Saturday, December 29, 2018

Ini Lho Kapan Kawin? (2015)

"Kapan kawin?" ialah pertanyaan yang akan diajukan keluarga khususnya orang bau tanah kita sehabis fase "kapan lulus?" dan sebelum "kapan punya anak?". Sebuah pertanyaan klise yang tidak pernah gagal menghadirkan teror bagi mereka yang menjadi "korban". Bermodalkan pertanyaan itu, hadirlah film hasil naskah Monty Tiwa dan disutradarai Ody C. Harahap ini. Premisnya perihal Dinda (Adinia Wirasti), perempuan berusia 33 tahun yang telah sukses berkarir di Jakarta tapi belum bisa memenuhi harapan orang tuanya untuk segera menikah. Berkeinginan membahagiakan kedua orang tua, Dinda menyewa seorang bintang film idealis berjulukan Satrio (Reza Rahadian) untuk berpura-pura menjadi pacarnya. Mereka berdua pun berangkat ke Jogja untuk menemui orang bau tanah Dinda yang kebetulan juga akan merayakan ulang tahun pernikahan. Tentu saja dengan sinopsis semacam itu dan formula standar film komedi romantis tidak sulit bagi setiap penonton untuk menebak akan menyerupai apa konklusinya. 

Tapi apa yang diberikan Kapan Kawin? bukanlah tontonan dengan orientasi hasil akhir. Proses menuju kesana yang berisikan lika liku emosi ialah sajian utamanya. Jika diperhatikan, walau mengusung formula rom-com klise, film ini membangun dinamika lewat cara yang berbeda. Alih-alih mencampur dan menghadirkan komedi serta konflik dramatis secara bergantian, film ini bagaikan dibagi menjadi dua. Bagian pertama penuh dengan komedi. Tetap ada konflik tapi fokus utamanya ialah menciptakan penonton tertawa oleh situasi yang terjadi ketika Satrio/Rio mulai memasuki kehidupa Dinda dengan segala keanehannya. Sesungguhnya film ini dimulai dengan agak tertatih ketika beberapa komedi pembuka terasa kurang menggigit. Tidak murahan, tapi menyerupai asal dilemparkan tanpa memperhatikan timing. Lalu semuanya berubah ketika Satrio mulai masuk. Adinia Wirasti yang tadinya terasa "sendirian" menanggung momen komedik jadi punya tandem sepadan untuk bisa melempar guyonan berbentuk pertengkaran.
Reza Rahadian dan Adinia Wirasti memang punya chemistry super besar lengan berkuasa untuk menciptakan setiap kehadiran mereka bersama jadi begitu berkesan. Secara individu mereka bagus, tapi disaat dipasangkan dalam satu scene terciptalah dinamika besar lengan berkuasa yang kalau membahas penggalan pertama, dinamika itu berujung pada keberhasilan mengocok perut penonton. Reza Rahadian berperan sebagai pelempar lelucon, sumber utama masalah. Entah lewat gestur dan verbal aneh, bunyi dibuat-buat yang konyol atau bahasa Inggris yang ngawur, ia menyajikan aneka macam macam joke yang tidak pernah hilang kesegarannya. Menyegarkan ialah kata yang tepat, apalagi melihat Reza tidak menjadi aksara laki-laki ganteng dan cool yang akan dengan gampang ia perankan. Jika Reza ialah penyulut dan pelempar, maka Adinia Wirasti bertugas sebagai perespon dan penangkap lelucon. Berbekal verbal clueless dan geram serta celetukan Bahasa Jawa menyerupai "asu" atau "ndhasmu" ia menyempurnakan humor film ini. Terjadi sinkronisasi tepat diantara kedua pemeran utama ini, yang berujung pada keberhasilan menghidupkan tiap momen komedi.
Pada penggalan kedua, komedi sedikit dikurangi dan berganti dengan drama penuh konflik. Tapi bukan berarti komedinya hilang secara total, hanya saja lebih berperan sebagai pelengkap semoga situasi tidak terasa kaku. Setelah aneka macam tawa diawal, konflik cukup tinggi yang mendominasi paruh kedua terbukti berhasil menciptakan dramanya lebih kuat. Setelah canda tawa, saya berhasil dibentuk ikut tertohok oleh aneka macam konflik yang muncul. Pada penggalan ini, aksara Gatot (Adi Kurdi) berperan besar ketika ia berubah dari ayah yang menggelitik menjadi penuh amarah dan bentakan dimana-mana. Sebuah transformasi yang terasa mulus berkat hadirnya motivasi yang beralasan. Rasa "shock" yang hadir sebab pergesaran tone itu terbukti ampuh mengaduk-aduk emosi saya. Untuk aksara Dinda dan Satrio sendiri, sehabis aneka macam kesenangan yang merek hadirkan lewat canda, sulit bagi saya untuk tidak bersimpati dan kesudahannya mendukung mereka ketika satu per satu konfik mulai hadir. Akhirnya drama perihal kebahagiaan yang diwakili oleh sosok Dinda pun tersalurkan dengan sempurna.

Saya merasa bahwa kelebihan besar lain dari film ini ialah tetap berpijak pada realita meski kental dengan sentuhan komedi serta dramatisasi. Ambil rujukan aksara Satrio yang kalau dilihat sekilas tidak akan terasa realistis, tapi kesan itu muncul demi kepentingan komedi. Tapi coba lucuti komedinya, maka aksara ini akan jadi sosok yang begitu nyata. Begitu pula dengan konflik-konflik yang mendapat treatment serupa. SPOILER ALERT: Pada penggalan konklusi, kita tahu bahwa Dinda akan jatuh cinta pada Satrio. Tapi satu hal yang tak terduga ialah ketika ia tidak eksklusif mengiyakan pernyataan cinta Satrio, yang secara tersirat bisa disimpulkan ada rasa takut bahwa sang laki-laki tidak bisa memberi nafkah dengan kondisi pekerjaannya sekarang. Sentuhan konfik ini menguatkan kesan realita, dan tidak semata-mata berpijak pada fantasi romansa indah yang seringkali hadir pada film komedi romantis. Monty Tiwa sekali lagi menerangkan bahwa naskahnya seringkali berhasil mengangkat informasi sederhana menjadi rangkaian dongeng cerdas, menyegarkan sekaligus menghibur. Sedangkan penggarapan Ody C. Harahap bisa memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki mulai dari naskah dan akting besar lengan berkuasa berkat timing sempurna baik itu komedi maupun drama. Beginilah seharusnya komedi romantis dibuat. Punya komedi lucu, dan dongeng cinta romantis yang bisa mengaduk-aduk perasaan.

Artikel Terkait

Ini Lho Kapan Kawin? (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email