Friday, December 28, 2018

Ini Lho Somewhere Only We Know (2015)

Sebuah karya yang terjebak dalam tuntutan menjadi komersil, begitulah Somewhere Only We Know karya sutradara Xu Jinglei ini. Mengorbankan potensi kualitas demi keberhasilan Box Office merupakan hal biasa kalau tidak mau disebut masuk akal dalam industri perfilman. Tapi yang patut disayangkan yaitu alasannya yaitu film ini sanggup saja menjadi romansa epic menggetarkan namun berakhir hanya sebagai drama percintaan ringan demi menggapai penonton sebanyak mungkin, khususnya kalangan remaja. Kisahnya sederhana, bahkan sudah berulang kali diangkat dalam sebuah film. Jin Tian (Wang Likun) yang masih terpukul sehabis sang nenek, Chen Lanxin (Xu Jinglei) meninggal dan ditinggalkan oleh tunangannya menentukan menghabiskan ekspresi dominan panas di Praha. Bukan tanpa alasan Jin Tian menentukan daerah itu, alasannya yaitu disanalah sang nenek dulu sempat tinggal selama beberapa tahun.

Dalam beberapa barang peninggalan sang nenek, Jin Tian menemukan sebuah surat dari seorang laki-laki berjulukan Josef Noyak (Gordon Alexander). Berangkat dari surat tersebut ia berniat mencari tahu kisah bekerjsama yang terjalin antara sang nenek dengan Josef. Disaat bersamaan Jin Tian bertemu dengan seorang laki-laki berjulukan Peng Zeyang (Kris). Bisa ditebak keduanya jatuh cinta meski sama-sama masih memendam kisah cinta masa kemudian khususnya bagi Jin Tian yang belum sepenuhnya pulih dari patah hati. Somewhere Only We Know adalah sebuah napak tilas sebuah kisah cinta generasi masa lampau yang dilakukan oleh mereka para generasi muda. Menelusuri surat, alamat, jejak-jejak, hingga monumen daerah Chen dan Josef memadu kasih puluhan tahun lalu. Kisah sederhana dan tidak lagi baru, tapi tidak akan pernah usang. Cerita cinta sejati dengan tema kesetiaan memang selalu menarik.
Berangkat dari premis tersebut, film ini sanggup begitu romantis, mengharukan, bahkan mengundang banyak sekali tanya wacana misteri kisah masa lalu. Tapi hasrat meraup keuntungan besar dan ambisi dalam penulisan ceritanya menanggalkan segala potensi itu. Beberapa film sejenis akan menempatkan huruf mudanya sebagai penyusun tiap keping puzzle dan perpanjangan tangan penonton di dalam film. Mereka tidak punya arc story selain berusaha mencari tahu wacana apa yang bekerjsama terjadi. Konflik mungkin sesekali dipercikkan, tapi tidak lebih dari sekedar bumbu penyedap sebelum kesudahannya sehabis semua dongeng terungkap, mereka pun menerima banyak pelajaran demi menuntaskan duduk kasus mereka sendiri. Film ini sanggup saja mengambil jalan tersebut, tapi naskahnya terlalu berlebihan, terlalu ambisius. Tidak heran, beginilah yang terjadi bila satu film naskahnya ditulis oleh tujuh orang!

Alih-alih berfokus pada kisah Chen-Josef, kita justru akan lebih banyak melihat eksplorasi romansa Tian-Zeyang. Fokusnya pun terpecah berantakan. Xu Jinglei selaku sutradara nampak kelabakan menangani dua kisah cinta beda masa dengan porsi yang coba diseimbangkan tersebut. Akhirnya plot tidak mengalir lancar. Lompatan-lompatan timeline yang dilakukan tidak mulus dan berujung pada kegagalan menciptakan saya terikat akan romansanya. Seolah belum cukup, Tian-Zeyang pun diberikan begitu banyak sub-konflik. Mulai dari konflik korelasi mereka, konflik masa lalu, hingga konflik Zeyang dengan sang ibu. Konflik, konflik, konflik. Muncul tanpa henti tanpa ada pendalaman berarti dan ditutup dengan konklusi yang dipaksakan untuk mengakhirinya secepat mungkin. Akhirnya tidak tercipta koneksi saling menguatkan antara kedua percintaan beda masa itu. Padahal koneksi diantara keduanya, disaat masa kemudian mempengaruhi masa sekarang serta perjuangan untuk mengakibatkan masa depan lebih baik dari yang telah kemudian menjadi esensi paling utama filmnya.
Di samping terlalu ambisius, pembagian porsi yang dilakukan yaitu demi menarik perhatian penonton remaja. Hal ini untuk memfasilitasi keterlibatan Kris dan Wang Likun. Tentu saja mustahil menyia-nyiakan kehadiran dua pemain berparas anggun dan rupawan ini hanya untuk sekedar tampil sekilas sebagai penyambung benang merah. Maka mereka harus diberi porsi besar, bahkan lebih besar dari huruf yang harusnya menjadi fokus utama. Jujur saja saya juga hampir "tertipu". Sempat ada momen dimana saya merasa begitu terpikat dengan romansanya, peduli pada korelasi Jin Tian dan Zeyang. Sampai kesudahannya saya menyadari itu bukan alasannya yaitu kualitas penceritaan mumpuni melainkan hanya alasannya yaitu kecantikan Wang Likun semata. Pria mana yang tega melihat perempuan secantik itu menderita bukan? Saya pun sanggup membayangkan hal serupa terjadi pada penonton perempuan ketika mereka melihat Kris. Inilah pola tepat film romantis yang tidak berpegang pada kualitas dongeng tapi pada eksploitasi tampang dua pemain drama utama.

Juga terasa mengganggu yaitu inkonsistensi tone. Saya suka penggalan awal film ketika nuansa komedi romantis lebih mendominasi. Terasa ringan, belum ambisius tapi amat menghibur. Wang Likun sendiri nampak begitu lancar ketika harus tampil komedik lewat ekspresinya (yang menggemaskan) itu. Hal sama terjadi pada Kris. Dia lebih lezat dilihat ketika harus beradegan santai layaknya para idol lain ketika berakting di drama Korea. Tapi ketika harus melakoni drama yang lebih berat dan serius, jadinya "yah begitulah." Semakin filmnya berjalan, komedi semakin dikurangi, dan semakin terasa datar pula dinamika cerita. Dinamika dongeng datar plus pembagian fokus yang kacau menciptakan rasa haru yang harusnya hadir tidak terasa maksimal. Sangat disayangkan, alasannya yaitu Xu Jinglei terang sudah mengemas begitu baik titik puncak dari tiap-tiap romansa. Air mata saya sanggup mengalir anda sedari awal dramanya dieksplorasi secara lebih dalam dan tidak terlalu banyak sempilan-sempilan konflik tidak penting. Somewhere Only We Know terlalu berusaha cantik, berusaha elegan dalam tiap aspek mulai dari sinematografi hingga tampang pemainnya. Ditambah kehadiran lagu Right Here Waiting di ending, ini lebih seolah-olah extended pre-wedding video daripada film romansa. Tapi selama ada Wang Likun mata ini masih sanggup terhibur.

Artikel Terkait

Ini Lho Somewhere Only We Know (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email