sesudah sekian usang ia tetapkan untuk "pensiun" dari dunia persilatan dan meletakkan pedangnya sebab ia selalu mencicipi kesedihan yang teramat daripada ketentraman. Untuk itulah ia menyerahkan pedang pusaka yang ia miliki kepada adik seperguruannya, Yu Shu Lien (Michelle Yeoh) untuk diserahkan kepada Tuan Te (Sihung Lung) seorang pejabat yang juga teman usang Li Mu Bai. Shu Lien sendiri sudah usang mempunya perasaan lebih terhadap Li Mu Bai tapi merasa tidak sanggup menyatakannya. Padahal bergotong-royong Li Mu Bai juga memendam perasaan yang sama. Setelah menyerahkan pedang itu kepada Tuan Te, ternyata tidak usang berselang pedang itu dicuri oleh perempuan bertopeng yang misterius.
Boleh saja dominan orang menyampaikan film ini luar biasa, salah satu yang terbaik sepanjang masa. Boleh saja seorang Roger Ebert menawarkan nilai tepat pada film ini. Boleh saja dari 146 reviewer RT, 142 diantaranya memuji-muji film ini, dan biarkan saya bergabung dengan 4 orang sisanya yang merupakan kaum minoritas. Well, bergotong-royong saya tidak memasukkan film ini dalam kategori film buruk. Tapi saya juga tidak merasa film ini sehebat yang dibilang orang. "Crouchin Tiger, Hidden Dragon" ternyata tidak sebaik ekspektasi saya. Tapi pertama harus saya akui belahan Art Direction film ini memang juara (menang Oscar juga). Bagaimana seorang Tim Yip (art director) menciptakan segala adegan perkelahian di film ini menjadi sangat megah memang patut diacungi jempol. Yang paling hebat tentu adegan perkelahian Chow Yun-fat dan Zhang Ziyi dipuncak pohon bambu.

Kehebatan dan kemegahan adegan action tersebut sayangnya tidak diimbangi dengan porsi drama yang bisa menciptakan saya tersentuh. Ada dua dongeng cinta yang disorot disini, yaitu antara Li Mu Bai-Yu Shu Lien dan Jiaou Long-Luo Xiaohu. Untuk Li Mu Bai-Yu Shu Lien, saya menangkap kedua pemainnya, Chow Yun-fat dan Michelle Yeoh sudah berakting cukup baik tapi nyawa dalam dongeng cinta tersebut sama sekali tidak sanggup saya rasakan. Momen dimana keduanya saling berbicara dan ngobrol seharusnya bisa menciptakan saya paling tidak mencicipi kehangatan diantara mereka walaupun keduanya menutupi perasaan masing-masing. Dan itu diperparah dengan fakta bahwa saya menonton versi dubbing bahasa Inggris dan bukan yang berbahasa mandarin. Hal itu makin memperkaku hubungan mereka berdua. Saya mengantuk melihat interaksi keduanya.

Untuk dongeng Jiaou Lung-Luo Xiaohu masih lebih baik dan menciptakan saya lebih betah dalam menyaksikan hubungan keduanya. Interaksi antara keduanya disajikan dengan lebih menghibur. Walaupun ada sedikit unsur "stockholm syndrome" dimana korban penculikan jatuh cinta pada yang menculik (sebenarnya Luo Xiaohu juga tidak menculik Jiao Lung sih) yang bergotong-royong saya kurang suka, tapi masih lebih menarik dibanding Li Mu Bai-Yu Shu Lien. Sebenarnya hal ini dikarenakan faktor Zhang Ziyi juga yang buat saya masih lebih anggun daripada Michelle Yeoh walaupun karakternya kurang simpatik.

OVERALL: Menurut saya sih film ini overrated. Memang adegan action-nya megah dan menghibur, tapi diluar itu, film ini serasa lifeless. Tapi keseluruhan bukanlah film yang buruk.

Ini Lho Cin(T)A (2009)

Cin(t)a yang dibentuk oleh sutradara Sammaria Simanjuntak ialah sebuah film yang sangat terang bukan film yang mampu dinikmati semua orang bahkan moviegoers sekalipun. Alasannya terang terlihat dari banyak aspek yang ditampilkan. Dari kisah saja sudah dapat dibilang kontroversial yaitu mengenai cinta beda Agama dan memunculkan pertanyaan - pertanyaan mengenai maksud perbedaan yang dibentuk oleh Tuhan kepada umat-umatNya. Dari gaya penceritaannya juga film ini termasuk unik dan tidak semua orang dapat mengikuti apalagi menikmatinya.

Cina (Sunny Soon) ialah seorang mahasiswa teknik arsitektur berumur 18 tahun yang merupakan keturunan chinesse dan batak. Cina juga ialah seorang penganut agama Kristen. Sedangkan Annisa (Saira Jihan) ialah sosok perempuan yang mempunyai latar belakang yang jauh beda dengan Cina. Annisa yang juga mahasiswi teknik arsitektur ialah muslimah, beretnis Jawa, dan bekerja juga sebagai seorang aktris. Selain perbedaan-perbedaan tadi masih banyak juga hal yang membuat Cina dan Annisa sangatlah berbeda menyerupai Cina ialah mahasiswa cerdik dan miskin, sedangkan Annisa terbelakang tetapi kaya. Tapi pada dasarnya perbedaan Agama ialah jurang pemisah paling lebar antara mereka berdua.

Mereka yang pada awalnya kurang mengenal bahkan dapat dibilang tidak terlalu suka satu sama lain mulai erat sehabis Cina secara tidak sengaja merusakkan maket milik Annisa kemudian kemudian diperbaikinya bahkan mendapat hasil yang lebih anggun dari buatan Annisa. Hal itulah yang jadinya membuat mereka erat dimana Cina menjadi orang yang membantu Annisa dalam menuntaskan Tugas Akhir-nya. Sampai lama-kelamaan benih cinta tumbuh diantara mereka berduayang tentunya terhalangi oleh tembok besar byang muncul alasannya perbedaan keyakinan. Tapi mereka berusaha mencari makna dibalik perbedaan tersebut.
Yang paling dapat diingat dalam film ini terang rangkaian obrolan yang diucapkan oleh Cina dan Annisa yang bagaikan ekspo quote tapi tidaklah mengganggu. Jenis obrolan film ini mirip-mirip dengan obrolan yang digunakan dalam pertunjukkan teater surrealis atau semi surrealis. Memang akhir-akhir ini banyak penulis naskah lokal yang mencoba membuat rangkaian obrolan filmnya menjadi sok puitis tapi berakhir dengan kegagalan dan terdengar maksa. Tapi "Cin(t)a" tidak meninggalkan kesan menyerupai itu alasannya memang dialognya bahwasanya sederhana tapi mempunyai makna yang dalam yang bila direnungi maka akan terasa kebenarannya.

