Sunday, December 30, 2018

Ini Lho Hahaha (2010)

Sebuah judul yang asing untuk film perihal kebetulan yang jauh lebih asing lagi. Hong Sang-soo masih dengan gaya bertuturnya yang penuh kesederhanaan itu membawa ktia pada sebuah obrolan santai antara dua sahabat, sutradara Jo Moon-kyung (Kim Sang-kyung) dan kritikus film Bang Joong-sik (Yoo Jun-sang). Uniknya, kita tidak pernah dihadapkan secara eksklusif pada obrolan keduanya. Penonton hanya sesekali diajak mendengar bunyi mereka ditambah potongan-potongan gambar hitam putih yang memperlihatkan keduanya sedang minum-minum. Hahaha justru akan mempertontonkan visualisasi kisah mereka, perihal pengalaman masing-masing ketika sedang singgah di kota kecil berjulukan Tongyeong. Sekilas tidak ada yang asing dari obrolan dua sahabat perihal pengalaman mereka di kota yang sama. Film ini akan membawa penonton pada obrolan macam ini: "loh, kau ke kawasan itu? Aku juga lho" atau "Sama, saya juga kemarin ngalamin itu". Singkat kata ialah kebetulan, hanya saja pada tingkat yang lebih jauh.

Saya menyebut "tingkat yang lebih jauh" alasannya ialah pada kenyataannya, Jo Moon-kyung dan Bang Joong-sik ada di Tongyeong pada waktu yang bersamaan. Tidak hanya itu, mereka juga berkenalan dan berinteraksi dengan orang yang sama serta mengunjungi kawasan yang sama. Bahkan banyak sekali cuilan kisah yang mereka alami pun kebanyakan menyerupai satu sama lain. Semua itu terjadi dan mereka ceritakan tanpa ada yang mengetahui kebetulan asing tersebut. Banyaknya kebetulan dan ketidak tahuan masing-masing dari mereka akan hal itu bagaikan pisau bermata dua bagi film ini. Satu sisi, hal itu begitu menarik. Saya begitu terhibur oleh banyak sekali kemiripan insiden serta kebetulan yang dialami keduanya. Hong Sang-soo pun bisa menciptakan tiap kesamaan kisah literally sama. Tidak selalu kita mendapati ketika salah satu bercerita perihal berpacaran di bawah hujan, sang mitra bakal bercerita pengalaman yang sama. Persamaan tidak selalu muncul pada situasi secara menyeluruh tapi bisa respon yang hadir, esensi kejadian, bahkan hingga aspek terkecil menyerupai sama-sama memanjat pagar.
Hal itu memperlihatkan keunikan, tapi disisi lain menjadi suatu kelemahan yang cukup mengganggu pula. Kebetulan masuk akal terjadi, dan masuk akal pula bila hadir ketidak tahuan diantara mereka. Tapi akan terasa sebagai plot hole logika ketika keduanya ialah sahabat dekat dan sedang melakuakn obrolan yang mereka sadari terdapat kemiripan tapi hingga simpulan keduanya tidak tahu menahu atau setidaknya menanyakan perihal orang-orang yang terlibat interaksi dengan mereka. Bahkan bila kita asumsikan bahwa Moon-kyung dan Joong-sik bukan sahabat dekat sekalipun, masih ada ketidak logisan yang mengganjal. Bayangkan kau ada di sebuah kota yang amat kecil. Ibumu ialah pemilik suatu kawasan makan, sebut saja sop buntut. Kemudian temanmu berkata beliau gres saja ke kota kecil itu dan makan sop buntut di sebuah warung milik seorang ibu-ibu. Tidakkah kau niscaya akan menyatakan ibumu juga pemilik warung sop buntut? Tidakkah sesudah itu akan muncul pertanyaan "oh ya? memang dimana warung sop ibumu?", dan begitu pertanyaan itu terjawab, terbuka jugalah banyak sekali persamaan yang terjadi di sekitar keduanya.

Memang hal itu cukup mengganggu, tapi Hong Sang-soo tetaplah Hong Sang-soo yang begitu hebat mengemas kesederhanaan menjadi drama memikat dan bermakna mendalam. Hong sama menyerupai kompatriotnya sesama sutradara art-house asal Korea Selatan, Kim Ki-duk. Keduanya punya ciri khas berpengaruh baik dalam gaya dan tema. Tidak perlu hal outstanding, cukup berikan apa yang diharapakan penonton ada dalam film mereka, maka orang yang telah dekat dengan gaya para sutradara itu akan terpuaskan. Hahaha pun sama saja. Saya suka obrolan ala Hong yang seringkali begitu filosofis tapi dikemas dengan bahasa sederhana serta suasana bertutur yang santai, membuatnya tidak berlebihan, tidak menggurui, dan gampang dicerna. Saya suka ketika warna-warni emosi mulai dari amarah penuh teriakan hingga kesedihan berbalut isak tangis "menyedihkan" selalu hadir tiba-tiba. Hampir tidak ada gradasi emosi. Hong selalu "seenaknya" merubah ketenangan menjadi keributan, merubah tawa menjadi tangis. Tidak pernah terasa dipaksakan, alasannya ialah selalu ada soju (minuan keras khas Korea) dalam tiap obrolan dalam film Hong Sang-soo.

Kehadiran soju menjadi penting, alasannya ialah menciptakan perubahan emosi yang begitu mendadak itu selalu bisa diterima nalar. Selain itu, mabuknya karakter-karakter dalam film Hong termasuk disini juga bermaksud untuk memperlihatkan kerapuhan manusia, bagaimana begitu banyak kesedihan yang mereka pendam, dan ketika alkohol mengambil alih, itulah waktunya untuk katarsis. Peluapan segala perasaan, peluapan semua yang terpendam. Saat itu terjadi, karakternya selalu terasa ringkih dan menyedihkan. Disini, lagi-lagi Hong menyoroti hasrat besar laki-laki pada perempuan cantik. Pada ketika itu kita akan melihat abjad laki-laki dalam film Hong (termasuk Hahaha) ialah "hewan buas" sedangkan perempuan hanyalah objek/korban. Laki-laki nampak berpengaruh dengan bermodal rayuan, perempuan terasa lemah alasannya ialah gampang terbuai. Hingga kemudian semuanya dibalik. Sang perempuan nyatanya begitu berpengaruh dan akan duduk dengan kokohnya ketika terjadi pertengkaran, sedangkan si laki-laki justru menagis terisak, bahkan tidak jarang hingga bersimpuh. Hong Sang-soo bagaikan berkata bahwa laki-laki hanya berpengaruh di fisik dan buas diluar, di dalam mereka justru ringkih dan lebih lemah daripada wanita.
Kenapa film ini diberi judul Hahaha layaknya tawa? Pertama terperinci alasannya ialah banyak obrolan santai disini, dan obrolan macam itu identik dengan gelak tawa. Tapi disisi lain, film ini juga menjadi film Hong paling lucu ,paling kental nuansa komedinya. Lagi-lagi komedinya tidak jauh dari menertawakan laki-laki. Kim Sang-kyung sebagai Moon-kyung selalu berhasil menciptakan saya tertawa dengan gaya sok kuatnya, yang ternyata hanya topeng dari begitu cengeng dan "tololnya" laki-laki satu ini. Lihat ekspresinya ketika bertemu Jenderal Lee Soon-sin dalam mimpi (salah satu adegan terabsurd dari Hong), ketika dimarahi sang ibu, atau ketika terpaksa laga demi gengsi. Sebagai laki-laki, saya pun selalu tertawa melihat betapa busuknya rayuan gombal yang dilontarkan karakternya. Sebuah omong kosong besar yang menggelikan, dimana saya pun (hampir semua laki-laki saya yakin) pernah melakukannya. Fakta itu menciptakan film ini makin terasa lucu. 

Saya juga menyukai bagaimana Hahaha bertutur perihal cinta. Begitu banyak perselingkuhan disini tapi Hong tidak pernah menekankan kekerabatan itu sebagai suatu cinta terlarang, meski tetap ada momen perdebatan perihal hal tersebut. Bukan berarti film ini pro terhadap perselingkuhan, tapi esensinya terletak pada cinta. Hal yang benar ialah kembali pada orang yang kita cintai. Bukan bermaksud menodai suatu ikatan hubungan, tapi bukankah alangkah lebih baiknya seseorang hidup senang besama seseorang yang mereka cintai? Film ini pun mempunyai salah satu adegan paling romantis yang pernah dibentuk Hong, yakni ketika Joong-sik begitu mengkhawatrikan kekasihnya yang menghilang sebelum mengetahui bahwa beliau hanya mengobrol dengan seorang penjual kain. Ekspresi lega yang diperlihatkan Joong-sik ketika itu entah mengapa terasa romantis. Pada alhasil selain alasannya ialah filmnya yang bagus dan punya sentuhan komedi, saya cukup yakin bisa terpuaskan oleh film ini alasannya ialah sudah usang tidak menonton film sang sutradara. Fakta bahwa hampir semua film Hong terasa menyerupai baik dari konten dan gaya memang membuatnya tidak akan memuaskan bila ditonton dalam jangka waktu berdekatan.

Ini Lho The Mule (2014)

Saat sedang menonton film ini, salah seorang sahabat bertanya, "nonton apaan?" yang saya jawab singkat "The Mule, film Australia". Lalu sahabat saya kembali bertanya, "tentang apa?' Saya tidak pribadi menjawab. Setelah melongo beberapa detik barulah saya berkata "tentang nungguin orang buat boker selama dua minggu." Sebuah tanggapan yang direspon olehnya dengan tawa, bercampur sumpah serapah plus lisan jijik. Respon menyerupai itu jugalah yang terjadi pada saya ketika menonton film ini. Mungkin bakal lebih "mudah" bila saya menjawab bahwa film ini bercerita perihal usaha penyelundupan narkoba dari luar negeri yang berhasil diketahui kepolisian federal, tapi itu hanya awalan saja. Karena memang lebih banyak didominasi durasi film garapan Tony Mahony dan Angus Sampson ini akan diisi proses menunggu dan memaksa aksara utamanya untuk buang air besar. Ray Jenkins (Angus Sampson) gres saja dinobatkan sebagai player of the year dalam klub rugby tempatnya bermain. Dengan gelar menyerupai itu dalam sebuah klub rugby, mungkin yang terbayang dari Ray ialah sosok laki-laki gahar, besar lengan berkuasa dan berbadan kekar. Namun beliau amat terbalik dari deskripsi tersebut.

