Friday, December 28, 2018

Ini Lho Stations Of The Cross (2014)

Saya bukan orang yang religius, dalam artian rutinitas beribadah sering tertinggal. Tapi saya juga bukan seorang yang anti terhadap agama, apapun itu. Satu hal yang saya benci yaitu para radikal berpikiran kolot. Berkata mendedikasikan hidup hanya untuk Tuhan, banyak dari mereka justru menatap mereka yang tidak sepikiran atau seiman sebagai sosok antagonis. Daripada merangkul, mereka justru membenci. Disaat agama seharusnya membuka mata, banyak yang justru menutup mata. Begitulah yang terjadi dalam film Jerman karya Dietrich Bruggemann ini. Judul Stations of the Cross sendiri diambil dari rangkaian 14 gambar yang memperlihatkan hari ketika Yesus disalib. Layaknya gambar itu pula film ini bertutur dalam 14 babak dengan huruf Maria (Lea van Acken) sebagai sentral. Gadis berusia 14 tahun ini punya satu tujuan dalam hidup: mengabdi pada Tuhan.

Maria ada di tengah lingkungan Kristen yang konservatif. Keluarganya, khususnya sang ibu (Franziska Weisz) punya hukum ketat dalam hidup. Salah satunya yaitu larangan untuk mendengarkan musik modern (dengan bass dan drum) yang dianggap memuja setan sebab ritme yang memancing pendengarnya untuk bergoyang, dan berpotensi menjurus kearah perbuatan dosan. Hal yang sama diterima oleh Maria di gereja tempatnya beribadah yang merupakan pecahan komunitas St. Paul. Gereja tersebut anti terhadap kebijakan Vatikan yang dianggap mulai teracuni bebasnya kehidupan modern. Karena itu pula misa yang diadakan menggunakan bahasa Latin. Dengan aneka macam macam keyakinan yang ia terima, Maria mulai yakin bahwa jalan terbaik menuju nirwana yaitu melaksanakan pengorbanan mirip Yesus ketika disalib. Pengorbanan pun siap ia lakukan.
Film ini boleh saja berfokus pada Katolik, tapi sebetulnya amat universal, karena para konservatif selalu ada dalam tiap agama. Setidaknya di agama yang saya anut (Islam) pun ada. Bagi saya yang begitu benci akan hal tersebut, menonton Stations of the Cross adalah ujian kesabaran luar biasa. Emosi murka begitu diaduk-aduk. Sama sekali tidak bermaksud hiperbolis, tapi saya harus mati-matian menahan diri untuk tidak mengambil barang terdekat kemudian melemparkannya kearah layar. Adegan pembukanya sudah mencengkeram ketika seorang Pendeta tengah memperlihatkan ceramah pada Maria dan teman-temannya perihal "manusia sebagai prajurit Tuhan di muka Bumi" yang harus berperang melawan nafsu. Nafsu disini yaitu cita-cita akan hal-hal duniawi mirip mendengarkan musik modern, ingin tampak cantik, menonton televisi, dan sebagainya. Momen itu sudah mengunci saya, dan semuanya meledak ketika ibu Maria mulai hadir dengan segala amarah dan perilaku antipati. Dia menjadi salah satu huruf yang paling saya benci dalam sejarah film.
Naskah dari Dietrich Bruggemann dan Anna Bruggemann sama sekali tidak bermaksud mencela agama. Apa yang menjadi target kritik yaitu orang dengan anutan kolot. Stations of the Cross memperlihatkan bagaimana interpretasi yang keliru (baca: bodoh) terhadap agama dapat berakibat sebaliknya dari tujuan utama agama itu sendiri. Kesalahan itu dapat berujung pada tragedi. Anak kecil atau dewasa awal yang masih polos mirip Maria inilah korbannya. Disaat doktrinasi memenuhi kepala mereka, cara berpikir pun jadi semakin sempit, hanya menggunakan satu sudut pandang saja. Karakter-karakternya nampak begitu bersahabat dengan Tuhan, berjalan sesuai perintah-Nya. Tapi begitu ironis ketika yang hadir di sekitar mereka justru kebencian, amarah, antipati dan emosi-emosi negatif lain yang semakin menjauhkan kehidupan insan dari kedamaian. Stations of the Cross menunjukkan perjalanan mencari kedamaian yang justru malah menjauhkan orang dari situ.

Saya selalu mengasihi film yang hadir minimalis, mengutamakan esensi bertutur daripada pencapaian teknik semata. Dietrich Bruggemann melaksanakan itu. Selama durasi 107 menit, tercatat hanya tiga kali kamera bergerak, dan hanya sekali ketika ending pergerakannya sedikit "kaya". Sisanya Dietrich hanya menaruh kamera statis di depan aktor, membiarkan mereka bertutur membangun dongeng tanpa ada sekalipun cut. Tensi dibangun konflik melalui obrolan demi obrolan tanpa pernah melupakan kesan realistis. Teknik pengambilan gambar yang menguatkan kesan real time, kesan nyata, serasa saya sedang berada di daerah yang sama dengan filmnya. Tidak ada distraksi, pula jeda yang sering hadir sebab pengaruh pemotongan adegan atau pergerakan kamera. Saya dipaku, membisu menatap lembaran demi lembaran fase kehidupan Maria yang tidak disadari mulai menjadi destruktif. Dengan elegan, Dietrich Bruggemann pun menyiratkan dalam beberapa adegan bahwa semua kekolotan ini justru mirip penolakan terhadap Tuhan ("Maria" menolak "Christian"?)

Verdict: Mengaduk-aduk emosi lewat kesederhanaan kuat. Eksplorasi dalam ketika agama diinterpretasi dengan keliru, menjauhkan insan dari kebahagiaan sebagai manusia. Saya telah menemukan film terkuat tahun ini.

Artikel Terkait

Ini Lho Stations Of The Cross (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email