Friday, January 11, 2019

Ini Lho Grotesque (2009)

Gelar sebagai film torture porn paling terkenal mungkin dipegang oleh Saw dan Hostel, namun bila bicara yang paling gila dan sadis maka kedua film tersebut sama sekali tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Grotesque karya Koji Shiraishi. Koji Shiraishi sendiri paling dikenal lewat film horror fund footage super menakutkan berjudul Noroi: The Curse yang bagi saya merupakan film found footage paling menyeramkan. Judul Grotesque sendiri berasal dari bahasa Latin grotto yang berarti "tempat tersembunyi". Sampai kini film ini sering disebut sebagai film paling brutal, paling disturbing serta sebutan "paling..." lainnya yang pada pada dasarnya merujuk pada satu kesimpulan yaitu Grotesque adalah film sinting. Film ini sendiri dihentikan beredar di Inggris dengan alasan yang kurang lebih menyatakan bahwa Grotesque jauh lebih gila daripada Saw maupun Hostel karena disaat dua torture porn asal Hollywood tersebut masih menyelipkan misteri serta latar belakang karakter, lain halnya dengan Grotesque yang hanya berfokus pada penyiksaan-penyiksaan sadis. Memang kenyataannya film ini tidak punya dongeng rumit ataupun misteri terselubung layaknya Saw. Kisahnya sangat sederhana dimana ada sepasang laki-laki dan wanita yang dalam perjalanan pulang dari kencan pertama mereka harus mendapatkan nasib malang ketika seorang laki-laki misterius menculik mereka. Kemudian segala kegilaan dimulai di sebuah ruangan tersembunyi milik sang penculik tersebut.


Selanjutnya yang terjadi yaitu aneka macam macam bentuk penyiksaan mulai dari fisik hingga mental dilakukan oleh sang penculik terhadap kedua korbannya, dan semua itu dihadirkan dengan begitu vulgar disini. Tentu saja ada aneka macam macam penyiksaan khas film-film torture porn yang penuh dengan darah dan terasa begitu menyakitkan. Grotesque punya semua adegan penyiksaan gila yang akan memuaskan dahaga para pecinta darah tumpah atau serpihan badan berhamburan. Mulai dari yang tingkatnya ringan menyerupai penusukan, yang sedang menyerupai memotong anggota badan dengan gergaji mesin, hingga yang paling ekstrim dan terasa begitu menyakitkan semisal pemotongan penis atau puting. Jika anda merasa sudah melihat semua jenis penyiksaan dengan bermodalkan delapan film Saw dan tiga film Hostel, maka Grotesque sudah siap mengejutkan anda dengan aneka macam macam penyiksaan sinting yang mungkin selama ini hanya ada menjadi mimpi lembap sutradara-sutradara Hollywood macam Eli Roth. Tentu saja Koji Shiraishi berbaik hati dengan menyajikan itu semua tanpa basa-basi, atau dengan kata lain melalui grafik yang vulgar. Efek visual yang hadir juga cukup baik hingga makin menciptakan segala kesadisannya terasa positif entah itu darah mengalir atau serpihan badan berhamburan tentunya dengan darah berlumuran. Dari awal hingga selesai ini yaitu hidangan penyiksaan tanpa henti yang bahkan turut menyiksa emosi penontonnya. 