Dengan tema kontroversial macam ini penonton harus dapat berpikir objektif dan tidak asal mencerna alasannya dapat jadi mereka akan merasa agama mereka dicela. Saya sendiri cukup berusaha keras alasannya film ini cukup kritis dalam menyajikan tema percintaan beda agama. Sebuah keberanian yang patut diacungi jempol. Sangat sulit membuat film bertema begini yang netral dan film ini juga tidak lepas dari permasalahan kadang lebih memihak satu sisi agama. Kalau anda bukan tipe orang yang dapat menyikapi film ini dengan objektifitas tingkat tinggi mungkin akan berat memandang film ini sebagai karya seni yang anggun tanpa menyalahkan atau mencela pihak tertentu.

Satuhal yang membuat film ini luar biasa ialah sinematografinya yang begitu indah. Pergantian adegannya mungkin agak susah diikuti bila tidak benar-benar memperhatikan, tapi gambar-gambar yang ditampilkan tidak kalah puitis bila dibandingkan dengan dialognya. Adegan yang kadang ditampilkan hanya satu shot menyerupai Cina dan Annisa bangkit didepan goresan pena ditembok yang berbunyi "Berbuka puasalah pada waktunya" sangatlah efektif dan menarik. Atau adegan yang mengatakan Cina memandang Annisa yang sedang berwudhu dengan begitu terpana juga sama uniknya.

Melihat film ini banyak sekali pertanyaan yang sebelumnya pernah aku pikirkan tapi kemudian terkubur kembali muncul menyerupai "mengapa Tuhan membuat umat-Nya berbeda Agama bila hanya ingin disembah dengan satu cara dalam artian satu agama yang paling benar?" Lalu "bagaimana dengan orang yang terlahir dengan agama yang mungkin bukan agama yang benar dimata Tuhan? Bukankah ia lahir ditentukan oleh Tuhan untuk lahir di keluarga yang menganut agama itu?" Masih banyak juga pertanyaan-pertanyaan lain yang pada dasarnya tetap berujung pada pertanyaan mengapa "Tuhan membuat insan untuk terlahir dalam agama yang berbeda-beda?" Sebuah pertanyaan yang mungkin tidak akan terjawab dan muncul memang alasannya arognasi insan yang ingin mempertanyakan keputusan Tuhan.


OVERALL: Dibalik kontroversi dan keberanian kisah yang diangkat, Cin(t)a ialah film yang cukup indah dan puitis untuk diikuti dan mempunyai romantisme tersendiri baik antar manusianya atau insan dengan Tuhan.


RATING: 

Ini Lho Beastly (2011)

Film ini yaitu bentuk gotong royong dari modernisasi dari dongeng legendaris. Sebelumnya memang ada "Red Riding Hood", tapi gotong royong film yang merekonstruksi ulang kisah gadis kerudung merah tersebut tidaklah sepenuhnya modernisasi sebab setting waktunya juga masih memakai masa lalu. Sedangkan "Beastly" memakai setting jaman sekarang. "Beastly" juga tampaknya menjadi ajang selanjutnya bagi Alex Pettyfer untuk memantapkan posisinya sebagai idola gres gadis-gadis menyaingi Robert Pattinson sesudah sebelumnya membintangi "I Am Number Four" kali ini bersama Vaness Hudgens beliau kembali tampil sebagai sosok laki-laki muda tampan yang bedanya kali ini beliau harus tampil dengan wajah buruk rupa di amyoritas durasi film.

Kyle Kingston (Alex Pettyfer) yaitu cowok yang dapat dibilang nyaris sempurna. Dia mempunyai wajah rupawan yang disukai wanita-wanita dan harta yang melimpah. Walaupun begitu, Kyle bukan orang yang mempunyai kepribadian serupawan wajahnya. Dia yang merasa "lebih" dari yang lain selalu merendahkan orang berpenampilan buruk ataupun miskin. Salah satu korban ajukan Kyle yaitu Kendra (Mary-Kate Olsen) yang yaitu gadis berpenampilan nyentrik dan menyerupai penyihir. Awalnya kendra masih mentolerir kepongahan Kyle, hingga risikonya kesabaran Kendra habis. Kendra kemudian memperlihatkan kutukan sihirnya kepada Kyle yang mengubah Kyle menjadi sosok yang buruk rupa. Untuk menghentikan kutukan tersebut Kyle harus menemukan gadis yang mencintainya dan bersedia mengucapkan "I Love You" pada Kyle dalam jangka waktu setahun. Berhasilkah Kyle? Apakah Lindy (Vanessa Hudgens), seorang gadis sederhana yang ternyata tidak menganggap wajah buruk rupa Kyle sebagai sosok yang angker yaitu cinta sejatinya?
Film ini memang cukup setia dalam mengikuti jalan dongeng original "Beauty and the Beast". Tapi sayangnya setia dalam hal dongeng tersebut tidak dibarengi dengan adaptasi yang pas. Seringkali terlihat hal-hal gila yang mengganggu di film ini. Usaha Kyle membawa Lindy tinggal dirumahnya yaitu salah satu perjuangan mendapat cinta terkonyol yang pernah aku lihat dalam film. Tidak hanya itu, emosi yang dibangun juga sangatlah datar. Saya tidak mencicipi duka ataupun senang mengikuti film ini. Begitu datar dan biasa. Anda menganggap "Twilight" sudah datar? Maka sesudah menonton film ini anggapan anda akan ebrubah sebab "Beastly" punya jalinan kisah cinta yang kosong dalam emosi dan chemistry.

Akting yang ditampilkan Alex Pettyfer sebagai bintang film utama juga sama sekali tidaklah berhasil menarik emosi yang harusnya muncul dan tidak mengundang simpati atas peristiwa yang menimpanya. Datar dan datar yaitu wajah yang beliau tampilkan sepanjang film ini. Bahkan kedataran itu juga yang menciptakan ending film ini begitu garing. Vaness Hudgens gotong royong tidak buruk hanya porsi yang beliau tampilkan utnuk menjadi tugas modernisasi seorang puteri masih kurang. Malah dua peemran pendukung, Lisa Hamilton yang menjadi Zola dan Neil Harris sebagai Will jauh lebih baik dan menghibur dengan beebrapa lontaran humor mereka.