Ray ialah laki-laki yang naif dan cenderung manja, terbukti dari fakta bahwa ia tidak sanggup terlepas dari sang ibu. Bahkan untuk sekedar ikut dalam perjalanan tur timnya ke Thailand pun, Ray tidak diijinkan begitu saja. Disisi lain, Ray berteman cukup bersahabat dengan Gavin (Leigh Whannell) yang punya kepribadian berbanding terbalik dengannya. Gavin yang selalu bersikap baik dengan Ray pun terus membujuknya biar ikut ke Thailand. Tapi usaha itu bukan sekedar biar Ray sanggup mengikuti tur, alasannya tujuan utaa Gavin ialah menyelundukpan narkoba sebanyak satu kilogram. Caranya ialah dengan menelan narkoba yang telah dibungkus plastik itu, dan menyimpannya di dalam perut hingga kondisi aman. Tapi alasannya kegugupan dan kecerobohan Ray penyelundupan itu gagal, dan beliau pun ditangkap oleh kepolisian federal. Permasalahannya, dengan narkoba yang ada di dalam perut, polisi tidak punya cukup bukti untuk menangkap Ray. Tapi mereka sanggup mengawasi Ray selama satu minggu, dan bila barang bukti sanggup hadir dalam jangka waktu tersebut penangkapan sanggup dilakukan. Yang terjadi selanjutnya ialah proses menjijikkan dan penuh ketidak nyamanan menyerupai yang saya tuliskan diatas. 
Premisnya memang terdengar bodoh. Jika tidak dikembangkan dengan benar, The Mule amat berpotensi menjadi sajian komedi-kriminal jorok yang murahan. Untungnya walaupun menjijikkan, berkat naskah yang ditulis Angus Sampson dan Leigh Whannell film ini terasa jauh lebih cerdas dari kedengarannya. Ray Jenkins ialah aksara yang menerima pengembangan menarik. Apa yang terlihat dalam film ini ialah proses berkembang Ray dari seorang laki-laki lemah yang bergantung pada sang ibu, perlahan menjadi seorang yang lebih besar lengan berkuasa alasannya beberapa faktor. Faktor pertama ialah lingkungan. Ray mulai menjadi sosok yang berani mengutarakan pikirannya alasannya Gavin. Gavin menawarkan bahwa Ray sanggup lebih besar lengan berkuasa dari seorang anak punk berpenampilan sangar. Bahkan Ray yang merasa dirinya hanyalah pecundang juga sanggup menggaet perempuan dalam sebuah pesta. Hal itu mendorongnya untuk lebih berani dalam mengambil keputusan. Sedangkan faktor kedua ialah pengalaman ekstrim. Pengalaman yang saya maksud tentu saja ketika Ray harus menahan buang air besar selama hampir dua minggu, bahkan memakan kotorannya sendiri. Pengalaman asing tersebut mau tidak mau membuatnya jadi laki-laki yang jauh lebih kuat. Hal itu terbukti dari senyumannya di ending. Itu bukan lagi senyuman laki-laki naif.
Sentuhan komedi hitamnya cukup menghibur dengan beberapa momen WTF di dalamnya termasuk adegan makan kotoran yang jauh lebih menjijikkan daripada Salo. Selain itu, The Mule tidak pernah terasa stagnan apalagi membosankan meski sebagian besar durasi hanya dihabiskan di kamar hotel yang sempit untuk menunggu Ray buang air besar, alasannya diluar sana hampir semua pihak berusaha mendekati Ray, mulai dari kepolisian, sahabatnya, hingga para kriminal yang mengincar narkoba dalam perutnya. Tony Mahony dan Angus Sampson juga cukup berhasil dalam membangun kesan klaustrofobik disini. Saya berhasil dibentuk ikut jijik ketika membayangkan suasana kamar hotel yang gelap, sempit, pengap dan penuh amis basi kotoran dimana-mana. Belum lagi disaat harus melihat usaha sekuat tenaga Ray yang begitu tersiksa ketika harus menahan buang air besar. Mungkin tidak hingga menciptakan penonton tercekik alasannya tone film yang tidak selalu kelam, tapi untuk menghadirkan rasa tidak nyaman, The Mule cukup berhasil. Ada juga rasa ingin tau yang hadir ketika menunggu hal apa yang akan dilakukan Ray untuk sanggup kabur dari tuduhan. 

Naskahnya sempat memasukkan beberapa kritik mulai dari perihal media hingga pihak aturan menyerupai polisi dan pengacara. Tapi semua itu hanya hadir sambil kemudian dan tidak hingga pada tataran eksplorasi mendalam. The Mule adalah tipikal film yang diatas kertas bakal terdengar bodoh, apalagi bila hanya melalui premisnya. Tapi berkat pengembangan kisah yang menarik, komedi yang tidak murahan, serta aksara yang tidak sanggup disebut dangkal, film ini pun berakhir lebih cerdas dari yang saya duga. "Lebih cerdas dari dugaan" bukan berarti film ini cerdas secara umum. Pada karenanya yang ditawarkan memang hanya kegilaan, ketidaknyamanan dan banyak momen menjijikkan yang berjalan cepat hingga menjadi hiburan menarik, tidak lebih.

Ini Lho Bill Cunningham New York (2010)

Di tengah hingar bingar kota New York Bill Cunningham hanya menaiki sebuah sepeda bau tanah yang butut berkeliling kota. Di tengah kemewahan New York, Bill Cunningham hanya tinggal di sebuah apartemen sempit yang lebih banyak berisikan kabinet kerja daripada perabotan. Di antara glamornya masyarakat New York, Bill Cunningham senantiasa menggunakan jaket biru yang biasa dipakai tukang sampah atau mantel tipis murah yang selalu ia tambal dengan perekat daripada membeli gres dikala sobek. Sekilas beliau hanyalah laki-laki bau tanah kecil yang tidak akan dianggap oleh warga New York dengan segala gaya hidup kelas atas mereka. Tapi disaat banyak ikon fashion menilai tinggi dirinya, bahkan Anna Wintour sang editor Vogue berkata "we all get dressed for Bill", maka kita tahu Bill Cunningham bukan laki-laki bau tanah biasa. Kaprikornus siapa Bill yang begitu dipuja ini? Dia yaitu fotografer New York Times yang berfokus pada kolom fashion. Bedanya, Bill lebih sering memotret di jalan daripada runway.

Setiap pagi Bill akan terjun ke "medan perang", tepatnya di jalanan kota New York. Disana beliau akan memotret siapapun itu mulai dari anak muda hingga orang tua, warga biasa hingga selebritis dan sosialita. Seperti apa yang tergambar dari kalimat Anna Wintour diatas, bagi para pejalan kaki New York, difoto oleh Bill yaitu kehormatan besar, sebab artinya fashion yang ia kenakan bagus. Bill sudah melaksanakan ini selama puluhan tahun, sehingga masuk akal saja dikala desainer Oscar de la Renta menyampaikan bahwa Bill merupakan orang dengan rekaman sejarah fashion New York terlengkap. Bagi Bill yang amat terobsesi dengan fashion, apa yang orang kenakan yaitu jati diri mereka dan sebab itu nampak lebih bermakna dikala tampak di jalan daripada runway. Semua itu ia rangkum dalam kolom On the street. Sedangkan pada malam harinya ia sibuk berkeliling dari satu ke program ke program lain untuk (lagi-lagi) mengambil foto dalam tiap even yang ia gunakan untuk kolom Evening Hours.
Film ini mengingatkan aku pada dokumenter lain yang juga menyoroti kehidupan sosok senior, Elain Stritch: Shoot Me. Persamaan keduanya yaitu semangat yang dihadirkan oleh subjek berhasil ditularkan pada saya. Bill dengan kebebasannya, dengan semangatnya, dengan tawanya bisa mengakibatkan pengalaman menonton dokumenter ini amat menyenangkan. Bukan gelak tawa sebab kelucuan yang terasa, melainkan senyum simpul kebahagiaan. Saya senang melihat Bill dengan antusias ibarat anak kecil yang mendapat mainan gres berlarian kesana kemari dengan kameranya, memotret segala bentuk gaya fashion pejalan kaki New York. Film ini yaitu citra tepat wacana sebuah totalitas. Saat sedang bekerja, Bill hanya akan berfokus pada pekerjaannya dan tidak akan berhenti meski hanya untuk meminum segelas wine. Bill Cunningham New York pun jadi sebuah perkenalan memuaskan bagi orang ibarat aku yang belum mengenal siapa Bill Cunningham. 

