Tuesday, January 15, 2019

Ini Lho The Bow (2005)

Dua pengalaman terakhir saya dalam menonton film Kim Ki-duk yaitu Time dan Arirang tidak se-amazing pengalaman-pengalaman sebelumnya ketika menonton film buatan sutradara Korea ini. Bagi saya Time terasa terlalu banyaomong untuk ukuran film Kim Ki-duk dan alurnya yang berputar-putar terasa membosankan. Suasana magis seolah menyatu dengan alam yang jadi ciri Ki-duk juga tidak terasa alasannya Time punya set yang lebih realistis, yaitu sebuah perkotaan di Korea dan dalam dunia yang bisa dibilang "lebih modern". Sedangkan Arirang memang masih merupakan film yang tidak mengecewakan bagus, setidaknya bagi saya yang merupakan penggemar Kim Ki-duk. Tapi film itu yakni sebuah dokumenter yang tentunya tidak akan memperlihatkan sensasi yang sama kalau dibanding film-film Ki-duk lainnya. Apalagi Arirang juga dibentuk dengan kesederhanaan tingkat tinggi alasannya memang film itu dibentuk nyaris tanpa biaya. Sampai kesudahannya saya menonton The Bow atau yang punya judul Korea Hwal. Ya, disinilah saya kesudahannya kembali mencicipi perasaan unik yang hanya bisa ditemui kalau menonton film buatan Kim Ki-duk.

Kim Ki-duk kembali menampilkan aksara "bisu" dalam filmnya. Di sebuah kapal yang mengapung di tengah maritim tinggal laki-laki bau tanah berumur kira-kira 60-an (Jeon Seong-hwang). Tapi laki-laki itu tidak tinggal sendirian, disana juga ada seorang gadis muda yang gres 16 tahun (Han Yeo-reum). Keduanya sama-sama tidak pernah mengucapkan satu katapun. Sang laki-laki bau tanah menyebabkan kapal daerah ia tinggal itu sebagai daerah pemancingan. Tiap harinya dengan kapal motor ia menjemput beberapa orang yang akan memancing disana. Diantara para pemancng tersebut sering beredar banyak gosip ihwal hubungan antara laki-laki bau tanah dan gadis tersebut. Ada yang bilang bahwa gadis itu sudah tinggal di kapal sejak usia 6 tahun sehabis ditemukan oleh laki-laki bau tanah itu dan selama 10 tahun tidak pernah meninggalkan kapal. Ada juga kabar yang menyampaikan bahwa laki-laki bau tanah itu berniat untuk menikahi sang gadis ketika usianya menginjak 17 tahun. Entah benar atau tidak, sang laki-laki bau tanah yang juga hebat panah itu memang sangat protektif khususnya kalau ada pemancing yang mencoba menarik hati sang gadis. Sampai suatu hari tiba seorang laki-laki yang seumuran dengan gadis itu (Seo Si-jeok). Tidak butuh waktu usang hingga kesudahannya dua orang ini saling mencintai.

