Thursday, January 31, 2019

Ini Lho The Arbor (2011)

Sebelum ini saya sama sekali belum pernah mendengar nama Andrea Dunbar. Ternyata Andrea Dunbar yaitu seorang penulis naskah pementasan teater dan film yang diakui kejeniusannya. Tapi kenapa namanya terasa asing? Ternyata Andrea Dunbar telah meninggal 21 tahun yang kemudian diusia yang relatif masih sangat muda, 29 tahun. Nah, pertanyaannya pokok bahasan apa yang sanggup diangkat dari perjalanan hidup Andrea yang tergolong singkat tersebut?  Nyatanya sutradara Clio Barnard memang punya cara tersendiri untuk merangkum film dokumenter sekaligus biografi ini.

Film ini mengisahkan mengenai kehidupan keluarga Andrea Dunbar yang didalamnya terdapat aneka macam konflik. Berbagai macam konflik yang terjadi disekitar kehidupannya itulah yang balasannya menginspirasi Andrea untuk menulis dongeng menurut kehidupannya tersebut. Andrea juga diceritakan bukan gadis yang baik-baik juga dimana beliau memiliki 3 anak yang berasal dari ayah yang berbeda-beda. Kehiupannya yang awut-awutan juga menciptakan ketiga anaknya tidak mengalami masa kecil yang senang hingga sang ibu meninggal dunia. Tapi buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Salah satu anak Andrea hasil hubungannya dengan laki-laki Pakistan, Lorraine juga memiliki kehidupan yang tidak jauh awut-awutan dari sang ibu.

Yang jadi keunikan sekaligus kelebihan utama film ini yaitu cara penyajiannya yang tidak menyerupai film dokumenter lainnya. Film ini disajikan menyerupai sebuah film drama dibandingkan dokumenter. Aktor dan aktris yang memerankan tokoh-tokoh konkret di film ini diharuskan melakukan lyp sync terhadap obrolan yang diucapkan oleh para narasumber yang suaranya direkam ketika wawancara. Hebatnya pemeran dan aktris yang bermain seakan terlihat tidak melaksanakan lyp sync. Mereka terlihat seolah menjadi orang orisinil yang mengalami kejadian-kejadian yang diceritakan dan seolah yaitu narasumber orisinil yang diwawancarai.
Seperti yang saya bilang, film ini dicampur juga dengan adegan dramatisasi yang begitu unik sehingga kita sanggup kembali melihat kurang lebih bagaimana kejadian yang terjadi seseungguhnya. Diparuh awal film bahkan terdapat penyajian yang menarik dimana kita diperlihatkan bagaimana background keluarga Andrea dalam sebuah panggung rekaan yang berlokasi disebuah taman, halaman dan lingkungan sekitar. Sebuah penggmabran unik yang sayangnya menghilang ketika film melewati bab tengah. Dengan segala keunikannya tersebut, "The Arbor" seolah punya potensi untuk menjadi film dokumenter terbaik yang pernah saya lihat. Tapi beberapa kekurangan menciptakan film ini berakhir hanya sebatas film yang biasa saja bagi saya.

Diawal hingga tengah, film ini masih menjadi film yang sangat manis dimata saya. Tapi semua itu pribadi berubah disaat fokus dongeng mulai bergeser dari kehidupan Andrea menjadi fokus pada putrinya, Lorraine yang punya permasalahan hidup yang tidak kalah pelik. Melencengnya fokus dongeng terang menjadi bukti bahwa film ini kesulitan dalam mengangkat kisah hidup Andrea Dunbar yang singkat sehingga ketika Andrea diceritakan telah meninggal mereka memaksakan merubah fokus cerita. Toh yang jadi fokus masih putrinya kan? begitu pikir mereka. Sayangnya saya justru kehilangan sisi menarik film ini. Apalagi adegan reka panggung yang jadi keunggulan utama film ini menghilang disaat film muali berfokus pada kehidupan Lorraine.

Saya akui kisah permasalahan Lorraine yang diangkat yaitu kisah pelik yang apabila diangkat dalam bentuk sinetron Indonesia niscaya akan hingga ribuan episode. Tapi dongeng yang pelik belum tentu menjadi menarik. Saya mencicipi dongeng yang diangkat makin membosankan saja seiring berjalannya durasi. Padahal film ini hanya berjalan 90 menit, tapi yang saya rasakan film ini berjalan 2 jam lebih akhir konflik kolam sinetron yang sangat membosankan. Apalagi huruf Lorraine sama sekali bukan huruf yang sanggup menarik simpati dan lebih condong untuk dibenci. Dengar saja bunyi yang beliau munculkan seolah tidak mengalami penyesalan atas segala hal yang beliau lakukan khususnya terhadap anaknya sendiri.

"The Arbor" tetaplah salah satu film dokumenter yang punya pengemasan paling baik, tapi ditinjau dari segi dongeng dan kisah yang ditampilkan bagi saya film ini kosong dan tidak penting. Sungguh, sebuah biopic yang mengangkat kisah hidup 2 perempuan yang hidupnya hancur dan tidak membaik sangatlah tidak menarik dan menyenangkan untuk diikuti. Jika film ini lebih fokus pada hidup Andrea (yang memang pendek dan sulit dikulik lebih jauh) niscaya hasilnya jauh lebih baik daripada kini yang hasilnya cenderung membosankan.

RATING:

Artikel Terkait

Ini Lho The Arbor (2011)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email