RATING:

Ini Lho Schindler's List (1993)

Sebagai seorang Yahudi nampaknya seorang Steven Spielberg merasa perlu untuk mengangkat tema hollocaust dalam filmnya. Setelah sebelumnya sudah sering mengangkat tema peperangan, hasilnya Spielberg dengan cukup berani mengangkat tema hollocaust dalam film ini yang nantinya akan jadi pendobrak dalam pakem pembuatan film hollocaust. Dan hasilnya ialah sebuah film yang dianggap bukan hanya sebagai salah satu karya terbaik Spielberg tapi juga salah satu yang terbaik dalam jagad perfilman sepanjang masa. Raihan 12 nomiansi Oscar dan memenangkan 7 diantaranya termasuk "Best Picture" dan "Best Director" bagi Spielberg sendiri ialah salah satu buktinya. Bujet $22 juta kembali berkali lipat ketika film ini berhasil mengumpulkan total diatas $320 juta. Padahal film ini termasuk film yang "melelahkan" diikuti. Format "Schindler's List" ialah hitam-putih dan durasinya mencapai 195 menit atau lebih dari 3 jam.

Oskar Schindler (Liam Neeson) ialah pengusaha asal Jerman yang berharap bisa menerima untung dalam bisnisnya selama perang dunia II. Saat itu Schindler menjalankan perusahaannya dengan menggunakan jasa para tahanan Yahudi dikarenakan biaya pembayarannya yang sangat murah. Schindler memang ialah oang yang ambisius dan nyaris rela melaksanakan apapun demi menegruk untung termasuk mendekati beberapa petinggi tentara Jerman atau Nazi untuk meraih kepercayaan mereka sehingga bisa memperlancar bisnisnya. Dengan sumbangan Itzhak Stern (Ben Kngsley) akuntan yang juga seorang Yahudi yang pada awalnya tidak percaya dan kurang suka pada Schindler, ia mulai menjalankan bisnisnya. Tapi ternyata usang kelamaan Schindler mulai mencicipi hal yang lain. Dia yang pada awalnya menolak menyebabkan pabriknya sebagai penampungan kaum Yahudi mulai tergerak hatinya ketika melihat kekejaman Nazi kepada orang-orang Yahudi.
Film ini begitu realistis dalam menggambarkan kondisi ketika itu. Realistis dalam artian Spielberg berhasil merangkum segala agresi kekejian Nazi dengan terlihat menyerupai sebuah dokumenter dibandingkan film. hebatnya, dibalik itu Spielberg masih mampu menyelipkan drmatasisasi yang nyaris tidak terlihat tapi begitu efektikf. Hal itu menciptakan penonton terbawa dengan sendirinya tanpa ada kesan melodrama yang terlalu berlebihan. Yang paling saya rasakan di film ini adalah: kekejaman, kekaguman, dan rasa haru. Kekejian tentara Nazi bisa ditampilkan dengan begitu baik. Sedangkan rasa kagum dan haru yang muncul lebih disebabkan usaha seorang Oskar Schindler dan bagaiman ia menyelamatkan ribuan orang Yahudi dengan caranya sendiri. Scoring film yang begitu anggun juga ikut menjadi faktor keberhasilan film ini mengatrol emosi penonton.

Akting kedua pemain film utamanya juga luar biasa. Liam Neeson dan Ralph Fiennes (sebagai Amon Goeth) sama-sama bisa memperlihatkan perubahan sifat abjad mereka masing-masing dengan baik. Durasi panjang film ini memang sangat mempunyai kegunaan dalam membangun karakterisasi Schindler dan Amon yang perlahan mulai mengalami perubahan kearah yang sama-sama lebih baik. Dan perubahan itu tidak terlihat maksa tapi memperlihatkan kesan simpatik berkat akting kedua pemerannya yang sayangnya gagal menerima Oscar walaupun berhasil masuk nominasi. Saya tidak peduli dengan anggapan film ini sebagai propaganda atau apalah, peduli setan. Karena yang saya lihat ialah sebuah karya luae biasa dan menyentuh dari Spielberg perihal kemanusiaan dan kepedulian laki-laki yang dikenang sebagai "Pahlawan Hollocaust"

Ini Lho Battle: Los Angeles (2011)

Satu lagi film perihal invasi alien yang dibuat. Tapi sepertinya sineas Hollywood masih belum terlalu berani mengambil pendekatan layaknya "District 9" yang mengatakan sudut pandang yang berbeda dari sebuah film mengenai kunjungan alien ke Bumi. Kali ini sutradara Jonathan Liebesman menciptakan film invasi alien yang sekali lagi mengisahkan usaha umat insan dalam menghadapi serangan alien. Film ini sendiri terinspirasi dari sebuah tragedi konkret yang terjadi pada tahun 1942 dimana ketika itu langit Los Angeles dikejutkan oleh kemunculan benda angkasa tidak dikenal dan menimbulkan false alarm dimana tragedi itu kemudian dikenal dengan sebutan "Battle of Los Angeles"

Film ini berpusat pada seorang veteran marinir berpangkat Staff Sergeant, berjulukan Michael Nantz (Aaron Eckhart). Nantz berniat untuk pensiun dari kehidupan militer yang sudah 20 tahun beliau jalani. Beberapa waktu sebelumnya team yang dipimpin oleh Nantz di Irak tewas dan hanya menyisakan dirinya seorang. Hal itulah yang menciptakan Nantz menyimpan perasaan bersalah dan sering menjadi materi perbincangan rekan dan bawahannya. Disaat dirinya sudah tetapkan pensiun, tiba-tiba ia menerima panggilan kiprah yang menyatakan kesatuannya membutuhkan sumbangan Nantz. Ternyata ketika itu dunia sedang digemparkan dengan jatuhnya meteor-meteor raksasa yang kemudian diketahui bersamaan dengan meteor tersebut turut pula alien-alien yang melaksanakan serangan kepada manusia. Saat itulah Nantz dan pasukannya harus mempertahankan kota Los Angeles dari invasi alien-alien tersebut.

Spesial dampak film ini memang cukuplah dibilang manis walaupun dengan bujet yang lebih dari 2x bujet "Distrcit 9" film ini masih terkesan kurang alami dalam penggambaran alien dan pesawat-pesawatnya, tapi untuk urusan penggambaran kemunculan alien dalam situasi perang film ini termasuk cukup bagus. Penggunaan teknik "kamera goyang" juga cukup mendukung penggmabaran adegan yang ada. Mencari ledakan dan baku tembak? Saya rasa penggemar adegan begitu dan penggila action akan cukup terhibur dengan film ini yang menggabungkan peperangan dan invasi alien dengan cukup baik, walaupun memang segala hal klise dalam film action dan perang banyak tergambar disini termasuk nasib dan karakterisasi tokoh yang ada khususnya Michael Nantz yang walaupun standar berhasil dibawakan dengan baik oleh Aaron Eckhart.

