Saturday, December 29, 2018

Ini Lho Digging Up The Marrow (2014)

Dari sutradara Adam Green yang mempersembahkan modern slasher icon bernama Victor Crowley, hadir sebuah surat cinta untuk para genre fans khususnya pemuja monster. Tapi Digging Up the Marrow tidak se-segmented kedengarannya. Kenapa? Karena semua orang niscaya punya fantasi yang hadir semenjak kecil dan walau telah beranjak dewasa, di hati kecil mereka tetap berharap semua itu akan jadi kenyataan. Menurut Adam Green ini bukanlah found footage genre, melainkan footage footage. Apapun artinya itu, yang terang Green bermaksud membuat sebuah film senyata mungkin, berambisi melebihi batasan mockumentary. Karena itulah ia memerankan dirinya sendiri, seorang sutradara horror yang terobsesi dengan monster, membuat film monster, serta dikelilingi para pecinta monster. Suatu hari datanglah surat dari laki-laki berjulukan William Dekker (Ray Wise) yang menyampaikan bahwa monster itu aktual dan tahu daerah mereka tinggal.

Dibuat sebagai surat cinta, film ini dengan cepat membangun ekspektasi para pecinta genre movie. Mulai dari denah monster, hingga wawancara singkat dengan dedengkot genre seperti Tony Todd, Joe Lynch, Lloyd Kaufman, (the late) Oderus Urungus, Kane Hodder dan sebagainya akan membuat para fans antusias, terhibur, bahkan sebelum monsternya benar-benar muncul. Tapi apa yang membedakan film ini dengan found footage? Green memanfaatkan statusnya sebagai public figure untuk menguatkan kesan aktual film ini. Memerankan diri sendiri, cameo nama-nama tenar di atas, interview di banyak sekali event, hingga tidak banyaknya dramatisasi menimbulkan Digging Up the Marrow lebih akrab pada dokumenter daripada mockumentary/found footage.  Satu lagi pembeda yakni tidak adanya ciri khas (buruk) mockumentary dimana sebelum masuk pada teror utama, penonton diajak melihat adegan yang tidak menampilkan apapun. Membosankan, sebab kebanyakan bukan melaksanakan building tension ataupun karakter, melainkan hanya untuk menambah durasi. 
Adam Green ibarat sadar akan hal itu, dan alih-alih membawa penonton pada basa-basi membosankan, ia pribadi tancap gas dengan memperkenalkan konflik utama sedari menit-menit awal. Berkat itu, Digging Up the Marrow selalu menghibur dari awal hingga final meski secara keseluruhan monster-monster yang dijanjikan hanya muncul mungkin tidak lebih dari 10 menit. Secara kuantitas memang tidak banyak, tapi tiap kemunculannya bisa dihukum dengan maksimal. Jump scare yang sangat efektif menggedor jantung, hingga titik puncak yang menegangkan membuat kemunculan monster dalam film ini terasa mengesankan, memorable. Desain dari Alex Pardee yang menginspirasi Green membuat film ini juga sangat bagus. Penuh kreatifitas yang membuatnya berada jauh di atas desain monster-monster lain dalam film yang makin memberatkan pada sisi realistis tapi justru membuatnya tidak menarik. Apa yang dibentuk oleh Pardee yakni monster-monster unik, bahkan ia tidak takut memasukkan grafis penuh ornamen dengan rasa kartun yang kental. 
Tentu saja naskah yang ia tulis tidaklah luar biasa, tapi cukup berisi sekaligus yang terbaik dari sang sutradara. Salah satu aspek terbaik dari naskahnya yakni dikala secara tidak pribadi Green coba mengkritisi perihal fantasi seseorang. Hampir semua orang yang muncul dalam film ini yakni mereka dengan passion dan obsesi besar pada monster, bahkan beberapa diantaranya berharap monster itu nyata. Tapi kenapa dikala muncul seseorang yang menyampaikan bahwa ia tahu keberadaan monster, respon pertama yang muncul tidak jauh dari "dia gila" atau "omong kosong". Kenapa?! Begitulah pertanyaan yang coba diteriakkan Adam Green dalam film ini. Apakah logika telah benar-benar mengambil alih kebebasan imaji dan cita-cita fantasi?

There's so much love in this movie. Adam Green memperlakukan semua aspeknya dengan penuh passion dan kecintaan. Membawa penonton ke hutan yang gelap di malam hari, hinga dari sebuah lubang dalam berjulukan The Marrow, fantasi bermetamorfosis kenyataan yang tidak terbayangkan. Mengaplikasikan dongeng ke dunia aktual dengan baik tanpa harus berusaha keras untuk menjadi realistis menyegarkan filmnya. Kombinasi humor menggelitik dengan horror mencekam plus monster-monster yang keren, film ini yakni mimpi indah bagi para genre fans, pecinta monster, hingga cult following dari Adam Green. Sedangkan bagi penonton umum ibarat saya Digging Up the Marrow tetaplah menu yang luar biasa menghibur. Film terbaik Adam Green sehabis Hatchet II.

Artikel Terkait

Ini Lho Digging Up The Marrow (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email