Film ini mengeksplorasi kesehariannya secara menyeluruh, memperkenalkan aku pada pandangan hidupnya, mengenalkan aku pada kepribadiannya baik itu lewat observasi maupun wawancara dengan orang-orang di sekitar Bill. Mungkin satu hal yang akan tetap menjadi pertanyaan besar sehabis filmnya usai yaitu "seperti apa kehidupan pribadi Bill?" dimana kehidupan pribadi yang dimaksud bisa jadi cerita cinta, keluarga, kepercayaan, dan hal-hal lain yang bersifat intim. Saat pada kesannya semua itu tidak terjawab tuntas bukan sebab filmnya kurang dalam dikala observasi, tapi lebih sebab Bill sendiri yang memang tidak punya waktu untul hal bersifat pribadi. Hampir 100% waktu ia dedikasikan untuk hal-hal berbau fashion photography. Tapi lewat dua pertanyaan singkat yang diajukan sutradara Richard Press menjelang akhir, secara tersirat aku bisa menangkap ibarat apa isi hati sang fotografer. Mungkin tidak gamblang, tapi coba perhatikan dan rasakan baik-baik momen tersebut, maka anda akan bisa mengetahui siapa Bill Cunningham itu sebenarnya. 
Bill Cunningham New York juga masih sempat membahas sebuah stigma bahwa kita bisa menilai seseorang dari pekerjannya. Mendengar ada orang bekerja di sebuah klub malam, gampang bagi kita eksklusif memberi cap beliau yaitu orang tidak bermoral, doyan pesta, dan segala macam anggapan lainnya. Tapi Bill pertanda hal itu salah. Bill Cunningham memang memuja fashion, mengagumi gaya berpakaian yang unik dan glamor, tapi bukan berarti ia orang yang memuja kehidupan mewah. Justru sebaliknya, Bill tidak menyukai gaya hidup semacam itu, dan lebih menentukan menjalani hidup dengan kesederhanaan yang teramat sangat. Tapi lihat bagaimana orang ini begtu dihormati oleh kalangan atas dan para pembesar. Bahkan dalam suatu kesempatan Anna Wintour rela berhenti sejenak di jalan hanya untuk difoto oleh Bill, tapi begitu sang laki-laki bau tanah selesai Anna begitu saja pergi tanpa memberi kesempatan fotografer lain untuk memotretnya. Bagi Anna dan ikon fashion lainnya, yaitu kehormatan dikala Bill memotret mereka, dan bagaikan sebuah selesai dunia dikala sang fotografer menentukan berlalu. 

Begitu menarik melihat agresi Bill di jalan bukan saja sebab sosoknya yang penuh semangat, tapi juga menarik melihat dokumentasi gaya berpakaian para pejalan kaki New York. Begitu banyak fashion style yang mencolok mata dan menjadi nirwana bagi Bill untuk memotret. Sebagai film wacana fotografer fashion, film ini tetap tidak lupa untuk memberi hiburan visual berupa banyaknya baju dan style menarik di tiap sudut kota. Sedangkan sebagai film wacana Bill Cunningham, film ini juga berhasil menggambarkan bagaimana sosoknya telah menjadi sebuah arsip fashion terlengkap yang bukan mustahil mengalahkan kelengkapan internet sekalipun. Saya pun pada kesannya berhasil dibentuk mengagumi hampir semua aspek dalam diri Bill, dan bisa mengerti kenapa banyak orang mengaguminya. Pertanyaan yang cukup miris adalah, benarkah semua orang itu menyayangi Bill? Atau hanya sebab Bill menentukan hierarki mereka dalam dunia fashion dimana hierarki merupakan salah satu hal terpenting untuk bertahan hidup di New York? Tidak ada yang tahu, tapi yang niscaya Bill Cunningham berhasil mendokumentasikan sejarah perjalanan fashion dengan lengkap, dan Bill Cunningham New York mendokumentasikan proses itu dengan lengkap pula.

Ini Lho Assalamualaikum Beijing (2014)

Sesungguhnya saya sudah lelah dengan menu drama-romansa berbalut sentuhan religi, apalagi yang berembel-embel "diadaptasi dari novel fenomenal". Saya lelah alasannya kesan menggurui yang terlalu berpengaruh dan dramatisasi percintaan atau konflik agama yang berlebihan. Akhirnya dalam film-film tersebut, kata "agama" dan "cinta" jadi terasa begitu jauh dari jangkauan dan amat sulit untuk diamalkan. Saya mengibaratkan kalau insan ialah laki-laki dan agama/cinta dalam film religi ialah wanita, maka sang laki-laki berasal dari kalangan bawah sedangkan wanitanya ialah sosok yang cantik, kaya raya, baik hati, atau singkatnya high-profile. Sang laki-laki tahu perempuan itu ialah dambaan, tapi tentu saja terlalu tinggi untuk sekedar diidamkan. Menurut saya, alangkah lebih mengenanya kalau agama dan cinta digambarkan sebagai sesuatu yang low-profile namun bernilai tinggi, sehingga kedua hal itu tidaklah terasa jauh bagi insan (baca: penonton). Sehingga, pengalaman menonton film cinta berteakan religi tidak lagi terasa mirip menonton fairy tale dari Disney, alias dongeng/mimpi belaka. Kaprikornus alangkah senangnya dikala mendapati film garapan Guntur Soeharjanto ini tidak terlalu berlebihan mengemas drama dan religinya mirip yang saya khawatirkan.

Asmara (Revalina S. Temat) tiba-tiba saja membatalkan pernikahannya sehari sebelum dilangsungkan sehabis mengetahui bahwa sang calon suami, Dewa (Ibnu Jamil) menghamili perempuan lain. Beberapa waktu kemudian, Asmara mendapat pekerjaan di Beijing untuk mengisi sebuah rubrik di majalah ihwal kehidupan Islam di Cina yang notabene ialah kaum minoritas. Dengan proteksi Sekar (Laudya Cynthia Bella) sang sahabat, Asmara pun mulai menata kehidupan barunya tanpa berpikir banyak ihwal jodoh. Tapi takdir justru mempertemukannya dengan seorang laki-laki lokal yang menjadi tour guide bernama Zhongwen (Morgan Oey). Berawal dari pertemuan secara tidak sengaja dalam sebuah bus, keduanya pun semakin rutin menghabiskan waktu bersama di Beijing. Tentu saja cinta perlahan tumbuh diantara mereka, meski harus terhalang oleh perbedaan agama. Rintangan semakin berat dikala Asmara tiba-tiba menderita sebuah sindrom pengentalan darah yang berpotensi membuatnya stroke, buta, bahkan sanggup menimbulkan kematian. 
Dengan unsur penyakit kronis yang menghalangi relasi cinta memang film ini terasa mirip sebuah drama Korea. Sesuatu yang disengaja tentunya, bahkan sering diungkapkan oleh abjad Sekar yang begitu terobsesi pada K-Drama. Untungnya dengan formula mirip itu film ini tidak terlalu memaksakan diri untuk menjadi tearjerker. Ada air mata, tapi tidak dieksploitasi secara berlebihan. Ada kesedihan, tapi tidak ada kesan tragedi. Filmnya memanfaatkan unsur religi yang ada untuk membuatnya terasa lebih konkret dan tidak cengeng. Kesan itu didukung juga oleh ending yang punya aura positif. Tentu masih ada obrolan bertemakan pemikiran Islam dan banyak sekali kalimat romansa penuh rayuan disini, tapi lagi-lagi tidak dalam takaran berlebihan. Dialog "ajaran agama" yang ada tidak menciptakan saya jengah alasannya perasaan didikte. Begitu pula obrolan percintaannya yang tidak menciptakan saya ingin muntah. Kalimat demi kalimatnya masih sanggup diterima dan masuk logika kalau diucapkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari. 
Pendekatan yang masih sadar akan kesederhanaan itu justru menciptakan dramanya lebih menarik, lebih hangat, dan lebih menciptakan saya betah untuk menonton. Mungkin tidak semuanya terasa kuat, tidak semuanya tersaji secara mendalam. Tapi setidaknya film ini tidak menciptakan saya ingin segera melangkah keluar dari bioskop. Malah ada satu momen yang menciptakan saya cukup tersentuh. Air mata tidak hingga mengalir, tapi ada sedikit getaran rasa dikala meihat ketulusan Zhongwen pada Asmara. Kekecewaan terbesar saya pada film ini justru terletak pada kurangnya penggalian terhadap motivasi Zhongwen untuk menjadi mualaf. Pendekatan dalam naskah garapan Alim Sudio terasa memberatkan cinta sebagai faktor utama Zhongwen memeluk Islam. Disinilah Assalamualaikum Beijing jadi terjebak dalam sebuah "penggampangan" yang telah familiar dalam genre drama-religi Indonesia. Padahal dari membaca sinopsis novelnya, ada perenungan dan banyak pelajaran berharga yang didapat Zhongwen sebelum risikonya menjadi mualaf. Sayang, adaptasinya jadi mengurangi kedalaman motivasi karakter.

Drama sederhananya jadi lebih berpengaruh juga berkat performa dua pemeran utamanya. Revalina S. Temat tentu sudah familiar dengan peran-peran mirip ini. Sosok muslimah tegar berhasil ia hidupkan, dan berkat karakterisasi yang baik juga sosok Asmara tetap manusiawi. Kejutan besar muncul melihat akting Morgan Oey. Tanpa harus sok cool yang justru berujung kekakuan, Morgan berhasil menimbulkan Zhongwen sebagai laki-laki charming yang kalem dan memikat. Sama mirip Reva, Morgan juga menimbulkan karakternya tetap membumi. Pria yang hangat dan menyenangkan diajak berinteraksi. Hampir tidak ada kesan gestur dipaksakan atau pengucapan obrolan penuh kekakuan dalam performanya. Santai, yummy dilihat. Tapi mungkin akan lain ceritanya kalau naskah film ini penuh obrolan sok puitis. Untung kalimat demi kalimatnya sederhana dan mendukung kualitas akting Morgan sendiri. Mungkin penampilan mengganggu hadir dari Desta yang seolah tampak tersiksa menahan diri untuk tidak melucu. Film ini terang jauh dari kata sempurna, tapi dengan kesederhanaannya, Assalamualaikum Beijing jadi salah satu drama-romansa religi terbaik dalam beberapa tahun terakhir.

Ini Lho The Good Lie (2014)

Ada masa dimana Reese Witherspoon berstatus sebagai aktris besar dengan satu Oscar untuk aktris terbaik sekaligus menjadi American Sweetheart yang dicintai semua orang. Tapi memasuki selesai masa 2000-an karirnya meredup. Sebagai aktris, film-filmnya lebih banyak dicerca kritikus, kurang berhasil di pasaran dan punya tipe yang sama, yaitu komedi-romantis wacana cinta segitiga. Sosoknya dibalik layar pun tidak jauh beda sesudah perceraian dan "amukan" yang rekamannya tersebar luas pada 2013 lalu. Kemudian pada 2014, Witherspoon seolah banting setir mengesampingkan film-film ringan dan berfokus pada film-film "Oscar-worthy". Dia menjadi produser Gone Girl, juga bermain di Wild, Inherent Vice dan The Good Lie. Film yang disebut terakhir yaitu karya terbaru Philipper Falardeau (Monsieur Lazhar) dan terinspirasi kisah kasatmata orang-orang Sudan yang mengungsi ke Amerika.