Dibalik segala adegan agresi dan baku tembaknya, "Battle: Los Angeles" kekurangan satu elemen yang sangat penting dalam sebuahfilm khususnya untuk film perang atau usaha menghadapi invasi alien. Bayangkan pertarungan sepasukan tentara terlatih menghadapi alien maka yang diperlukan pastilah agresi heroik nan epik dari jagoannya. Tapi sayangnya hal itu tidak terlihat disini. Daripada mengatakan agresi heroik, tentara di film ini lebih menentukan meragukan atasan mereka dan bertahan hidup secara individual. Hal itu memang wajar, tapi bukankah yang diperlukan penonton film perang macam ini ialah kepahlawanan jagoannya yang agak dilebihkan?

OVERALL: Standar film perihal invasi alien yang menampilkan cukup ledakan dan tidak mengecewakan menghibur tapi kurang unsur epik dan kepahlawanan yang menggugah.

RATING:

Ini Lho Akira (1988)

Film instruksi sutradara Katsuihro Otomo yang diangkat dari manga berjudul sama. Sebagai film animasi, "Akira" dinilai punya impact yang cukup besar baik itu ditinjau dari perkembangan film animasi bahkan hingga keseluruhan dunia perfilman dunia. Bahkan akhir-akhir ini ramai diberitakan Hollywood berniat me-remake film ini dalam versi live action. Mungkin sudah banyak juga yang tahu kalau "The Matrix" juga cukup banyak terinspirasi akan film ini. Saya sendiri sempat salah menebak jalan dongeng dari "Akira" alasannya dimana-mana film ini memperlihatkan sosok laki-laki dengan motor besarnya, saya menerka film ini bercerita ihwal balapan liar. Ternyata "Akira" lebih mengarah kepada tema science fiction + post apocalypse + tema agama.

Film ini ber-setting pada tahun 2019 di sebuah kota berjulukan Neo Tokyo. Kota itu yakni citra Tokyo 31 tahun sesudah meletusnya perang dunia III. Kondisi Neo Tokyo sudah menjadi awut-awutan baik dari tampilan kota hingga isi penduduknya. Banyak pejabat korupsi hingga peperangan antar geng, khususnya geng motor. Kaneda dan Tetsuo juga yakni 2 orang sobat yang terlibat dalam pertikaian antar geng motor. Dalam sebuah balapan antar geng, Tetsuo mengalami kecelakaan disaat beliau melihat sesosok anak kecil berpenampilan aneh di tengah jalan. Tetsuo yang terluka parah dibawa pergi oleh sepasukan misterius untuk dilakukan eksperiman pada dirinya. Eksperimen untuk membangkitkan sebuah kekuatan besar yang konon dimiliki sosok berjulukan Akira yang berperan dalam ledakan nuklir yang menghancurkan Tokyo 31 tahun yang lalu. Kaneda dibantu beberapa kelompok anti pemerintah bekerja sama untuk menyelamatkan Tetsuo dan menghentikan kekuatan mengerikan yang disebut "kekuatan Tuhan" tersebut.
"Akira" yakni sebuah animasi yang punya pendekatan yang memang berbeda dalam artian film ini tidak segan memperlihatkan kekerasan dan kesadisan yang lebih brutal daripada film animasi lainnya. Jelas sekali dilihat dari grafis dan juga tema, film ini bukan untuk dikonsumsi bawah umur walaupun bentuknya animasi. Penggambaran adegan sadis tersebut juga terlihat begitu cantik dengan efek animasi yang cukup memanjakan mata dan unik kalau dilihat film ini dirilis tahun 80an.  Dengan taburan kekerasan itu juga "Akira" menjadi unik dan beda dimata saya. Istilahnya lebih gelap dan keras mungkin.

Dasar ide dongeng film ini cukup kreatif dalam menggabungkan unsur science fiction dan memperlihatkan sedikit unsur kemunculan messiah yang mungkin bisa diartikan sebagai Dajjal. Obsesi insan untuk menyamai kekuatan Tuhan juga disinggung. Sudah bukan belakang layar lagi kalau hingga kini insan masih berusaha membuat kekuatan besar alasannya obsesi mereka menjadi yang nomor satu menyamai Tuhan. Segala tema itu cukup baik digabungkan tanpa terasa tumpang tindih dan maksa. Gambaran post apocalyptic dalam film ini juga tampaknya menjadi ide banyak film lain yang mengangkat tema serupa.Tapi menyampaikan film ini luar biasa juga buat saya agak terasa berlebihan. Walaupun saya katakan film ini berhasil dalam menggabungkan banyak sekali tema diatas, bukan berarti "Akira" terhindar dari banyak sekali macam plot hole. Beberapa klarifikasi mengenai kejadian disini terasa banyak sekali kejanggalan.

OVERALL: Secara keseluruhan, "Akira" cukup layak diberikan label cantik dan bisa menginspirasi film-film lainnya. Tapi berdasarkan saya menyampaikan film ini luar biasa agak berlebihan walaupun kini menerima status cult.

RATING:

Ini Lho The Adjustment Bureau (2011)

Penggila science fiction baik itu dalam bentuk novel ataupun film niscaya sudah tidak absurd dengan nama Philip K. Dick. Berbagai karyanya baik dari novel ataupun short story sudah banyak dikenal dan disesuaikan ke layar lebar. Banyak film science fiction yang masuk kategori legendaris disesuaikan dari goresan pena Dick, ibarat "Blade Runner", "Total Recall", hingga "Minority Report". Dan ditahun 2011 ini satu lagi film yang disesuaikan dari short story karyanya yang berjudul "Adjustment Team" dan disesuaikan menjadi film berjudul "The Adjustment Bureau" yang disutradarai oleh George Nolfi dan dibintangi Matt Damon & Emily Blunt.

Film ini menceritakan perjalanan karir seorang David Norris (Matt Damon) yang merupakan politisi muda yang punya reputasi sangat baik dan karir yang cerah dimana beliau sedang mencalonkan diri sebagai senat di New York. Tapi kemenangan David yang sudah didepan mata mendadak sirna disaat sebuah kesalahn yang pernah beliau lakukan dulu kembali diekspose oleh media.

