Saturday, December 29, 2018

Ini Lho Birdman (2014)

Karir Michael Keaton mencapai puncak sesudah menjadi Batman dalam dua film garapan Tim Burton (Batman & Batman Returns). Tapi begitu sang sutradara menolak menggarap film ketiga, Keaton pun tidak melanjutkan kiprahnya sebagai Bruce Wayne. Pasca-Batman, karir Keaton tidak bisa dibilang terpuruk, tapi terang tidak pernah meyaingi masa jayanya tersebut. Bagi kebanyakan orang pun, Keaton akan selalu lekat sebagai Batman meski tugas tersebut sudah ia tinggalkan selama lebih dari 20 tahun. Sedangkan dalam kehidupan pribadinya, Keaton pernah menikah dengan aktris Carlone McWilliams selama delapan tahun sebelum akibatnya bercerai. Pernikahan itu menunjukkan Keaton seorang anak. Dalam Birdman yang disutradarai oleh Alejandro Gonzales Inarritu, Keaton berperan sebagai Riggan Thomson, seorang pemeran yang meraih masa jaya dikala memerankan aksara superhero Birdman. Tapi 20 tahun sesudah berhenti dari tugas tersebut, karirnya meredup. Kehidupan pribadinya pun tidak terlalu mulus. Riggan bercerai dengan sang istri, dan kesulitan membangun hubungan baik dengan puteri tunggalnya, Sam (Emma Stone) yang gres keluar dari panti rehab.

Kemiripan yang ada diantara Keaton dan Riggan bukan sekedar kebetulan. Hal inilah yang menjadikan Keaton yakni sosok tepat untuk memerankan Riggan Thomson. Tapi kemirian keduanya tidak hanya hingga disitu. Birdman menceritakan perjuangan Riggan dalam menulis, menyutradarai, sekaligus menjadi pemeran dalam sebuah pementasan teater yang ceritanya bagaikan cerminan hidup serta perasaan Riggan. Lewat pementasan itu juga ia berharap serta punya kesempatan untuk menghidupkan kembali karirnya. Hal yang sama juga terjadi pada Keaton. Birdman adalah cerminan hidupnya, dan lewat film ini sang pemeran punya kesempatan kembali berada di puncak. Nominasi Oscar untuk Best Actor (besar kemungkinan bakal ia menangkan) jadi salah satu bukti ia ada di "jalan yang benar". Tapi ceritanya bukan sekedar sebuah meta tanpa makna. Birdman adalah kisah mendalam ihwal sosok individu yang terjebak dalam ketakutan terbesarnya. Ketakutan bahwa ia bukan lagi sosok yang dicintai dan tidak lagi dianggap penting eksistensinya. 