Pada tahun 1983 terjadi perang sipil antara Sudan Utara dengan Sudan Selatan. Perang tersebut menghancurkan banyak desa dan menewaskan begitu banyak orang, memisahkan bawah umur dengan orang bau tanah mereka. Film ini bercerita wacana sekelompok anak yang demi menyelamatkan diri harus berjalan kaki melewati padang pasir yang luas untuk menuju Ethiopia hingga Kenya. Setelah menempuh ribuan mil dan begitu banyak kematian, mereka datang di sebuah pengungsian yang ada di Kenya. Disana ribuan pengungsi ditampung, dijanjikan bakal dibawa keluar ke Amerika. Setelah menanti selama 13 tahun, karenanya Mamere (Arnold Oceng) dan tiga orang lainnya menerima kesempatan memulai hidup gres yang mereka harap lebih kondusif dan nyaman di Amerika. Tapi nyatanya kehidupan gres yang didapat tidak semudah itu. Mereka harus menghadapi konflik gres ibarat pekerjaan, gegar budaya dan banyak sekali urusan berbau birokrasi lainnya di Kansas dengan pemberian Carrie (Reese Witherspoon), seorang biro pencari pekerjaan dari sebuah forum amal.
Hal apa yang mencemari insan dari kemurnian mereka? The Good Lie memperlihatkan ironi disaat apa yang disebut peradaban nyatanya sering menghilangkan kemanusiaan para manusia. Mereka yang hidup di tengah peradaban maju yang katanya lebih berbudaya semakin jauh dari menghargai alam dan mengasihi sesama manusia. Terdengar sebagai sebuah pesan yang standar dalam film, tapi Philipper Falardeau tetap bisa membuatnya menarik. Baik formula penceritaan yang diusung, tema, hingga pesan yang coba disampaikan memang begitu standard/klise. Coba lihat sosok Carrie. Seorang perempuan dengan kehidupan dan gaya seenaknya, seolah tidak punya kepedulian pada awalnya yang mengalami transformasi jadi seseorang dengan "hati emas" dan kepedulian tinggi sesudah pertemuan dengan abjad lainnya. Memang klise dan begitu kental cita rasa Hollywood yang memuja dramatisasi, tapi Falardeau tahu cara menciptakan drama klise yang memikat dan tidak dipaksakan.
Tidak dipaksakan yaitu disaat abjad Carrie tidak mengalami transformasi yang terlampau ekstrim, alasannya yaitu intinya ia juga bukanlah seseorang yang sebegitu nyelenehnya. Perubahannya pun jadi gampang diterima. Tidak dipaksakan yaitu alasannya yaitu The Good Lie tidak hingga memasukkan sub-plot kurang penting yang bisa mengganggu dinamika cerita, ibarat misanya kehidupan romansa Carrie dengan Jack (Corey Stoll) yang cukup hanya di-tease daripada dieksplorasi lebih banyak. Tetap ada sedikit pendalaman wacana Carrie, tapi hanya sekilas hingga tidak mengganggu kisah persaudaraa empat tokoh utamanya (atau lima kalau menghitung Theo). Teman togetherness yang diusung cukup berpengaruh meski tidak terlalu "wah" ataupun menyentuh, namun memancarkan kehangatan. If you wanna go fast, go alone. If you wanna go far, go together. Sebuah ungkapan dari Afrika tersebut memang bisa menggambarkan film ini dengan sempurna.

Beberapa sentuhan komedi lewat adegan menggelikan yang menampilkan kepolosan serta benturan budaya yang dialami para Lost Boys juga amat menghibur. Chemistry kuat antara Arnold Oceng, Ger Duany dan Emmanuel Jalk menguatkan drama, menambah kesolidan film ini, menciptakan segala interaksi begitu nikmat diikuti. Tidak hanya lucu, momen-momen itu juga terasa menjadi sebuah sindiran wacana budaya disaat bersamaan. Sebagai sebuah drama wacana sejarah kasatmata yang dibungkus kemasan Hollywood kuat, The Good Lie tidaklah jatuh menjadi film over-dramatic yang memuakkan. Sebagai salah satu film yang (diharapkan) menjadi titik balik karir seorang Rese Witherspoon film ini juga berhasil melaksanakan itu meski tugas Witherspoon tidaklah sebesar yang aku perkirakan. 

Ini Lho Rurouni Kenshin: The Legend Ends (2014)


Kyoto Inferno (review) merupakan sebuah "jembatan" menyenangkan sebelum titik puncak yang begitu ditunggu dalam The Legend Ends. Build-up yang baik membuat aku tidak sabar untuk segera menonton film epilog trilogi Rurouni Kenshin ini. Jika anda merupakan pembaca komiknya, tentu anda setuju bahwa salah satu momen paling ditunggu dalam Kyoto arc ialah pertarungan titik puncak yang melibatkan Shishio melawan empat main hero dalam serial ini. Kaprikornus cukup satu hal yang aku harapkan dari film ketiga ini, yakni pure epicness. Tapi sutradara Keishi Otomo nyatanya tidak eksklusif membuka filmnya dengan tempo cepat. Kita diajak terlebih dahulu melihat aneka macam drama dengan fokus utama pada bagaimana Kenshin (Takeru Satoh) kembali belajar pada, Seijuro Hiko (Masaharu Fukuyama) yang merupakan gurunya dulu. Jujur saja potongan ini terasa kurang menarik dan menjadi awal yang gagal mengangkat tensi film ini. Terlalu banyak obrolan filosofis yang tidak menawarkan dampak apapun bagi pondasi drama maupun eksplorasi karakternya.

Saya bergotong-royong suka pada selipan drama dalam film aksi, sebab berpotensi membuatnya tidak hanya berakhir sebagai sebuah tontonan tanpa hati. Tapi sebagai chapter penutup sekaligus klimaks, takaran drama yang diberikan dalam The Legend Ends terlalu banyak, bahkan melebihi porsi adegan aksinya. Seperti yang sudah aku sebutkan dalam review Kyoto Inferno, beberapa huruf bergotong-royong sudah dapat dieksplorasi dari film pertama, khususnya Aoshi. Dengan begitu dikala memasuki film kedua dan ketiga huruf itu sudah punya pondasi mantap, menawarkan celah lebih luas untuk mengeksplorasi hal lainnya. Kekhawatiran aku pun jadi kenyataan dikala Aoshi Shinomori (which is one of the best character in Rurouni Kenshin) tetap berakhir sebagai huruf yang kurang menggigit hingga film berakhir. Hal yang sama terjadi juga pada para Juppongatana. "Keharusan" untuk mengeksplorasi Aoshi membuat kelompok villain ikonik ini sama sekali tidak menarik. Padahal mereka bukan hanya sekelompok orang berpakaian asing tapi juga punya karakterisasi menarik. Bahkan nama-nama menyerupai Anji, Usui dan Kamatari menawarkan imbas besar pada pengembangan huruf utama macam Sanosuke, Saito hingga Kaoru.
Tapi untungnya adegan agresi yang dijanjikan masih memukau, sesuatu yang juga menjadi kelebihan dua film pertamanya selain desain karakter. Tercatat hanya ada dua pertarungan besar disini. Pertama ialah Kenshin melawan Aoshi yang meski dikemas dengan apik tetap kurang menggigit sebab lagi-lagi sosok Aoshi yang kurang dimaksimalkan. Disaat Kenshin dengan Hiten Mitsurugi-nya punya ciri khas menarik, atau Saito dengan gatotsu setidaknya punya kuda-kuda ikonik yang dipertahankan dalam film, Aoshi dengan kodachi plus teknik mematikan Kaiten Kenbu tidak dipertontonkan dengan sepantasnya. Well, lagi-lagi aku tetap beropini bahwa pertarungan Kenshin dan Aoshi akan lebih maksimal jikalau menjadi titik puncak film pertama. Sedangkan pertarungan kedua ialah rangkaian pertarungan panjang dari pantai yang berlanjut di kapal. Pertarungan di kapal inilah yang kesudahannya menjadi titik puncak mengesankan. Keishi Otomo sedikit merombak klimaksnya dengan mengganti "pertarungan bergilir" antara Kenshin, Sanosuke, Saito dan Aoshi melawan Shishio menjadi sebuah "keroyokan". Dan itu merupakan keputusan yang tepat.
Butuh perjuangan lebih, durasi lebih dan pengemasan tempo yang super cermat dalam beralih dari cepat ke lambat begitu pula sebaliknya untuk dapat menghadirkan kesan epic menyerupai panel demi panel komiknya. Karena itu menyatukan pertarungan itu dan mempercepat temponya merupakan keputusan cerdas. Dengan koreografi yang luar biasa dan tebasan demi tebasan yang ditangkap secara utuh (tanpa ada shaky cam atau cut super cepat) pertempuran empat lawan satu itu menebus segala penantian aku sedari Kyoto Inferno dan paruh pertama yang lambat dari The Legend Ends. Ditambah juga dengan scoring megah plus dramatis garapan Naoki Sato yang bersatu membuat keseruan sekaligus ketegangan, maka sempurnalah titik puncak epic film ini yang bahkan layak disebut sebagai salah satu adegan pertarungan pedang terbaik dalam film atau setidaknya salah satu titik puncak terbaik dalam film penyesuaian buku komik. Klimaks film ini menandakan bahwa sebagus apapun CGI mengemas film aksi, cara konvensional minim imbas (kecuali api Shishio yang memang dibutuhkan) tetaplah yang terbaik.

