Friday, December 28, 2018

Ini Lho Lilja 4-Ever (2002)

Sungguh kejam film karya Lukas Moodysson ini. Ceritanya merupakan pembiasaan lepas kisah hidup Danguole Rasalaite, seorang gadis yang pada usia 16 tahun menjadi korban human trafficking. Judulnya mengesankan optimisme, tapi tidak ceritanya. Lilja (Oksana Akinshina) tengah merasa begitu kecewa dikala sang ibu meninggalkannya sendiri untuk pindah ke Amerika bersama pacar barunya. Padahal kemegahan Amerika telah usang ia impikan. Lilja pun harus hidup sendirian di apartemen kecil nan kumuh. Tanpa uang, tanpa pekerjaan, tanpa sekolah, tanpa keluarga. Satu-satunya sobat yakni Volodya (Artyom Bogucharsky), anak pria yang meski lebih muda tapi amat menyayangi Lilja. Bersama, keduanya menghadapi himpitan hidup penuh penderitaan serta kemiskinan. Bahkan pada satu kesempatan Lilja terpaksa melacurkan diri (pekerjaan yang mendatangkan laba besar baginya). Tapi rintangan hidup yang harus ia terima bukan hanya itu.

Apa yang menciptakan Lilja 4-Ever terasa jauh lebih kejam dan menyakitkan untuk ditonton? Kisah pilu korban human trafficking dan sex slavery tentu bukan kali pertama diangkat, tapi pengemasan Lukas Moodysson jadi pembeda. Dengan aneka macam kesederhanaan teknis yang membuatnya terasa menyerupai versi lebih mahal dari Dogma 95 (film movement dari Denmark, sama menyerupai asal film ini) Moodysson mengemas filmya dengan begitu bergairah dan penuh ketelanjangan realita. Memang tidak hingga pada tingkatan documentary-like, tapi film ini terperinci mendokumentasikan aspek dongeng serta suasana dengan begitu nyata. Kesampingkan fakta bahwa naskahnya berasal dari kisah nyata. Tanpa itupun filmnya amat believable. Menghadirkan kehidupan yang berkesan destruktif, eksploitasi yang dilakukan Moodysson tidak berlebihan. Ekstrim, tapi semua (sayangnya) itu sanggup ditemui di sekitar kita. Beda dengan karya Lars Von Trier yang eksploitatif/depresif tapi kadang jauh dari keseharian.
Cerita kehidupan Lilja bagaikan tusukan-tusukan menyakitkan pada badan saya. Kita diperkenalkan pada Lilja, gadis yang sedikit naif dengan cita-cita besar untuk menerima kehidupan mapan. Meski tak berdaya ia menolak untuk melupakan cita-cita itu. Pada suatu dialog, Volodya mengajak Lilja bermain "pura-pura mati", tapi ia menolak. Seolah  meski itu pura-pura, Lilja tidak menginginkan ajal sebagai pelarian segala himpitan. Sayangnya sebesar apapun keinginan Lilja mencapai itu, ia tidak tahu harus berbuat apa. Permasalahan yang dihadirkan banyak pihak selalu menghalangi. Pelan tapi niscaya kita diajak melihat bagaimana gadis muda ini makin bersahabat menuju jalan buntu. Filmnya pun jadi sulit dinikmati. Bukan alasannya yakni buruk, tapi terperinci bukan hal gampang apalagi menyenangkan untuk menyaksikan semua penderitaan tokoh utamanya. This is "one against the world."

Menyedihkan, bahkan disturbing. Tapi saya tidak melihat Lilja 4-Ever sebagai sajian tearjerker. Tidak ada perjuangan berlebih untuk menciptakan penonton bersimpati pada karakternya. Tidak ada pula dramatisasi melankolis yang ditebar pada tiap penjuru film. Jika ada penonton yang menangis atau terenyuh dengan ceritanya, itu semata-mata alasannya yakni film ini yakni penampang miniatur tepat bagi kehidupan, cerminan apa adanya akan penderitaan hidup pada tingkatan paling tinggi. Ditambah fakta bahwa huruf utamanya yakni sampaumur wanita yang tampak rapuh, makin memilukan filmnya. Lilja 4-Ever adalah momen dimana suatu cita-cita perlahan direnggut dari hati seseorang, dan itu menyakitkan.
Agak disayangkan, third act-nya yang berlokasi di Swedia agak terlalu panjang. Kita tahu apa yang hasilnya bakal terjadi pada Lilja, bahkan tanpa perlu tahu dari mana asal pembiasaan naskahnya. Mungkin bakal hadir argumen bahwa film ini berorientasi pada proses, bukan hasil akhir. Tapi bagi saya, semua insiden dari awal hingga pertengahan film lah proses tersebut. Proses dimana penderitaan Lilja makin bertumpuk dan impiannya semakin pupus Babak tamat merupakan sebuah konklusi yang tidak perlulah terlalu usang berputar. Impact berupa kesan tertohok yang (seharusnya) dihasilkan pun hasilnya tidaklah terlalu kuat. 

Saya juga kurang suka dengan kehadiran dream sequence dengan aura positif. Mungkin ini bentuk Lukas Moodysson menghargai tokohnya, namun seolah menyiratkan keraguan untuk masuk secara total pada lubang kegelapan. Bagai ada belas kasihan dari Moodysson entah bagi penonton maupun karakterLilja itu sendiri. Apakah Bjork di Dancer in the Dark mendapatkan secercah kebahagiaan di akhir? Tentu tidak. Hanya peristiwa memilukan yang justru semakin memperkuat kengerian realita yang diangkat. Tapi ini bagaikan minor glitch. Sedikit mengganggu tapi tidak merusak secara menyeluruh. Lilja 4-Ever masih drama kelam yang brutal, meyakitkan namun berpijak besar lengan berkuasa pada realita.

Artikel Terkait

Ini Lho Lilja 4-Ever (2002)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email