Dimalam sehabis pemilhan ketika David sedang mempersiapkan pidato untuk menyikapi kekalahannya, beliau secara tidak sengaja bertemu seorang perempuan berjulukan Elise (Emily Blunt). Keduanya pribadi saling tertarik dalam pertemuan pertama tersebut. Tapi David tidak tahu bahwa hubungannya dengan Elise bukanlah takdir yang seharusnya terjadi. Untuk itulah ada sekumpulan orang misterius yang berusaha memisahkan keduanya semoga David tetap hidup pada jalur yang telah dituliskan.
Bagaimana Nolfi membawakan film ini pada penonton harus diakui menarik. Saya berhasil dibentuk ingin tau akan perjalanan seorang David Norris menghindari takdir yang sudah tertulis, bagaimana caranya, dan siapa bergotong-royong orang-orang berpakaian hitam tersebut. Semua itu berhasil dibalut dengan thriller yang cukup untuk menciptakan penonton terpaku apalagi menjelang final film. Bumbu romansa antra David dan Elise juga cukup menarik dan romantis. Bagaimana tidak? Melihat seorang laki-laki bersedia mempertaruhkan semuanya hanya untuk bisa bertemu dan bersama gadis yang beliau cintai dalam jangka waktu yang tidak sebentar terperinci hal yang romantis.

Tapi ada hal-hal yang masih mengganjal dan saya merasa kurang sreg. Salah satunya ialah kemampuan yang dimiliki sosok laki-laki hitam yang tergabung dalam "The Adjustment". Mereka terlihat bisa mengontrol sebuah benda atau seseorang dari jarak jauh, tapi mengapa mereka susah payah dalam menciptakan David tetap pada "jalur yang benar"? Bukankah mereka tinggal menggerakan tubuh David saja jikalau begitu? Tidak dilakukannya hal itu menciptakan sosok mereka terasa "kurang sakti" dimata saya. Bagaimana mungkin mereka bisa mengontrol hidup banyak orang dengan kemampuan yang nanggung ibarat itu?

"The Adjustment Bureau" bukanlah mengajak kita untuk tidak percaya bahwa takdir itu tidak tertulis. Sebaliknya, film ini mengajak kita untuk terus berjuang walaupun takdir kita sudah tertulis sedari dulu. Karena bukan mustahil dengan kemauan yang berpengaruh dan perjuangan keras, seseorang bisa memperbaiki jalan hidupnya sendiri.

OVERALL: "The Adjustment Bureau" lebih dari sekedar menghibur tapi juga sebuah kisah yang bagus, berbobot dan kreatif walaupun tetap tidak terhindar dari beberapa plot hole yang sedikit mengganggu.


RATING:

Ini Lho Green Lantern (2011)

Bicara wacana pembiasaan komik DC ke film tidak banyak yang dapat dibanggakan dalam artian sedikit yang sukses. Diluar Superman dan Batman simpel tidak ada yang sukses alasannya ialah memang jumlah superhero yang diubahsuaikan masih sangat sedikit. Sebuah hal yang gila mengingat superhero yang bukan masuk golongan kelas A macam Supergirl, Steel, Watchmen, Catwoman hingga Jonah Hex sudah dibuatkan film tapi superhero macam Flash, Green Lantern, Aquaman bahkan Wonder Woman belum juga punya film. Disaat tentangan DC, yaitu Marvel sudah punya universe dunia perfilman yang dapat dibilang unik dan kreatif dan akan berujung pada "The Avengers" tahun depan, DC masih tidak jelas, jangankan untuk mengangkat Justice League ke layar lebar, Superman yang notabene ialah superhero utama dari DC saja gres akan di-reboot tahun depan.

Untungnya di 2011 ini DC memunculkan film yang mengangkat salah satu superhero andalan mereka, yaitu "Green Lantern". Proyek ini cukup menjanjikan melihat bujet $200 juta yang dikeluarkan sebagai biaya produksi. Belum lagi sosok-sosok yang terlibat macam sutradara Martin Campbell (Casino Royale) hingga pemain film kelas atas macam Ryan Reynolds dan Mark Strong. Jelas film ini salah satu yang paling dinantikan tahun ini. Film ini mengisahkan wacana Hal Jordan (Ryan Reynolds) yang merupakan pilot yang nekat dan suka bertindang diluar batas. Saat itu ia gres saja menjatuhkan salah satu pesawat jet yang ia tumpangi yang nyaris merenggut nyawanya juga.

Diluar Bumi, salah seorang Green Lantern berjulukan Abin Sur diserang oleh Parallax, alien raksasa yang mengerikan dan bertenaga luar biasa. Parallax yang dulu dipenjara oleh Abin Sur sekarang berhasil bebas dan balik menyerang Abin Sur. Serangan itu membuat Abin Sur sekarat dan terjatuh di Bumi. Menyadari ajalnya hampir datang Abin Sur memutuskan mengirim cincin yang ia miliki untuk mencari Green Lantern gres yang akan menjadi penggantinya. Saat itulah pilihan jatuh pada Hal. Sejak itu Hal harus bergabung dengan Green Lantern Corps yang melindungi alam semesta dan berusaha menghentikan serangan Parallax yang sedang menuju Bumi.
Bujet $200 juta memang terlihat dominan untuk mendanai CGI yang digunakan di film ini guna membuat tampilan para Green Lantern dan Planet Oa yang menjadi markas Green Lantern Corps. Hasilnya memang cukup memuaskan dan menarik dilihat. Tapi untuk masuk kategori realistis, Istimewa imbas di film ini masih kurang berhasil alasannya ialah ada beberapa adegan yang terasa kurang real. Walaupun begitu bagaimana tampilan para Green Lantern, dan tampilan sinar hijau yang keluar dari cincin dan membentuk aneka macam macam benda cukup menarik. Hal itulah yang membuat adegan perkelahian di film ini cukup menghibur khususnya ketika adegan Hal melawan Sinestro, walaupun aku sendiri mengharapkan imajinasi yang lebih kreatif dari para Green Lantern dalam menghasilkan benda dari cincin mereka.