Jika ada kekurangan, itu ialah hal sama yang sudah aku tuliskan berkali-kali (baik dalam review ini maupun dua film sebelumnya) yaitu penokohan yang kurang pas bagi huruf macam Sanosuke, Saito dan Aoshi. Begitu pentingkah penokohan berdampak pada adegan aksi? Tengok adegan ini di manga-nya, dan anda akan tahu kenapa. Secara keseluruhan trilogi ini terang jauh dari kata sempurna, apalagi bagi aku yang merupakan penggemar komiknya. Tapi dibandingkan penyesuaian dari serial favorit aku lainnya, Rurouni Kenshin ialah yang terbaik. Setidaknya Keishi Otomo dan timnya telah sebisa mungkin menaati hukum pertama dalam mengadaptasi komik fenomenal, yaitu setia pada sumbernya entah itu dalam hal ceritanya, adegan, hingga desain huruf yang dibentuk semirip mungkin. Bukankah impian fanboy dalam penyesuaian film mustahil terpenuhi semuanya? Setidaknya Emi Takei masih sangat anggun walaupun porsinya sangat sedikit disini.



NB: Sebuah kebetulan yang amat sangat luar biasa, salah seorang senior aku amat menyerupai dengan Aoshi Shinomori (which is very very handsome!) Ini ia tampangnya:

Ini Lho Shakespeare In Love (1998)

Kisah tragis Romeo and Juliet telah menjadi pakem dasar dalam membuat bencana percintaan. Tapi dengan umurnya yang telah mencapai lebih dari 450 tahun, butuh effort dan kreatifitas lebih untuk sanggup menyajikan kisah itu menjadi sebuah kisah yang tetap segar. Sudah ada perjuangan modernisasi ibarat yang dilakukan Baz Luhrman dalam Romeo + Juliet hingga versi edan dalam Tromeo and Juliet dari studio sinting berjulukan Troma. Salah satu modifikasi paling dikenal tentunya karya John Madden yang berhasil membawa pulang tujuh piala Oscar termasuk kategori Best Picture. Yang dijadikan fokus dalam Shakespeare in Love yaitu proses ketika William Skahespeare (Joseph Fiennes) menulis kisah Romeo and Juliet. Pada awalnya Shakespeare tengah mengalami writer's block dan kesulitan menulis naskah komedi terbarunya. Di tengah keputusasaannya itulah ia tidak sengaja bertemu dengan Viola de Lesseps (Gwyneth Paltrow), puteri seorang juragan kaya yang ternyata juga seorang pengagum berat karya-karya Shakespeare. Pada ketika itulah Shakespeare mencicipi cinta pandangan pertama pada Viola dan terinspirasi untuk menulis naskah romansa, bukannya komedi ibarat yang ketika itu tengah digemari bahkan oleh ratu Elizabeth I (Judi Dench). Berdasarkan kisah dan pengalaman yang ia alami dalam menjalin percintaan dengan Viola itulah Shakespeare menulis Romeo and Juliet.

Tidak perlu diragukan bahwa ini yaitu film yang menyenangkan. Beberapa poin di dalamnya mungkin sulit diterima, ibarat bagaimana mungkin orang-orang tidak menyadari penyamaran Viola sebagai pria selama latihan?  Tapi toh saya tidak mempermasalahkan itu alasannya John Madden memang sengaja membungkus film ini penuh rasa komedi. Sebagai sebuah bentuk proses kreatif saya juga tidak mempermasalahkan banyak sekali ketidak akuratan sejarah yang muncul. Yang paling kentara tentu saja pondasi ceritanya, alasannya intinya Shakespeare bukan orang pertama yang membuat kisah Romeo and Juliet, melainkan Arthur Broke pada 1562, beberapa tahun sebelum "kehadiran" Shakespeare. Bahkan kalau mau berdebat lebih jauh, banyak juga keraguan wacana apakah benar ia merupakan penulis dari beberapa karyanya. Tapi bagi saya memperdebatkan akurasi sejarah dalam film tidak lebih dari sekedar buang waktu. Sebuah sejarah sendiri tidak selalu sanggup dibuktikan 100% kebenarannya. Makara sangat sah bagi sebuah karya seni melaksanakan pembiasaan dan memodifikasi sebuah insiden atau seorang tokoh sejarah. Makara kesimpulannya, film ini amat menghibur, dan saya menikmatinya. Tapi lain ceritanya kalau melihat fakta bahwa ini yaitu film yang memenangkan Best Picture, mengalahkan sajian ahli macam Saving Private Ryan dan The Thin Red Line.
Komedinya memang menyenangkan, tapi diluar itu saya tidak mendapati aspek yang benar-benar powerful disini. Akting para pemainnya bagus. Gwyneth Paltrow menyajikan penampilan terbaik sepanjang karirnya sebagai Viola yang dari matanya terpancar terperinci mimpi-mimpi terhadap romansa penuh cinta sejati sekaligus keberanian untuk menentang apapun yang menghalangi cinta tersebut. Judi Dench meski tampil tidak hingga delapan menit selalu berhasil mencuri perhatian entah lewat tatapan matanya yang "intimidatif" atau tawanya yang well...sometimes creepy. Tapi kekuatan akting bukan berarti filmnya besar lengan berkuasa secara keseluruhan. Dramanya tidak pernah terlalu kuat, begitu pula romansanya yang tidak pernah sukses mewakili kekuatan cinta Romeo dan Juliet yang terinspirasi dari situ. Pengemasan yang ringan dari John Madden memang pada jadinya mengeliminasi segala kekuatan kisahnya, menyebabkan film ini tidak lebih dari sekedar tontonan ringan. Jika ada hal yang sanggup diapresiasi lebih dan menjadikannya sedikit Oscar-worthy yaitu kreatifitas dalam memadukan kisah cinta "nyata" Shakespeare dan Viola dengan drama panggung Romeo dan Juliet serta eksplorasi kehidupan seorang penulis. Aspek yang disebut pertama dipakai oleh Madden untuk membuat sebuah adegan menarik ketika dunia kasatmata dan dunia panggung "bertubrukan".
Sedangkan aspek kehidupan penulisnya memang cukup kuat. Bagi saya yang sering menghabiskan waktu untuk menulis naskah, semua yang dialami Shakespeare juga pernah saya alami. Bagaimana sebuah writer's block tiba-tiba menyerang, membuat sang penulis merasa tiba-tiba semua kelebihannya runtuh seketika, hingga bagaimana kehidupan percintaan sanggup menjadi wangsit terkuat dalam merangkai sebuah cerita. Entah itu percintaan yang senang dan berbunga-bunga, atau sebuah patah hati yang begitu menyesakkan, semuanya sama saja menyebabkan otak seorang penulis menjadi lancar untuk bertutur kata dalam secarik kertas. Bagaimana sebuah goresan pena jadi punya kekuatan yang begitu besar ketika sang penulis begitu jujur dalam merangkai setiap kata memang benar adanya. Tapi tetap saja keberhasilan itu tidak membuat keseluruhan filmnya menjadi presentasi yang kuat, apalagi sebagai sebuah film yang dikukuhkan sebagai karya terbaik. Setidaknya dari fakta itu kita sanggup makin yakin bahwa Oscar memang berpihak pada sebuah tontonan crowd pleaser yang menyenangkan. Setidaknya bukan Life is Beautiful-nya Roberto Benigni yang memenangkan penghargaan itu. That overly dramatic and unfunny movie is much more overrated than this one.

Kekurangan dalam romansanya mungkin juga hadir alasannya ketidak cocokan saya dengan obrolan puitis ala literatur lawas Inggris yang penuh dramatisasi dan metafora hiperbolis khususnya ketika tengah menyatakan cinta. Sekali lagi ini memang dilema selera, dan hal itu juga yang sering membuat saya kurang sanggup menikmati period drama dengan segala tata krama dalam romansanya. Bukan salah filmnya tentu saja, hanya bukan sesuatu yang saya sukai. Tapi Shakespeare in Love memang menyenangkan sebagai hiburan, "setara" dengan film-film agresi brainless, cukup duduk dan nikmati segala kelucuan dan modifikasi sejarah plus literaturnya maka kesenangan dan senyum lebar akan anda dapatkan, apalagi kalau anda yaitu seorang penulis yang pernah mengalami banyak sekali fase yang dialami Shakespeare disini.

Ini Lho 20,000 Days On Earth (2014)

Sebuah dokumenter bagi seorang yang ikonik dan punya ciri khas berpengaruh alangkah baiknya juga dikemas sesuai dengan sosok orang tersebut. Karena itu ketika Ian Forsyth dan Jane Pollard membuat dokumenter wacana Nick Cave sang musisi eksentrik asal Australia, ialah keputusan sempurna untuk merangkumnya dengan suasana sama dengan apa yang hadir dalam musik garapan Nick Cave bersama band-nya, The Bad Seeds. 20,000 Days on Earth memperlihatkan keseharian Nick Cave ketika ia mengunjungi rekan-rekannya, mengenang masa lalu, hingga melaksanakan proses rekaman untuk album terbaru The Bad Seeds yang berjudul Push the Sky Away (rilis tahun 2013). Disela-sela aktivitas itu Nick Cave yang bertindak juga sebagai narator bakal membacakan rangkaian kalimat yang menggambarkan caranya memandang aneka macam aspek dalam kehidupan. Tentu saja narasi itu akan dikemas ala lirik-lirik lagu Nick Cave yang penuh kalimat bersayap berkesan misterius, kelam tapi juga intim disaat bersamaan.

Jadi ibarat apa sebuah kemasan dokumenter yang punya aura sama dengan musik Nick Cave? Coba dengarkan beberapa lagunya bersama The Bad Seeds. Kebanyakan berkesan eksperimental, sekilas flat tapi penuh kegilaan tak terduga ketika mendengar bagaimana pilihan nada yang diambil Cave ketika bernyanyi, lebih mengutamakan feel daripada komposisi familiar sebuah lagu (verse-chorus-verse-dsb), misterius dan kelam tapi jikalau ditelaah lebih lanjut begitu dalam dan personal. Begitulah 20,000 Days on Earth dikemas. Eksperimental, alasannya ialah jikalau sebelum menonton anda tidak tahu siapa itu Nick Cave dan genre niscaya dari film ini, sanggup saja anda akan menerka ini ialah hidangan drama daripada dokumenter. Dalam sebuah interview dalam film ini, Nick bertutur wacana kesukaannya berpura-pura sebagai seorang yang lain (act). Karena itulah dokumenter ini terasa begitu mewakili sosok Nick dan pemikirannya dengan "rasa fiksi" yang digunakan. Karena dari situ, kita seolah melihat Nick tengah berakting dalam suatu drama. Sebagai siapa? Entahlah? Kaprikornus mana Nick Cave yang sesungguhnya? Saya tidak tahu. Misterius. Seperti film ini dan sosoknya.