Emosi? Apa yang sanggup diperbuat oleh sebuah film torture porn tanpa latar belakang abjad yang mencukupi terhadap emosi penontonnya? Terasa aneh memang, namun meskipun tanpa pengenalan abjad yang mendalam saya sudah dibentuk bersimpati pada kedua abjad utamanya. Kita hanya tahu bahwa mereka berdua gres saja pulang dari kencan pertama yang menyenangkan, hanya itu. Namun seiring dengan berjalannya film dan saya diperlihatkan pada hasrat bertahan hidup dan saling meindungi satu sama lain yang cukup besar antara mereka berdua, saya pun perlahan mulai menaruh simpati. Mungkin kisah keduanya tidak hingga terasa sebagai perwujudan cinta sejati yang menciptakan mereka saling rela berkorban, tidak sekuat itu. Namun setidaknya tanpa adanya pendalaman abjad yang lebih, film ini sudah berhasil menciptakan saya berharap keduanya sanggup selamat dari siksaan yang mereka alami, sebuah impian yang sepanjang film pun selalu saya sadari sebagai impian yang semu. Berkat rasa simpati pada kedua karakternya inilah yang menciptakan Grotesque lagi-lagi berhasil mengejutkan saya lewat kemunculan dinamika emosi yang cukup berpengaruh khususnya di bab akhir. Ternyata film ini tidak hanya pamer kesadisan namun juga sanggup membangun ketegangan yang tidak main-main. Dinamika emosinya pun diatur cukup baik naik turunnya. 
Dan bila bicara soal dinamika emosi, Grotesque memang paling hebat menciptakan penontonnya emosi dan bersumpah serapah. Tidak hanya alasannya yaitu kegilaan adegan penyiksaannya tapi juga alasannya yaitu keberhasilan film ini menciptakan ekspektasi saya meninggi, menaruh secercah impian yang nampaknya tidak mungkin sebelum kemudian membanting dan menampar saya keras-keras akan kenyataan yang ada. Hebatnya itu dilakukan tidak hanya sekali tapi beberapa kali, dan saya masih juga tergoda oleh "permainan" dari film ini. Bagi saya Grotesque adalah film torture porn sejati, kenapa? Karena penyiksaan yang ditampilkan oleh film ini tidak melulu penyiksaan fisik namun juga ujian mental bahkan hingga sexual humiliation. Kedua abjad utamanya tidak hanya disiksa habis-habisan tubuhnya tapi juga disiksa mentalnya, dipermalukan, dilecehkan, pokoknya menciptakan Jigsaw dan orang-orang gila di Hostel terasa begitu manusiawi dalam memperlakukan korban-korban mereka. Dokter sinting sekaligus penculik dalam film ini memang benar-benar menyiksa, menghancurkan fisik dan mental korbannya, mempermainkan mereka secara perlahan. Kedua korban diperlakukan benar-benar tidak selayaknya manusia, dan seakan-akan tidak ada harganya sama sekali. Benar-benar hidangan penyiksaan yang bangsat!

Tapi Grotesque bukannya tanpa momen membosankan. Pada paruh awal ketika si penculik melaksanakan foreplay pada korban wanitanya, film ini sempat terasa membosankan alasannya yaitu durasi yang tersita terlalu usang pada bab itu. Tentu saja ini bukan film-film JAV yang akan menciptakan penontonnya terangsang melihat adegan foreplay-nya, jadi adegan si penculik meraba-raba dan menjilati badan korbannya malah jadi terasa begitu membosankan. Untungnya sehabis itu kegilaan mulai bertambah dan segala penyiksaan sinting mulai digeber sehingga Grotesque pun tetap jadi tontonan gila nan menyenangkan hingga akhir. Lalu bila bicara ending, mungkin penonton akan terbagi dua, yaitu yang membenci atau yang menyukai ending-nya. Yang membenci akan beranggapan sehabis lebih dari satu jam penyiksaan dengan tone yang kelam dan serius tiba-tiba filmnya ditutup dengan selesai yang "konyol" menyerupai film-film gore-nya Nishimura. Namun saya termasuk yang menyukainya alasannya yaitu alasan yang simpel, yaitu saya berhasil dibentuk tertawa terbahak-bahak. Bagi saya ending itu makin melengkapi dinamika yang dihadirkan film ini, mulai dari tegang, jijik, menyakitkan, bahkan tawa di akhir. Namun saya tidak menyukai sebuah fakta yang dibeberkan perihal si penculik yang mengungkap kenapa ia hidup sendirian dan pada alhasil memicu segala perbuatan gila tersebut. Bagi saya momen itu tidak hanya konyol tapi sangatlah dipaksakan, seolah Koji Shiraishi ingin menawarkan kedalaman pada abjad itu tapi galau harus mengemasnya menyerupai apa. Tapi secara keseluruhan ini yaitu tontonan super gila sekaligus super menyenangkan. Saya cukup yakin masih ada film-fim lain yang lebih sinting, lebih disturbing dari ini, dan susah dibayangkan menyerupai apa film-film tersebut.

Artikel Terkait

Ini Lho Grotesque (2009)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email