Ah rasanya tidak perlu lagi saya menjelaskan bahwa film ini akan punya alur yang lambat, suasana yang sepi dan sinematografi keren yang mampu menangkap gambar-gambar indah namun praktis dalam filmnya, alasannya semua kebanggaan itu selalu saya lontarkan dalam review yang saya tulis untuk film-film Kim Ki-duk sebelumnya. Gambar-gambar membisu dan bisu yang indah memang masih muncul dalam The Bow. Momen-momen tersebut yakni momen favorit saya tiap kali menonton film-film Ki-duk. Perasaan hening dan magis yang bisa secara luar biasa mengikat dan membuat saya jatuh cinta pada karya-karyanya. Satu lagi keunggulan dari The Bow yakni musiknya yang terasa sangat tradisional Korea. Musik-musik tradisional tersebut benar-benar menambah keindahan artistik film ini. Tentu saja pemakaian musik-musik tersebut juga sangatlah efektif untuk membangun suasana dan feel dalam filmnya. Pemakaian beberapa simbol dan gambar-gambar bercorak Buddha dan lambang Korea Selatan sendiri makin menambah kesan etnik dalam film ini.
Tentu saja membicarakan film Ki-duk tidak akan lengkap rasanya kalau tidak membahas makna-makna dan interpretasi dari penonton ihwal film tersebut. Bagi saya The Bow masih membicarakan hal-hal yang sering diangkat Ki-duk sebelumnya, yaitu ihwal cinta dan kehidupan, setidaknya cinta dan kehidupan menyerupai apa yang dilihat oleh Kim Ki-duk. Dua tema besar itu semuanya terangkum dalam judul film ini sendiri yaitu The Bow. Sosok gadis muda dalam film ini memang terlihat begitu terkekang oleh keberadaan sang laki-laki tua. Namun bekerjsama gadis itu juga cukup tergantung dan tidak bisa begitu saja melepaskan laki-laki bau tanah yang sudah merawatnya dan tinggal bersamanya selama 10 tahun. Sang gadis bagaikan sebuah anak panah yang belum ditembakkan, hanya bisa melamun dan tidak bisa berbuat apapun. Namun akan tiba waktunya anak panah tersebut ditembakkan dan terbang bebas menyerupai kehidupan yang akan dijalani oleh sang gadis bila meninggalkan sang laki-laki tua. Jika bicara soal kehidupan maka The Bow bagi saya yakni sebuah pencarian keindahan hidup dan definisi dari kebebasan dalam hidup itu sendiri.

Tentu saja The Bow juga bicara persoalan cinta antara tokohnya, cinta antara umat manusia. Apa yang saya tangkap masih berkaitan juga dengan panah yang jadi salah satu properti utama di film ini. Dalam film ini digambarkan bahwa cinta bisa disamakan dengan busur panah. Jika dipakai dengan "baik" tanpa niat yang jelek maka akan tercipta keindahan. Tarikan busur yang begitu mantap hingga kemudian melontarkan anak panah yang terbang bebas menuju sasaran dengan indahnya dan membuat bunyi yang tidak kalah merdu. Seperti yang dituliskan Kim Ki-duk di tamat film "Strength and a beautiful sound like in the tautness of a bow. I want to live like this until the day I die." Sebuah busur panah sama dengan cinta, kalau disikapi dengan cara yang sempurna dan dengan hati yang baik maka bisa menjadi sebuah keindahan bahkan sebagai sebuah protektor menyerupai apa yang dilakukan oleh laki-laki bau tanah dalam film ini ketika melindungi si gadis di momen-momen awal. Namun lama-lama bukannya melindungi laki-laki tersebut justru menjadi posesif dan bukan lagi melindungi namun justru menyerang dan membahayakan orang lain. Sama juga menyerupai busur dan cinta yang bisa membahayakan kalau tidak disikapi dengan bijak.

Bicara cinta juga akan membawa pada sebuah perenungan ihwal ketulusan cinta antara sang laki-laki bau tanah dan gadis muda. Apakah si gadis memang mengasihi laki-laki bau tanah itu? Atau hanyalah sebuah belas kasihan belaka? Tidak ada yang tahu. Berbicara ihwal adegan metafora sendiri masih banyak lagi adegan metafora yang sudah menyangkut kepada detail adegan, bukannya tema besar hingga tidak akan saya jabarkan disini. Untuk ending, film ini juga tetap punya ciri khas Ki-duk yakni punya ending yang cukup absurd. Bagi saya sendiri ending itu merupakan balasan dari pertanyaan ihwal perasaan cinta yang dirasakan kedua tokoh utama film ini, sebuah cinta yang murni ataukah bukan? Sekali lagi, pemaknaan terhadap film Kim Ki-duk akan sangat berbeda pada tiap penontonnya, dan apapun itu saya rasa tidak persoalan asalkan ada sesuatu yang bisa penonton ambil maknanya. The Bow sendiri terperinci sebuah pengalaman magis yang kesudahannya kembali saya rasakan dalam menonton film Kim Ki-duk dan kesudahannya membuat saya berangan-angan, "Kapan ya saya bisa menonton film Kim Ki-duk di layar bioskop?"


Artikel Terkait

Ini Lho The Bow (2005)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email