Tapi sebagai sebuah drama sekalipun, film ini tidak mempunyai narasi, hanya (seolah) menunjukkan satu hari dalam kehidupan sang musisi tanpa ada arah maupun dramatisasi alur tapi lebih berfokus pada fatwa rasa sebagai bentuk katarsis seorang Nick Cave. Yah, begitulah kurang lebih musik yang ia buat. 20,000 Days on Earth terasa misterius dengan aneka macam "kunjungan misterius" rekan-rekan Nick yang tiba-tiba hadir dan menghilang begitu saja. Istilah ghostly mungkin begitu sempurna menggambarkan segala dialog yang terjadi disini. Berbagai dialog yang terjadi ialah kemasan cerdas dan bentuk modifikasi dari interview standar yang biasa dipakai untuk menggali opini dan latar belakang objek dalam suatu dokumenter. Tentu saja dengan status Nick Cave sebagai co-writer naskahnya, tidak heran kita akan mendapati dialog bersama teman, wawancara televisi, hingga kunjungan ke sebuah daerah yang menyimpan aneka macam memorabilia wacana Nick untuk mengeksplorasi wacana sosoknya. 
Menonton ini saya teringat akan Holy Motors-nya Leos Carax. Surealisme akan tugas manusia, rasa ghostly, kelam dan misterius yang terpancar dari setiap muncul dan menghilangnya para karakter, semua terasa mirip. Sebuah film dreamlike yang akan membingungkan para penonton tapi punya potensi untuk mengikat mereka dengan kecacatan yang tak henti bermunculan. Tapi bedanya, dokumenter sureal ini tidak akan begitu saja membebaskan penontonnya untuk mengambil interpretasi dari apa yang coba disampaikan. Selalu ada sebuah makna pasti, alasannya ialah ini ialah film yang bercerita wacana seorang tokoh nyata. Untuk menangkap makna kisah dan esensi dari aneka macam kalimat rumit Nick Cave, akan lebih baik bagi penonton untuk sudah mengenal cukup banyak hal wacana dirinya, mulai dari karya hingga kepribadian. Sayang sekali, alasannya ialah seharusnya sebuah dokumenter justru suatu medium yang memperkenalkan mereka yang asing pada sang objek untuk sanggup mengenalnya lebih jauh.

Saya hanya tahu siapa itu Nick Cave dan mendengarkan beberapa lagunya, tapi terperinci bukan seorang penggemar berat. Bagi penonton ibarat saya akan sulit untuk sanggup menyukai film yang "aneh" ini, apalagi bagi penonton yang benar-benar asing akan sosok sang musisi. Saya mengakui segala keunikannya menunjukkan kesejukan yang gres dalam menonton dokumenter, tapi intinya 20,000 Days on Earth adalah dokumenter yang mengulik kehidupan atau lebih tepatnya isi kepala dan perasaan Nick Cave. Sebuah dokumenter sanggup membuat penontonnya peduli bahkan menggemari objeknya lewat eksplorasi yang dilakukan. Tapi permasalahannya, film ini pun dikemas dengan aneh, dan karenanya membuat sebuah tembok bagi para non-fans untuk sanggup mengagumi sosok yang diangkat. Pada karenanya saya mengagumi begitu kreatifnya film ini dikemas, tapi tidak sanggup masuk lebih jauh untuk terikat secara emosional. Tapi memang tidak ada cara yang lebih sempurna lagi untuk mendokumentasikan seorang Nick Cave.

Ini Lho American Sniper (2014)

Chris Kyle yakni seorang legenda dalam sekaligus satria dalam dunia kemiliteran Amerika Serikat. Mengabdi selama 10 tahun tepatnya dari 1999 hingga 2009, Chris sempat bertugas pada masa perang Irak. Disanalah namanya mulai dikenal sebagai sniper paling mematikan sepanjang sejara Amerika. Selama di medan perang ia telah menghabisi nyawa musuh sebanyak 160 orang, dan itu gres yang tercatat secara resmi. Bahkan konon bila menambahkan jumlah tidak resmi, angkanya bisa mencapai lebih dari 200 orang. Karena itulah ia menerima julukan The Devil of Ramadi. Rekan-rekannya di militer sendiri memanggil Chris dengan sebutan Legend. Membawa cerita patriotik ditambah pesan anti peperangan dan memasang kata “American” dalam judulnya memang menciptakan film ini seolah berteriak “minta Oscar”. Tapi dengan track record Clint Eastwood yang tengah menurun, apakah American Sniper memang layak menerima nominasi Best Picture?

Chris Kyle (Bradley Cooper) dibesarkan dengan fatwa dari sang ayah untuk tidak menjadi domba yang lemah maupun serigala yang gemar memangsan, tapi anjing penjaga yang bersedia dengan berani menolong mereka yang tertindas. Penanaman moral itu ditambah harapan Chris untuk menjadi “someone” mendorongnya untuk bergabung dengan Navy SEAL. Berbekal talenta alam dan pembinaan sewaktu kecil yang didapat dari berburu bersama sang ayah, Chris pun menjadi seorang penembak jitu paling handal dalam timnya. Dia tidak hanya menciptakan lawan gentar, tapi juga menawarkan rasa kondusif diantara teman-temannya. Seperti kebanyakan prajurit lainnya, masa paling ditunggu-tunggu yakni ketika penugasan usai dan mereka bisa berkumpul kembali dengan keluarga di rumah. Begitu pula dengan Chris yang selalu dinanti kepulangannya oleh sang istri, Taya (Sienna Miller). Tapi pada kenyataannya tidak gampang bagi Chris untuk hidup tenang di rumah. Pikirannya selalu tertuju pada medan perang. Apalagi ia masih belum berhasil menghabisi sasaran yang telah banyak melukai bahkan membunuh rekan-rekannya.
Tidak gampang menciptakan film anti-war, sebab salah sedikit saja akan merubah pesannya 180 derajat menjadi memuja peperangan entah sebab “keseruan” yang hadir dalam filmnya atau sebab kesan bahwa perang beserta segala kerugiannya memang dibutuhkan untuk menjaga kedamaian dunia. Lewat filmnya ini Clint Eastwood menentukan pendekatan yang kondusif cenderung klise. American Sniper terang bukan Apocalypse Now yang menyuguhkan horror peperangan ataupun Full Metal Jacket yang berfokus pada kerusakan psikologis prajurit untuk meneriakkan anti peperangan. Filmnya memang berfokus pada proses perubahan sosok Chris yang tadinya riang dan humoris menjadi seolah kehilangan sisi kemanusiaannya. Film ini memperlihatkan bagaimana medan perang bisa merubah kepribadian seseorang, merusak psikisnya. Saya tidak bermaksud begitu saja membandingkan film ini dengan Full Metal Jacket, tapi perbandingan perlu dilakukan untuk mengupas kenapa American Sniper masih terkesan klise meski berfokus pada degradasi psikis karakternya.

Dalam filmnya Stanley Kubrick total berfokus pada segala siksaan dan kegilaan yang harus dialami karakternya hingga kesannya ia terseret dalam kegilaan pula. Tidak ada “distraksi” lain dalam plot-nya kecuali horror psikologis ketika secara sedikit demi sedikit dan mendetail kita dibawa melihat sang huruf kehilangan nalar sehat. Karena itulah penonton bisa dibentuk mengutuk perang yang mampu merusak kemanusiaan seorang manusia. American Sniper tidak menyerupai itu. Kita mellihat transformasi Chris, kita tahu kenapa itu terjadi, tapi tidak diajak menengok secara jauh lebih mendalam akan prosesnya. Lalu bagaimana cara Eastwood menciptakan penonton membenci perang? Dia memakai cara paling simple kalau tidak mau dibilang standar. Berikan tokoh prajurit itu sosok orang tercinta yang menunggu kepulangannya. Penonton diajak untuk berada pada posisi Taya yang terganggu dengan perubahan Chris. Kita juga diajak untuk menyerupai Taya yang selalu cemas apakah sang suami akan pulang dengan selamat. Dengan begitu kita akan bersimpati pada Taya kemudian mengutuk peperangan. Karena simpati itu juga kita akan peduli pada keselamatan Chris, dan dari situlah tercipta ketegangan.
Menyelipkan unsur cinta untuk mengangkat kedua aspek itu (anti-war dan ketegangan). That’s the oldest trick in the book. Tapi jangan salah, dengan pernyataan diatas termasuk perbandingan dengan Full Metal Jacket bukan berarti saya mengkritisi pemilihan cara bertutur Eastwood. Memang cara itu sudah jauh dari kata baru, tapi bukan berarti ketinggalan jaman dan tidak efektif. American Sniper tidak menawarkan dobrakan tapi masih terasa besar lengan berkuasa baik pada drama dengan segala pesannya hingga ketegangan yang hadir di medan perang. Mungkin tidak hingga pada tahap yang begitu tinggi, tapi film ini tetap berhasil memercikkan kebencian akan perang dalam diri saya, meski bahwasanya imbas itu terbantu oleh fakta bahwa rasa benci tersebut sudah sedari awal saya miliki. Saya bersimpati dan peduli pada nasib karakternya, ketegangan pun berhasil disajikan dalam setiap baku tembak atau tarikan pelatuk Chris yang seringkali penuh keraguan. Ada alasan kenapa suatu formula termasuk yang ada disini menjadi standar alias sering dipakai, yakni sebab keefektifannya.