Inarritu sungguh memahami pergolakan hati mereka yang terjebak dalam ketakutan tersebut. Hal itu ditunjukkan lewat bagaimana Riggan terus meyakini bahwa ia yakni seorang pemeran hebat, seniman sejati. Cara "termudah" bagi seseorang untuk menutupi ketakutan akan "ketidak eksisan" dirinya yakni lewat penolakan. Penolakan yang diwujudkan dengan mati-matian meyakini bahwa beliau yakni "something". Ada rasa drama psikoogis kental disini yang dekat kaitannya dengan "delusi". Diluar Riggan tampak begitu yakin akan kemampuannya, tapi di hati kecil beliau dipenuhi ketakutan dna keraguan akan hal itu. Kaprikornus apakah Riggan yakni seorang pemeran jago menyerupai yang ia yakini? Ataukah ia hanya selebritis yang popularitasnya telah meredup tapi terus terjebak di masa lalu? Ya, Riggan terjebak di masa lalu. Dia memang berusaha menyingkirkan semua itu dengan cara berhenti sebagai Birdman. Tapi keyakinan berpengaruh bahwa ia masihlah sosok besar menandakan bahwa beliau belum lepas dari masa lalu, sesuatu yang pada akibatnya menjadi perwujudan sosok Birdman. Sosok Birdman yang selalu berbisik pada Riggan memang halusinasi perwujudan ketakutannya, tapi bagaimana dengan segala kekuatan super tersebut?
Bagi saya semua kekuatan super itu yakni metafora elok dari Inarritu. Pada awalnya Riggan percaya ia bisa menggerakkan barang, bahkan terbang. Sama menyerupai bagaimana ia percaya bahwa dirinya masihlah pemeran yang dianggap. Tapi semua yang terjadi sebelum ending adalah tidak nyata, sama menyerupai fakta bahwa Riggan bukan lagi sosok yang penting bagi masyarakat luas. Tapi sesudah ending semuanya berubah. Riggan kembali jadi materi percakapan entah itu alasannya sensasi diluar keaktoran atau performa aktingnya diatas panggung pertunjukkan. Satu yang pasti, semua "waham" Riggan ihwal popularitasnya itu akibatnya menjadi kenyataan. Disaat itulah kekuatan supernya pun benar-benar menjadi kenyataan. Itu menjelaskan senyuman Emma Stone yang menatap ke langit di final film. Siapa sangka sesudah banyak sekali kerumitan teknis tingkat tingginya Birdman justru diakhiri lewat sebuah momen sederhana tapi bermakna. Hanya berbekal senyuman penuh kebahagiaan dari Emma Stone saya dibentuk tersentuh. 
Dramanya kuat, begitu pula dengan sentuhan komedinya yang tidak jarang masuk ke ranah dark comedy. Walau berfokus pada aksara yang tengah begitu tertekan, Inarritu mengemasnya dengan komedi penuh banyolan cerdas yang uniknya banyak hadir lewat situasi-situasi tidak nyaman menyerupai ereksi di tengah panggung, atau Keaton yang berlari nyaris telanjang di tengah kerumunan orisinil kota New York (yap, orang-orang termasuk drum grup band itu bukan figuran melainkan pengguna jalan asli). Keputusan tepat dikala menentukan komedi dalam situasi tidak nyaman untuk dimasukkan dalam dongeng ihwal aksara yang jauh dari perasaan nyaman. Tapi pencapaian terbesar Birdman sesungguhnya hadir lewat aspek teknisnya. Dipimpin oleh sinematografer Emmanuel Lubezki, film ini secara luar biasa menyuguhkan apa yang disebut Lubezki sebagai magic trick untuk mengemas filmnya seolah diambil tanpa cut selama hampir dua jam penuh. Ini yakni penyempurnaan dari teknik yang digunakan Alfred Hitchcock dalam Rope. Jika Rope menggunakan cara "simpel" yang bisa dideteksi oleh mata telanjang, Birdman tidak begitu.
Kenapa disebut magic trick, alasannya apa yang dilakukan Lubezki dan timnya disini memang penuh manipulasi yang tidak bisa dideteksi bagaimana caranya dengan hanya menonton filmnya. Hebatnya lagi Birdman dipenuhi move rumit dari banyak karakter, pergantian setting yang tidak sedikit, setting waktu yang tidak hanya satu hari, hingga penggunaan imbas CGI. Saya pun meraa apa yang dilakukan Lubezki lewat Gravity (khususnya adegan pembuka hingga kecelakaan) yakni persiapan untuk pertunjukkan besarnya disini. Tapi ini bukan hanya hasil sinematografi Lubezki, alasannya editing cermat dari Douglas Crise dan Stephen Mirrione turut ambil bagian. Sungguh disayangkan editing jago ini tidak diapresiasi lewat nominasi untuk Best Editing Oscar. Kesan bahwa film ini diambil lewat one-take bukan "gaya-gayaan" semata, alasannya lewat pengemasan ini pendalaman serta eksplorasi emosi tiap karakternya bisa tersaji dengan tepat dan begitu nyata. 

Untuk akting, ada dua jenis akting dalam film ini. Pertama yakni akting jago dari pemain yang memerankan aksara cerminan diri mereka, dan kedua yakni akting jago dari pemain yang memerankan aksara bertolak belakang dari ciri khas mereka selama ini. Michael Keaton dan Edward Norton ada di golongan pertama. Keduanya tepat alasannya memahami betul sosok yang diperankan, sehingga tiap momen akting benar-benar nampak dari dalam bukan sekedar menjalankan naskah. Keaton seolah melampiaskan segala kegetiran dan ketakutan yang ia alami akan karirnya dan kemarahan yang selama ini ia pendam. Penonton mengasihaninya tapi juga diajak mentertawakannya. Norton menyerupai yang selama ini kita tahu sama menyerupai Mike dalam film ini. Sering mengacau di set dan tidak segan mengambil alih kontrol kendali. Tapi bagaimanapun menyebalkannya Norton/Mike penonton mau tidak mau harus mengaku kehebatan akting mereka. Sedangkan golongan kedua diisi Emma Stone dan Zach Galifianakis. Emma bukanlah gadis manis disini, melainkan gadis bermasalah yang tidak segan berteriak pada sang ayah. Begitu pula dengan Galifianakis yang bukan aksara komedik menyebalkan yang ada diantara jenius dan idiot. Menyenangkan melihatnya meluapkan amarah alasannya frustrasi di beberapa adegan.

Film ini juga menyelipkan sebuah pergesekan antara "seniman" dan selebiritis money maker. Dalam kehidupan sehari-hari pun saya sudah sering menjumpai kedua pihak ini saling sindir, termasuk mereka para (pengaku) seniman yang seringkali merendahkan karya berorientasi uang tidak peduli apakah karya tersebut memang jelek atau tidak. Birdman dengan teknis dan dongeng penuh imajinasinya menghadirkan kesan yang tidak jauh berbeda dengan Boyhood-nya Richard Linklater. Keduanya sama-sama menyihir penonton lewat pengemasan dan proses yang menghadirkan kesan magis. Pada akibatnya mana diantara kedua film ini yang akan memenangkan penghargaan tertinggi Oscar tidak jadi masalah.

Verdict: Pencapaian teknis memukau yang tidak pernah melupakan dongeng sebagai pondasi utama. Magical mystery tour from Inarritu. 

Artikel Terkait

Ini Lho Birdman (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email