Beda visual efek, beda lagi dengan dongeng yang cukup mengecewakan. Kita sebagai penonton diperlihatkan bahwa Green Lantern Corps berjumlah ribuan, tapi yang ada malahan mereka hanya menjadi tempelan semata. Selain Hal tidak ada Green Lantern lain yang mencolok. Sinestro? Memang kiprahnya lebih besar dari yang lain menyerupai Abin Sur ataupun Kilowog, tapi kalau aku tidak salah bukankah Sinestro itu ialah mentor Hal Jordan yang nantinya akan menjadi salah satu musuh terbesarnya? yang ada aku tidak mencicipi kekerabatan mentor dan murid yang nantinya akan berkembang secara emosional ketika Sinestro telah menjadi musuh. Andaikata film ini jadi dibentuk sekuelnya dan akan memakai Sinestro sebagai musuh aku merasa hal itu tidak akan mempunyai kedalaman emosional dan rasanya akan gagal (lagi) menyerupai film pertamanya yang gagal secara komersial (belum balik modal) dan dicerca kritikus.

RATING:

Ini Lho Fast Five (2011)

Tepat 10 tahun semenjak franchise "The Fast and the Furious" mulai berpacu, film kelimanya resmi dirilis dengan masih menampilkan Vin Diesel dan Paul Walker sebagai bintang utama serta disutradarai oleh Justin Lin yang dengan film ini sudah mengarahkan 3 film terakhir franchise ini. Kali ini Dwayne Johnson juga ikut bermain di film ini. Bukan hanya itu, "Fast Five" juga menampilkan tokoh-tokoh yang di installment sebelumnya sudah muncul dan memegang peranan penting. Bisa dibilang ini yaitu super team.

Film ini mengambil setting lokasi di Rio de Janeiro dimana Dom (Vin Diesel) bersama sahabat dan adiknya, O'Conner (Paul Walker) dan Mia (Jordana Brewster) berusaha untuk membangun kehidupan mereka kembali pasca pelarian Dom dari penjara. Disana mereka menerima tunjangan dari sobat usang Dom, Vince (Matt Schulze) dalam sebuah pekerjaan mencuri kendaraan beroda empat yang dijanjikan akan menjadi pekerjaan yang gampang dan mendatangkan banyak uang. Tapi ternyata pekerjaan itu tidak selancar yang diperkirakan sehabis Herman Reyes (Joaquim de Almeida) yang merupakan drug dealer besar dan penguasa dunia hitam di Rio menjebak mereka.

Merasa dijebak dan belakangan mengetahui fakta bahwa Mia sedang mengandung anak O'Conner, Dom tetapkan melaksanakan sebuah misi yang bisa dibilang tidak mungkin yaitu mengeruk semua uang milik Reyes. Untuk itulah Dom dan Conner mengumpulkan teman-teman mereka dari penjuru dunia yang masing-masing memiliki keahlian berbeda untuk bersatu menuntaskan misi ini. Yak, mereka itu yaitu tokoh-tokoh yang pernah muncul di film-film sebelumnya. Tapi walaupun mereka sudah bersatu, misi ini tetaplah tidak gampang alasannya yaitu seorang biro berjulukan Hobbs (Dwayne Johnson) yang merupakan biro kelas atas sedang mengejar mereka.
Yang paling terasa dalam film kelima ini yaitu transisi dongeng dari yang tadinya didominasi adegan balap di empat film sebelumnya kali ini menjadi lebih condong kearah genre heist. Sekilas film ini mengingatkan aku pada "Ocean's Eleven", hanya bedanya film itu lebih elegan sedangkan "Fast Five" menampilkan agresi pencurian yang lebih 'keras' dan kearah action dan tentunya tetap memunculkan adegan kejar-kejaran mobil. Untuk porsi heist jangan harapkan trik-trik cerdas ala "Ocean Trilogi" alasannya yaitu "Fast Five" menyerupai yang aku bilang tadi lebih mengandalkan fisik meskipun tetap ada trik otaknya. Adegan action di film ini juga cukup seru, entah itu disaat kejar-kejaran kendaraan beroda empat (khusunya beberapa menit terakhir), langgar tembak, hingga langgar jotos antara Vin Diesel dan Dwayne Johnson.

Buat aku salah satu kepuasan terbesar film ini yaitu saling berhadapannya Vin dan Dwayne. Dua sosok berotot besar ini memang sangat layak dijadikan rival. Kalau biasanya Vin Diesel menyerupai tidak ada lawan, kali ini Dwayne Johnson muncul sebagai lawan yang sepadan. Dari segi performa akting Dwayne Johnson memang bintang yang paling bersinar disini. Saya bukan menyampaikan aktingnya meningkat, tapi Dwayne memang terlihat cocok memerankan tokoh anti-hero menyerupai ini dibandingkan tokoh seorang jagoan. Apalagi ditambah tampilan fisiknya yang berbalut jenggot yang membuatnya tambah sangar. Vin Diesel masih tetap terlihat keren sebagai sosok yang nyaris unbeatable.

Selain mereka berdua memang banyak tokoh lain yang hebatnya bisa diberikan porsi yang seimbang oleh sutradara Justin Lin. Hal yang sulit memperlihatkan banyak tokoh dalam sebuah film porsi yang seimbang dengan tetap memperlihatkan satu atau dua tokoh utama tugas yang lebih menonjol, dan Justin Lin berhasil melaksanakan hal itu dengan cukup baik. Oya, jangan lupakan 'post credits scene' yang muncul di final film dimana akan ada sebuah fakta mengejutkan yang akan menjadi pengantar menuju installment keenam. Sebuah cliffhanger yang cukup mengejutkan yang menciptakan aku cukup menantikan film keenamnya.

OVERALL: Berkurangnya porsi balap bukanlah hal yang terlalu kuat alasannya yaitu "Fast Five" tetap menjadi film action yang seru bahkan yang paling memuaskan dari franchise balap kendaraan beroda empat ini.

RATING:

Ini Lho Madame X (2010)

Perfilman kita beberapa tahun terakhir bukan hanya kering film berkualitas tapi juga kering dalam penemuan genre film yang diangkat. Jika tidak drama pastilah horror atau komedi sex. Mungkin beberapa film berkualitas sudah berusaha menjamah area lain tapi intinya masih ber-genre drama atau romance. Untungnya orang-orang menyerupai Lucky Kuswandi dan produser Nia Dinata masih bersedia untuk bereksplorasi dalam kreasi film terbaru mereka ini. Mereka mengangkat tema superhero yang memang sudah mati suri di perfilman Indonesia. Bahkan superhero yang mereka angkat bukan superhero biasa tapi bisa dibilang "transgender superhero" alasannya yaitu jagoannya yaitu seorang banci.