Para pemainnya sendiri menyajikan akting yang bagus. Bradley Cooper yang lewat kiprahnya dalam film ini berhasi mengantongi nominasi Oscar untuk tiga kali secara berturut-turut berhasil menghidupkan Chris dengan segala “gangguannya” namun belum dalam tahapan kegilaan total. Chris Kyle terang berbeda dengan Michael Sheen di Apocalypse Now yang totally out of “it”. Chris masih ada dalam proses menuju dan tidak pernah hingga pada tingkatan itu. Cooper anggun sebab transformasinya dari Chris yang cerah menjadi gloomy. Tanpa perlu berkata-kata kita sudah bisa membedakan dua sisi tersebut hanya dari tatapan matanya. Sienna Miller mungkin tidak menerima porsi yang membuatnya berakting sekelas Cooper, tapi itu sudah cukup menciptakan karakternya terasa simpatik. Pembawaannya yang tak berdaya menciptakan kita bersimpati, tapi simpati lebih besar lagi hadir ketika Miller bisa memperlihatkan seorang perempuan yang begitu sabar dan menyayangi sang suami tanpa perlu terasa berlebihan. American Sniper yakni film ketika Clint Eastwood kembali ke “jalan yang benar”. Belum hingga pada tingkatan terbaiknya tapi terang pencapain memikat bagi seorang sutradara berusia 84 tahun. Memang pilihan sempurna disaat Eastwood mengemas filmnya dengan sederhana tapi efektif. Salah satu adegan favorit saya yakni ketika Bradley Cooper (dengan tatapan kosong memendam horror) duduk memandang televisi yang mati tapi terdengar bunyi mencekam dari medan perang. 

Ini Lho The Book Of Life (2014)

Masih membawa setting Meksiko berisikan pria-pria macho yang telah ia bawa semenjak serial animasi Nickelodeon El Tigre: The Adventures of Manny Rivera, kali ini animator sekaligus sutradara Jorge Gutierrez bakal membawa kita berjalan-jalan menuju dunia penuh warna dalam The Book of Life yang juga diproduseri oleh Guilermo del Toro. Ceritanya sendiri sederhana dengan masih memberikan kisah kepahlawanan, pencarian jati diri, persahabatan dan percintaan ala Romeo dan Juliet. Judulnya sendiri diambil dari sebuah buku yang berdasarkan kepercayaan umat Kristiani yaitu sebuah buku milik Tuhan yang berisikan nama-nama mereka yang beriman dan akan masuk surga. Sedangkan dalam film ini, buku tersebut berisikan segala kisah baik yang kasatmata maupun fiktif. Salah satu kisah dalam buku tersebut yaitu wacana sebuah kota berjulukan San Angel yang terletak di Meksiko. Di kota tersebut, setiap tahun terdapat hari untuk memperingati arwah mereka yang telah meninggal, berjulukan Day of the Dead.

Peringatan itu amat penting, sebab selama masih terus diingat, mereka yang sudah meninggal akan sanggup tinggal di Land of the Remembered yang penuh warna dan suka cita. Tempat itu dipimpin oleh La Muerte. Tapi kalau tidak ada lagi yang mengenang mereka, maka arwah akan “jatuh” ke Land of the Forgotten yang suram dan hampa. Disana berkuasalah Xibalba. La Muerte dan Xibalba sendiri yaitu sepasang suami istri yang gemar bertaruh. Saat Day of the Dead tiba, keduanya kembali melaksanakan taruhan dikala melihat tiga anak yang saling bersahabat. Tapi dalam persahabatan itu timbul juga benih-benih cinta, dikala Manolo dan Joaquin sama-sama menyayangi Maria. Meski saling memperebutkan cinta temannya itu, persahabatan keduanya tetap utuh. La Muerte dan Xibalba bertaruh siapakah kelak yang akan menikahi Maria, dimana yang menang taruhan berhak menjadi penguasa Land of the Remembered
Kerugian besar bagi saya melewatkan penayangan film ini di layar lebar. Bayangkan visual penuh warna-warni indah dan banyak sekali macam huruf dengan desain menarik itu di bioskop. Meski hanya bertindak sebagai produser, sentuhan Guilermo del Toro yang punya daya imaji visual luar biasa masih berpengaruh terasa. Ibaratnya, del Toro memberikan template dasar, kemudian Gutierrez mengembangkannya dalam tataran aplikasi secara menyeluruh hingga ke detail terkecil sekalipun. Hasilnya yaitu animasi dengan visual paling memikat tahun lalu, sejajar dengan The Lego Movie. (The Tale of Princess Kaguya ada di tingkatan lain yang tak sanggup diperbadingkan) Beberapa tumpuan kehebatan visualnya mulai dari Land of the Remembered yang jadi representasi “layak” dari nirwana dengan keindahan warnanya hingga desain banteng raksasa yang harus dihadapi Manolo. Absolutely breathtaking!

Tapi The Book of Life tidak hanya wacana tampilan visual memukau. Dengan membawa judul yang terkesan meaningful, begitu pula ceritanya. Memang begitu sederhana apa yang dituturkan film ini, tapi kesederhanaan yang termaksimalkan justru seringkali lebih memikat daripada suatu sajian gres yang kompleks. Karena kesederhanaan bagi saya punya potensi lebih gampang mereseap kedalam perasaan penonton. Sedari awal film ini sudah terasa menyentuh dikala membahas wacana mereka yang telah meninggal beserta segala kenangan akan mereka. Menyentuh dan penuh makna, apalagi dikala adegan yang menampilkan para arwah mengelilingi keluarga yang tengah berziarah di makam. Setelah penghantar mengesankan itu, kita dibawa menuju kisah gotong royong yang lebih ringan, less-philosophically, namun tetap tidak kehilangan pesonanya. Saya suka romansa yang ditampilkan. Meski klise, tapi tidak cheesy apalagi kosong. Apa yang dimiliki film ini yaitu kisah cinta yang memang mempunyai cinta di dalamnya dan bukan hanya mengumbar kalimat-kalimat puitis atau nyanyian romantis tapi kosong.
Semua itu berkat atmosfer yang berhasil dibangun. Dunianya terasa magical, menciptakan penonton dengan gampang terhisap masuk dan secara tidak sadar memunculkan emosi positif dalam perasaan kita. Saya pun jadinya dibentuk mendukung sosok Manolo, meski kisah seputar jati diri yang merupakan materi ekplorasi terhadap karakternya tidak tersaji dengan maksimal. Bukan berarti buruk, hanya terlalu biasa. Belum lagi ditambah dengan sentuhan komedi yang jitu. Sentuhan komedi film ini tidak diselipkan secara asal dan sebanyak mungkin. Kuncinya selalu yaitu timing. Kapan komedi hadir lewat celetukan-celetukan kocak karakternya benar-benar diperhatikan disini. Kaprikornus bukan hanya mengandalkan slapstick maupun komedi konyol penuh “hura-hura” untuk belum dewasa saja. Well, bahkan beberpaa slapstick-nya (sesuatu yang saya kurang suka) juga lucu. Alhasil, bukan sekedar senyum simpul yang muncul pada saya, tapi benar-benar tawa. Dengan semua itu, perasaan hangat berhasil dimunculkan, dan film ini pun dengan gampang menciptakan saya terlarut dalam dramanya.

Saya suka bagaimana film ini membawa sebuah tema yang sesungguhnya gelap dan berat untuk belum dewasa menjadi sesuatu yang ringan tapi bermakna, yaitu kematian. Film ini berusaha memberikan bahwa ajal juga yaitu cuilan dari kehidupan. Sesuatu yang tidak perlu ditakuti, sebab pada jadinya juga akan terjadi. Apalagi ajal pun bukan berarti selesai dari segalanya. Hal itu diperlihatkan dengan citra Land of the Remembered yang penuh keceriaan meski diisi oleh orang-orang mati. Siapa yang sanggup tinggal disana? Dengan gampang belum dewasa akan menangkap bahwa orang baik yang tinggal disana. Kaprikornus apa yang coba disampaikan yaitu “jangan takut akan kematian, asalkan kau berbuat baik maka kebahagiaan akan kau dapatkan.” Mungkin terkesan biasa saja bagi penonton dewasa, tapi jangan lupa bahwa target utama film ini terang anak-anak, dan bagaimana The Book of Life mengemas tema yang “berat” dan berpotensi mengerikan bagi belum dewasa itu menjadi sesuatu yang indah tanpa perlu kehilangan esensinya terasa luar biasa.

Ini Lho The September Issue (2009)


Dalam dunia fashion, bulan September ibaratnya Januari sebagai tahun baru. Bulan itu ialah fresh start, momen dimana style gres ditentukan ketika musim mulai berganti. Sebagai sebuah kitab bagi fashion trend, banyak sekali majalah fashion bakal berlomba menyajikan edisi terbesar dan terbaik mereka ketika bulan September, tidak terkecuali Vogue. Film garapan R.J. Cutler ini menyoroti bagaimana pembuatan September Issue milik Vogue tahun 2007 lalu. Tentu saja membicarakan salah satu majalah fashion terbesar ini tidak akan jauh-jauh dari membicarakan sosok Anna Wintour, sang editor yang juga dianggap sebagai salah satu figur paling penting dalam perkembangan dunia mode. Sebagai figur penting, tidak mengherankan kalau Anna ialah sosok yang perfeksionis, keras dan jauh dari kata ramah khususnya kalau sedang berurusan dengan hal yang berkaitan dengan bagaimana Vogue dikemas. Jika anda pernah menonton The Devil Wears Prada, abjad Miranda yang diperankan Meryl Streep dibentuk menurut sosok Anna.

