Saat menonton film misteri, saya termasuk jenis yang lebih suka jikalau tidak "disuapi". Usaha keras menyusun pecahan puzzle seperti yang hadir dalam Zodiac-nya Fincher atau film-film David Lynch selalu memusingkan sekaligus menyenangkan. Tidak berusaha "menyuapi" penonton yaitu hal yang dilakukan oleh Diao Yinan dalam Black Coal, Thin Ice yang memenangkan Golden Bear pada Berlin Film Festival tahun 2014 lalu. Ada dua setting waktu disini, pertama yaitu 1999 disaat seorang detektif berjulukan Zhang Zili (Liao Fan) yang gres saja bercerai tengah menangani sebuah kasus pembunuhan. Sang pelaku memutilasi badan korban dan membuatkan masing-masing bab badan ke aneka macam pabrik kerikil bara. Tapi sebuah kejadian tragis menjadikan penyelidikan berhenti. Lima tahun kemudian, Zhang Zili yaitu detektif pemabuk yang tidak lagi punya semangat untuk bekerja. Tapi dikala partner lamanya memperlihatan sebuah kasus yang tampak serupa dengan pembunuhan lima tahun lalu, Zhang kembali bersemangat.
Sekali lagi saya lebih suka dibentuk memeras otak alasannya yaitu misteri, dan Diao Yinan terang tidak menyuapi saya dalam film ini. Tapi bukan berarti filmnya bagus. Sebagai teladan mari sedikit membahas Zodiac milik Fincher. Film itu punya kompleksitas misteri yang tinggi sebagai pondasi dasar. Karena itu walaupun David Fincher tidak berusaha berambigu ria, filmnya tetap kompleks. Semua keping untuk menyusun puzzle sudah ada disana, hanya Fincher tidak pernah menunjukkannya secara langsung. Berbeda dengan Black Coal, Thin Ice. Naskahnya yang juga ditulis oleh Diao Yinan amatlah sederhana. Fokus utamanya misteri pembunuhan dengan beberapa twist mengejutkan tapi bergotong-royong punya tanggapan sederhana. Sebagai pemanis untuk memperkuat karakter, ditambahkanlah cerita romansa antara Zhang Zili dan perempuan misterius berjulukan Wu Zhizhen (Gwei Lun-Mei). Sangat sederhana, sangat mendasar. Seolah tidak ingin misteri sederhana itu terlalu mudah, Yinan mengemasnya jadi penuh ambiguitas dan fakta tersembunyi.
Masalahnya, apa yang ia lakukan terasa menyerupai mempersulit sesuatu yang mudah. Sesungguhnya film ini sudah punya kesan realis cukup kuat. Bandingkan dengan film-film Asia lain bertemakan noir, maka Black Coal, Thin Ice termasuk yang paling realistis. Alih-alih berfokus pada kesederhanaan yang berpengaruh dan karakter, Diao Yinan begitu berambisi menciptakan filmnya terasa kompleks. Bukannya membeberkan semua fakta tanpa perlu memperlihatkan "garis bawah" biar penonton merangkai sendiri, Yinan justru seolah sengaja menyembunyikan beberapa pecahan untuk melengkapi struktur misterinya. Anggaplah anda sedang menyusun puzzle bergambar hewan tapi hanya diberikan pecahan bergambar kakinya saja. Pada hasilnya mungkin anda dapat tahu gambar apa yang ada disana, tapi butuh anutan lebih yang sesungguhnya tidalah perlu. dilakukan andai kepingannya lengkap. Film ini sering memperlihatkan beberapa momen episodik perihal penyelidikan Zhang, tapi disaat kita akan masuk momen konklusi atau jawaban, adegan itu langung diakhiri, melompat ke bab selanjutnya. Bagi saya ini merupakan bentuk lain dari style over substance saat Yinan terlalu berambisi menciptakan crime-nya "senyeni" mungkin.
Tapi diluar itu, saya tidak menyangkal bahwa tone serta sinematografinya memukau. Atmosfernya kelam, sangat terasa dari aneka macam faktor mulai dari lokasi penuh salju yang dingin, pengemasan hampir tanpa isian scoring, hingga abjad yang tampak tidak pernah bahagia. Zhang Zili yaitu detektif yang karir serta kehidupannya hancur. Lima tahun kemudian ia menemukan jalan untuk memperbaiki dua hal itu, yang ironisnya menciptakan ia harus terjebak dalam sebuah romansa rumit antara detektif dan seorang tersangka. Sebuah formula klasik film noir. Disis lain, Zhizhen yaitu perempuan yang misterius, suram, dan tak berdaya menghadapi hal-hal jelek di sekitarnya. Wanita ini seolah tidak mempunyai hasrat melanjutkan hidupnya, tapi ia sendiri menolak untuk mati begitu saja. Disaat dua jiwa ini makin menyatu, dapat ditebak bukan kebahagiaan utuh yang akan terasa oleh penonton. Resikonya, romansa itu hasilnya terasa sedingin tone filmnya. Terkesan absurd dan begitu jauh untuk dapat ikut saya rasakan.
Aspek terkuat tanpa cela yaitu sinematografi garapan Jingsong Dong. Tidak hanya memperkuat tone, aneka macam rangkaian gambar terasa magis dan dreamlike. Ada tiga momen terbaik: flash forward lima tahun yang dihadirkan dalam one shot memukau dan mengesankan bahwa waktu bergerak cepat tanpa kita sadari, momen ice skating saat Zhang berusah payah mengejar Zhizhen disaat sang perempuan meluncur dengan begitu indahnya, serta bab ending hujan kembang api yang menutup film sempurna sebelum kita diperlihatkan siapa yang menyalakannya. Ketiganya yaitu momen kunci dari bagaimana sinematografi menguatkan suasana sekaligus cukup menyelamatkan film ini. Black Coal, Thine Ice atau yang punya judul orisinil Bai Ri Yan Huo (Daylight Fireworks) gagal menampilkan potensi terbaiknya alasannya yaitu perjuangan berlebihan Diao Yinan untuk menjadi stylish. Nyatanya style over substance dalam film bukan selalu identik dengan imbas CGI berlebih atau sinematografi indah tak bermakna, tapi juga pengemasan alur yang terlalu dibentuk rumit meski sesungguhya itu tidak perlu.
Ini Lho Black Coal, Thin Ice (2014)
4/
5
Oleh
news flash