Adam (Amink) yaitu bencong yang bekerja di sebuah salon bersama dua sahabatnya, Cun Cun (Fitri Tropica) dan seorang bencong juga berjulukan Aline (Joko Anwar). Di hari ulang tahunnya yang dirayakan kecil-kecilan, Adam menerima seorang pelanggan berjulukan Bunda Lilis (Sarah Sechan). Saat itulah Bunda Lilis yang punya kemampuan meramal melarang Adam untuk mempelajari sebuah tarian misterius yang nantinya akan membahayakan nyawanya sendiri. Mesikpun begitu Adam tidak terlalu memikirkan ramalan tersebut. Malam harinya, mereka bertiga menentukan dugem di sebuah club khusus waria.

Disanalah terjadi peristiwa yang tidak diduga. Club tersebut digerebek oleh Ormas Bogem pimpinan Kanjeng Badai (Marcell) yang memang populer sering melaksanakan pemberantasan pada kaum waria memakai kekerasan. Amink, Aline dan waria-waria lainnya diangkut ke sebuah truk dan dibawa pergi. Berawal dari situlah peristiwa-peristiwa yang tidak diduga oleh Adam baik yang menyedihkan maupun menyenangkan segera terjadi, yang mana akan membawa Adam kepada kehidupan gres sebagai seorang pahlawan super!

Film ini yaitu salah satu film terlucu yang pernah saya tonton. Hampir segala aspek yang ditampilkan bisa memancing tawa, baik itu akting pemain, dialog, hingga banyak sekali Istimewa imbas "murahan" yang disajikan semuanya bisa tampil begitu lucu dan menghibur. Untuk urusan akting, Amink yang sudah terbiasa menjadi bencong terlihat tidak kesulitan mendalami karakternya bahkan sempat muncul celetukan ataupun dagelan yang terlihat begitu alami dan menyerupai sebuah improvisasi. Hal yang bisa muncul kalau seorang pemain drama benar-benar sudah meyatu dengan perannya.
Tentu saja saya tidak terkejut Amink bisa melakukannya. Tapi lain halnya dengan Joko Anwar dan Vincent yang tampil sama baiknya. Joko Anwar bahkan hingga kemunculan terakhirnya masih tetap bisa menawarkan gelak tawa saya yang terkeras. Sedangkan Vincent meskipun tanpa obrolan sedikitpun ia tetap bisa bermain baik. Jangan lupakan pula akting Shanty yang diganjar piala "Best Supporting Actress" di 'Asian Film Awards'

Komedi yang ada juga tidak ketinggalan menyindir segala aspek di negeri kita ini. Memang film ini ber-setting disebuah negeri antah berantah, tapi segala hal yang terjadi disana terasa bagaikan sindirian bagi negeri ini. Mulai dari kehidupan waria yang terasa dipandang sebelah mata, sindiran kepada infotainment, hingga penggunaan kekerasan atas nama kebenaran dan Agama yang jujur sudah membuat saya muak. Semua itu dirangkum dalam rangkaian komedi cerdas dan sangat lucu tapi pesan yang ada berhasil diterima penonton dengan mudah.

Bicara film superhero tentu tidak bisa dilepaskan dari faktor special effect. "Madame X" memperlihatkan apa arti dari kata "special effect" itu sendiri. Efek visual di film ini memang Istimewa tapi bukan dalam artian megah dan bertaburan CGI melainkan sangat cheesy dan terlihat murahan. Tapi hal itu sama sekali tidak membuat film ini terlihat jelek dan murahan alasannya yaitu pengemasannya yang memang spesial. Segala ke-cheesyan itu memang berbanding lurus dengan kekonyolan film ini dan terlihat memang disengaja tampil menyerupai itu. Selain efek, film ini juga bisa memunculkan sebuah scoring yang menjadi ciri khas dan musik tema dengan sangat yummy didengar. Sebuah keberhasilan bagi departemen musik alasannya yaitu membuat musik tema yang usang tinggal di benak penonton bukan hal mudah.

"Madame X" tetaplah bukan sebuah film tepat walaupun punya begitu banyak kelebihan. Yang paling terasa yaitu di bab obrolan yang sering memakai kosakata banci. Jujur saya hanya menangkap sekitar 70-80% dari obrolan yang diucapkan. Alangkah baiknya kalau film ini dibentuk sekuel atau film lain yang dibentuk dengan memakai lebih banyak didominasi obrolan serupa, ditambahkan subtitle untuk mempermudah penonton awam menyerupai saya mengikuti obrolan yang ada. Padahal mungkin dalam obrolan tersebut tersisip juga pesan-pesan lain. Sayang kan kalau cuma alasannya yaitu penonton tidak paham bahasa yang diucapkan pesan tersebut jadi tidak sampai.

OVERALL: Sebuah film berkualitas yang unik dan amat sangat lucu, tapi sayangnya tetap tidak terlalu dilirik pasar lokal terbukti dalam ajang award pun film ini masih tidak berbicara banyak, padahal di ajang penghargaan tingkat Asia film ini sudah dilirik. Serendah itukah selera kita?

RATING:

Ini Lho Sense And Sensibility (1995)

Film yang disesuaikan dari novel berjudul sama karangan Jane Austen ini punya beberapa poin yang patut dicatat dan diingat dalam dunia perfilman. Yang pertama terang film ini yaitu perkenalan dunia terhadap sosok seorang Kate Winslet yang hingga kini dikenal sebagai salah satu aktris terbaik yang dimiliki Hollywood dimana melalui film ini Winslet meraih nominasi Oscar pertamanya sebagai "Best Supporting Actress". Kemudian sebuah catatan tersendiri juga didapat oleh Emma Thompson yang selain menerima nominasi "Best Actress" ia berhasil membawa pulang piala untuk kategori "Best Adapted Screenplay" Hal itu menimbulkan Thompson sebagai satu-satunya orang yang pernah memenangi Oscar dalam kategori akting dan penulisan naskah. Yang terakhir yaitu wacana Ang Lee sang sutradara yang memulai karirnya di Hollywood lewat film ini dan pribadi menerima nominasi "Best Director" sesudah 2 tahun berturut-turut filmnya selalu menerima nominasi untuk "Best Foreign Language Film". Film ini sendiri menerima nominasi "Best Picture".

Film ini bercerita wacana kehidupan Elinor (Emma Thompson) yang harus hidup sederhana bersama 2 orang adiknya, Marianne (Kate Winslet) dan Margaret (Emilie Francois) juga bersama sang ibu, Mrs. Dashwood (Gemma Jones) sesudah ayahnya meninggal dunia dan mereka tidak menerima uang sumbangan yang cukup. Bahkan rumah mereka kini menjadi milik John (James Fleet) dan istrinya yang kikir dan sombong, Fanny (Harriet Walter). John yaitu anak Mr. Dashwood hasil dari pernikahannya yang pertama.