Tentu saja kesan "bos mengerikan" itu bakal berlipat ganda ketika Vogue tengah menyiapkan edisi September, yang pada tahun 2007 direncanakan bakal menjadi edisi terbesar yang pernah dibentuk Vogue. The September Issue bakal menunjukkan bagaimana "gilanya" kondisi Vogue ketika setiap karyawan dibentuk pusing mempersiapkan edisi bulan September, khususnya alasannya ialah begitu sadisnya Anna dalam melaksanakan seleksi dalam tiap karya yang ada. Dia tidak segan untuk terang-terangan menolak bahkan mencela sebuah karya walaupun itu merupakan suatu karya yang menjadi favorit anak buahnya sekalipun. Tapi sekesal apapun mereka, ialah hal yang tidak mungkin untuk melawan kewenangan Anna. Kebanyakan dari mereka hanya akan diam, tapi tidak begitu dengan Grace Coddington, mantan model yang sekarang menjabat sebagai creative director. Dia tidak segan mempertanyakan keputusan Anna. Hubungan unik keduanya pun bakal jadi salah satu sorotan utama film ini. Unik dan menarik, alasannya ialah sekilas keduanya mirip saling membenci, tapi disaat bersamaan ada respek besar ketika mereka sama-sama mengakui kehebatan satu sama lain.

Walaupun berjudul The September Issue, film ini sebetulnya tidak akan berhasil menciptakan para penonton awam yang tidak tahu menahu ihwal dunia fashion memahami alasan kenapa edisi bulan September ialah sesuatu yang amat besar, penting, dan krusial. Ada sekilas klarifikasi ihwal itu, tapi tidak terlalu banyak, kurang lebih mirip apa yang saya paparkan di atas. Tapi walaupun begitu, observasi yang dilakukan R.J. Cutler terhadap segala "kekacauan" dan rumitnya persiapan Vogue USA terang menyenangkan ditonton. Memang selalu menarik menyaksikan sebuah kekacauan yang hadir ketika banyak orang memeras otak untuk menghasilkan sebuah inspirasi kreatif. Karena pada kesannya yang tersaji dari kekacauan itu bukan sebuah kehancuran negatif, melainkan letupan-letupan kreatifitas outstanding (mungkin) tidak akan tersaji ketika seseorang tidak berada dalam tekanan luar biasa mirip yang dialami Grace misalnya. Kesadisan Anna Wintour memaksa Grace berpikir melewati banyak batasan, dan hasil pikiran itulah yang menghasilkan masterpiece. Kesenangan hadir melihat seorang seniman berada dalam tekanan yang produktif mirip itu.
Dari observasi mirip itu, saya yang notabene bukan penggila mode dibentuk jauh lebih mengapresiasi sisi seni dari pengemasan busana. Pada awal film, Anna Wintour sempat menuturkan ketidak setujuannya akan referensi pikir banyak orang yang menganggap bahwa para fashionista ialah sekumpulan orang tak berotak yang hanya mementingkan penampilan belaka. Ada masa dimana saya termasuk salah satu dari orang yang berpikir demikian. Well, memang pada kenyataannya cukup banyak fashionista yang punya referensi pikir dangkal, tapi bukan berarti semua mirip itu. The September Issue meski tidak berfokus pada hal itu cukup dapat meng-cover sisi tersebut. Penonton diajak melihat bagaimana orang-orang mirip Anna maupun Grace yang tidak berlebihan kalau disebut mengabdikan hidup mereka pada fashion ialah sosok orang penuh kecerdasan, kreatifitas dan kehebatan berpikir. 

Lalu kalau kita lucuti semua aspek ihwal fashion, dokumenter ini masih tetap jadi sajian menarik ihwal relasi dua orang dalam melaksanakan proses kreatif. Tentu saja dua orang yang saya maksud ialah Anna dan Grace. Terjadi kontradiksi diantara keduanya, tapi sebuah kontradiksi idealisme yang sehat untuk mencapai kesempurnaan suatu karya. Menarik ketika keduanya masih menyimpan kekaguman satu sama lain, tapi disaat bersamaan tidak bersedia mengalah. Bukan semata-mata ego, alasannya ialah mereka membawa tujuan yang sama, yaitu menunjukkan sajian terbaik bagi Vogue. This kind of love/hate relationship with great respect from each other always interesting to watch. Bagi mereka yang sudah mengetahui sedikit banyak ihwal Anna Wintour, film ini pun menunjukkan sedikit sudut pandang tentangnya, menunjukkan bahwa semoga bagaimanapun sang "ratu es" tetaplah insan biasa yang menyimpan emosi manusiawi. The September Issue mungkin tidak mengeksplorasi secara dalam ihwal kultur kenapa edisi September begitu penting, tapi terang eksplorasi menarik ihwal bagaimana proses pembuatannya.  

Saturday, December 29, 2018

Ini Lho Honeymoon (2014)

Tentu saja dengan judul Honeymoon, film ini mempunyai abjad utama yang tengah berbulan madu. Mereka yaitu Paul (Harry Treadaway) dan Bea (Rose Leslie). Keduanya berbulan madu di sebuah kabin milik keluarga Bea yang terletak di tempat resort terpencil (yep, another cabin in the wood scenario). Seperti yang sudah sanggup ditebak, bulan madu yang awalnya penuh romansa dan kebahagiaan ini perlahan mulai berubah ketika pada suatu malam Paul menemukan Bea bangun di tengah hutan dalam kondisi telanjang. Bea mengaku ketika itu ia mungkin berjalan sambil tidur, tapi sosok Bea yang tadinya riang semenjak ketika itu mulai berubah semakin aneh. “Apa yang terjadi pada Bea?” Seharusnya pertanyaan itu terus berputar di pikiran saya sepanjang film, tapi nyatanya tidak. Kemunculan sekilas suatu cahaya terang menyerupai lampu sorot di tengah malam pada awal film sudah menjelaskan apa yang akan terjadi.

Sutradara debutan Leigh Janiak mengemas filmnya ini sebagai slow-burning horror. Temponya lambat. Permainan intensitas tidak bergantung pada scare jump melainkan atmosfer yang diperkuat oleh scoring. Kesan angker dan mengganggu dihadirkan lewat segala ketidak beresan yang terjadi pada sosok Bea. Akting dan chemistry kedua pemain utamanya pun kuat. Ditambah dengan penyutradaraan Leigh Janiak yang solid, seharusnya Honeymoon jadi sajian horror memikat yang tidak murahan. Seharusnya film ini yaitu angin segar di tengah busuknya sajian horror mainstream tahun 2014 kemudian (I’m talking about Hollywood). Tapi “hanya” alasannya beberapa kekurangan saja, semua itu gagal dan menyebabkan film ini sebagai sajian medioker yang membosankan. Kekurangan pertama ada pada aspek misteri. Potensi misteri disini ada pada pertanyaan diatas, yaitu “apa yang terjadi pada Bea?”. Atau kalau lebih luas lagi dengan melihat pasagan Will dan Annie, pertanyaannya yaitu “hal gila apa tolong-menolong yang terdapat di tengah hutan?"
Film ini terang sama sekali tidak mengakomodir pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk hadir dalam benak penonton. Saya yakin hamper semua penonton sudah tahu harus mengasosiasikan “cahaya misterius” dengan apa. Saya sendiri berharap akan ada twist wacana identitas cahaya itu, tapi tidak terjadi. Dengan balasan pertanyaan yang sudah diketahui, suatu misteri pun jadi tidak menarik lagi. Disisi lain kalau Leigh Janiak memang sengaja memberi tahu hal tersebut filmnya tidak pernah dikemas kearah sana. Narasinya masih berjalan dengan arah menggiring penonton kedalam suatu misteri. Alhasil, Honeymoon terasa sebagai sebuah sajian misteri yang sama sekali tidak mempunyai misteri, alias kosong. Ceritanya sendiri tidak punya daya jual selain kecacatan Bea, dan pertengkarannya dengan Paul memperdebatkan kecacatan itu. Tidak ada hal lain yang ditawarkan, film ini pun terasa hanya berputar-putar, tanpa pernah beranjak. Istilah slow-burning merujuk pada tontonan yang bergerak perlahan tapi pasti, dan film ini tidak. Setelah lebih dari 20 menit awal tanpa terjadi apapun, begitu terjadi sesuatu saya tidak diajak untuk beranjak. Membosankan.
Daripada memperlihatkan rasa takut, film ini lebih sering menghadirkan rasa kesal dan geli. SPOILER (jika anda tidak sanggup menebak identitas cahaya “misterius”) Tentu saja kesal, alasannya disaat saya berharap ditakut-takuti, yang lebih sering hadir justru sepasang suami istri muda yang saling bertengkar tanpa argument masuk logika dan pertengkaran itu sama sekali tidak pernah beranjak untuk menghasilkan sesuatu. Geli, alasannya lewat film ini saya mendapat pengetahuan bahwa penyebab kebodohan paling berbahaya ternyata bukan tontonan tak bermutu televise atau institusi pendidikan yang tidak becus tapi alien. Alien sanggup membuatmu lupa cara menciptakan roti, cara menciptakan kopi, identitas diri, hingga fakta bahwa insan tidak sanggup bernafas dalam air pun sanggup terlupakan. Kalau dibayangkan, memang angker kalau kelak istri saya tiba-tiba lupa cara memasak atau menciptakan kopi.

Honeymoon membuang potensinya menjadi horror yang cerdas dan punya hati. Bermodalkan sepasang suami istri yang senang ketika bulan madu sebelum hasilnya semua romansa itu dihancurkan harusnya film ini sanggup begitu intens, shocking, bahkan tragis. Pembukanya sudah cukup meyakinkan ketika chemistry pemainnya menciptakan saya bersimpati pada Paul dan Bea, tapi sehabis itu semuanya lenyap. Sempat ada momen yang cukup menyeramkan dan disturbing pada klimaks, tapi lagi-lagi dihancurkan oleh sebuah ending yang maunya tragis tapi justru menggelikan. Jujur saja saya benar-benar ingin menyukai film menyerupai ini. Sebuah film kecil dari sutradara debutan yang bersemangat untuk menyajikan karya sederhana tapi cerdas. Di tengah gempuran horror mainstream yang begitu membosankan, film macam Honeymoon sangat ingin saya apresiasi lebih. Tapi saya tidak bisa, alasannya alih-alih seram, horror ini justru menggelikan.