Tapi diluar dugaan, adik Fanny yang gres saja datang, Edward (Hugh Grant) yaitu laki-laki yang baik, hangatdan beda jauh dengan kakaknya. Dalam waktu singkat Edward sanggup erat dengan ketiga bersaudara tersebut bahkan antara ia dengan Elinor mulai tumbuh rasa cinta. Dirumah yang gres di pedesaan, mereka mulai menjalin kehidupan yang mereka harapkan lebih tentram. Tapi ternyata duduk kasus tetap tiba , khususnya dari cinta segitiga yang muncul antara Marianne dengan Colonel Brandon (Alan Rickman) dan John Willoughby (Greg Wise). Selain itu, Elinor yang sudah usang tidak berjumpa dengan Edward disana juga bertemu dengan seseorang yang sangat tidak ia duga keberadaannya.

Sesuai dengan judulnya, film ini memang berkisar pada rasa yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Rasa murung ditinggal keluarga dalam hal ini ayah yang menciptakan mereka harus mencicipi khidupan yang lebih sederhana walaupun penderitaan itu terlihat kurang digali lebih dalam dan hanya ditunjukkan dengan penampilan mereka yang agak "ngampung" dibanding orang London. Tapi yang paling kentara tentunya rasa cinta yang memang menghiasi film ini dan menjadi pokok utama permasalahan.

Elinor yaitu sosok orang yang lebih menentukan menyembunyikan perasaan yang ia miliki dalam artian disaat ia berbungan-bunga sebab Edward ia tidak menunjukannya secara gamblang, begitu juga ketika ia murung sebab tidak lagi bersama Edward. Marianne yaitu sosok yang lain lagi. Dia yaitu tipikal orang yang meluapkan semua perasaan yang ia rasakan tanpa menyembunyikannya sedikitpun. Eksplorasi perasaan keduanya ditampilkan dengan begitu baik oleh Emma Thompson dan Kate Winslet walaupun aku tetap lebih menyukai Kate Winslet. Sayangnya aku masih merasa tidak puas dan kurang akan eksplorasi perasaan yang lebih dalam yang sanggup menciptakan film ini terasa lebih dari sekadar kisah cinta segitiga atau penantian cinta biasa.


OVERALL: Sebuah film yang menyenangkan dari awal hingga final dan sanggup dibilang cukup indah walaupun aku merasa masih kurang sedikit lagi dalam hal dalamnya dongeng yang ada untuk menyentuh aku pribadi sebagai penonton.

RATING:

Ini Lho Jermal (2009)

Film ini menceritakan wacana kehidupan yang terjadi di Jermal. Bagi yang belum tahu, Jermal yaitu sebuah kawasan untuk menjaring ikan yang dibentuk dari kayu-kayu dan berada di tengah laut. Di Jermal juga banyak terdapat anak-anak dibawah umur yang dipekerjakan. Film yang disutradarai oleh Ravi Bharwani, Rayya Makarim dan Utawa Tresno ini juga mengisahkan wacana kehidupan orang yang hidup dan sehari-harinya berada di Jermal. Tapi tidak hanya itu, film ini juga mengisahkan kekerabatan antara ayah dan anak yang terpisah usang dan kurang harmonis.

Jaya (Iqbal Manurung) yang ibunya gres saja meninggal pergi menuju jermal untuk menemui sang ayah, Johar (Didi Petet) yang sudah 12 tahun tidak pernah pulang sebab sedang bersembunyi atas tindakan kriminal yang dulu pernah ia lakukan. Tapi sesampainya disana Jaya malah mendapati hal-hal yang tidak menyenangkan. Sang ayah merasa tidak mau mengakuinya dan kekerabatan mereka sangatlah canggung bahkan cenderung kearah permusuhan. Selain itu Jaya juga menerima perlakuan yang tidak pantas alis di-bully oleh anak-anak yang tinggal di jermal. Tapi usang kelamaan Jaya mulai bisa mengikuti keadaan dan berusaha mengetahui masa kemudian apa yang disembunyikan sang ayah. Johar sendiri mulai mencoba mendapatkan keberadaan Jaya walaupun itu tidak gampang baginya dan Jaya.
Jermal terasa sebagai sebuah film yang spesial. Film yang masuk kategori manis di Indonesia sudah banyak, tapi film dengan gaya penceritaan yang unik dan berbeda layaknya film ini sangatlah jarang. Nuansa kesepian para huruf benar-benar tersampaikan lewat penyampaian film ini yang terasa begitu sunyi. iringan musik yang minimalis serta obrolan yang lebih minim lagi serta temponya yang memang lambat jadi faktor utamanya. Apalagi film ini hanya ber-setting di sebuah jermal yang berada di tengah lautan, dengan kata lain hanya satu lokasi sempit itu sajalah yang akan kita saksikan di film ini selain hamparan lautan.

Nuansa film-film eropa atau film-film bazar sangat saya rasakan disini dimana gestur-gestur kecil hingga besar dari tokoh-tokohnya hingga gambar-gambar tertentu yang berbicara dibandingkan obrolan dari para tokohnya. Keunikan yang nyata tersebut makin diperbagus dengan akting yang baik dari Didi Petet dan Iqbal Manurung. Untuk Iqbal sungguh mengejutkan bocah ini bisa menampilkan akting alami. Tidak ada kesan berlebihan atau kurang ekspresif, semuanya pas dan menjadikan kesan penderitaan tersendiri yang ia rasakan.

Untuk Didi Petet memang sudah tidak perlu diragukan dimana pemeran senior ini bisa menyatu dengan baik walaupun saya agak terganggu dengan bagaimana cara ia menghisap rokoknya yang agak terlihat maksa. Entah itu kebiasaan atau memang faktor ia bukan perokok saya tidak tahu. Selain mereka berdua barisan pemeran pendukung lain juga tampil tidak kalah baik. Satu hal lagi yang unik bahwa di film ini semua pemainnya yaitu laki-laki. Satu-satunya perempuan yang muncul yaitu sosok ibu Jaya yang itupun muncul hanya lewat fotonya saja.

OVERALL: Sebuah film lokal yang memiliki rasa layaknya film-film Eropa dan sekelas bazar internasional yang sunyi tapi sungguh menghanyutkan. Satu lagi film Indonesia yang sangat patut untuk dibanggakan!

RATING: