Saturday, December 29, 2018

Ini Lho Cinderella (2015)

Ada perbedaan fundamental antara kisah klasik dengan kisah usang. Keduanya sama-sama berasal dari waktu yang telah kemudian dan hampir semua orang tahu segala aspek ceritanya dari awal hingga akhir. Tapi disaat kisah lama tidak lagi menarik di masa sekarang, sebuah kisah klasik tidak akan lekang oleh waktu, meski terus dituturkan berulang kali tanpa adanya modifikasi. Cinderella garapan Kenneth Branagh ini menjadi salah satu pola terbaru bagaimana fairy tale yang happily ever after masih merupakan tontonan menarik. Kisah dibuka dengan memperlihatkan kehidupan seorang gadis kecil berjulukan Ella (Eloise Webb) yang dipenuhi kebahagiaan bersama kedua orang tuanya. Suatu hari Ella dirundung sedih dikala sang ibu (Hayley Atwell) meninggal dunia. Tapi ia dan sang ayah (Ben Chaplin) tetap berusaha melanjutkan hidup dengan tenang. Merubah sedih menjadi kenangan indah. 

Beberapa tahun kemudian, Ella (Lily James) yang telah tumbuh pintar balig cukup akal mendapati kebutuhan sang ayah untuk menikah lagi. Kehidupan indahnya mulai berubah dengan kedatangan sang ibu tiri, Lady Tremaine (Cate Blanchett) beserta kedua puterinya Anastasia (Holliday Grainger) dan Drisella (Sophie McShera). Kedua saudari tiri Ella tidak menyukai dirinya, begitu pula sang ibu tiri yang merasa cemburu dengan fakta bahwa semoga bagaimanapun ia tidak akan pernah sanggup menjadi pengganti ibu/istri dalam keluarga tersebut. Disinilah naskah goresan pena Chris Weitz memperlihatkan pengaruhnya. Dia tidak melaksanakan modifikasi besar, melainkan memberi beberapa detail untuk perhiasan eksplorasi konflik dan karakter. Salah satunya yaitu untuk sosok Lady Tremaine. Jika lebih banyak didominasi kisah yang muncul hanya memperlihatkan dirinya sebagai perempuan kejam, film ini menawarkan sudut pandang lain. Ada kecemburuan yang mendorong perilaku itu. Secara tersirat kita pun melihat kebenciannya terhadap Ella alasannya yaitu Lady Tremaine menyerupai melihat cerminan dirinya di masa kemudian yang polos dan baik sebelum rentetan sedih merubah hidupnya.
Kisah selanjutnya sudah kita tahu. Ella akan bertemu dengan seorang pangeran (Richard Madden), hadir di pesta dansa dengan gaun indah serta sepatu beling pemberian ibu peri (Helena Bonham Carter), pergi menghilang dari pangeran, sebelum kembali bertemu, menikah, kemudian hidup senang untuk selamanya. Tidak ada twist seperti dalam Into the Woods misalnya. Tapi kesederhanaan itu tetap tampil memukau disaat momen percintaan hadir begitu romantis, dan momen magis terasa begitu indah. Kenneth Branagh menerangkan bahwa pengalamannya membuat beberapa film pembiasaan kisah Shakespeare besar lengan berkuasa kuat dalam kepiawaiannya mengemas romansa klasik menyerupai ini. Fairy tale memang sudah seharusnya sederhana, tapi lebih dari itu poin utama yaitu keharusan untuk terasa magical. Dengan sumbangan imbas CGI penuh kemilau ala Disney, tata artistik megah untuk menghadirkan ruang dansa, gaun dan sepatuh beling yang dengan cantiknya didesain oleh Sandy Powell, serta scoring Patrick Doyle, Kenneth Branagh sukses menghidupkan kembali keajaiban Cinderella.
Dari segala aspek kisah Cinderella, satu hal yang paling dinantikan tentu dikala ia bertemu dengan ibu peri, menerima sumbangan sedikit sihir untuk sanggup hadir di pesta dansa dan risikonya bertemu dengan pangeran. Ada ekspektasi besar, alasannya yaitu itu merupakan puncak cerita. Branagh berhasil memenuhi cita-cita aku akan momen tersebut. Betapa indah dan menggetarkannya rangkaian adegan yang dimulai dari "pertunjukkan" sihir ibu peri hingga dansa pertama Cinderella dengan pangeran. Mengingatkan aku lagi akan kenapa kita semua menyayangi fantasi dan dongeng bahagia. Saya juga menyukai bagaimana Chris Weitz menambahkan konflik internal dalam istana dimana ada perjuangan untuk menikahkan sang pangeran dengan puteri kerajaan daripada Ella yang hanya gadis kampung biasa. Meski hanya perhiasan ornamen sederhana dalam plot, hal ini sanggup menawarkan bumbu lebih terhadap konflik, membuat dinamika yang lebih meningkat daripada biasanya, dimana bahaya hanya berasal dari ibu dan saudari tiri Cinderella.

Dengan gaun berwarna biru yang indah serta sepatu kaca, aku dibentuk percaya bahwa Lily James merupakan seorang puteri yang anggun. Tidak hanya pangeran, lebih banyak didominasi penonton laki-laki pun akan jatuh cinta pada huruf Cinderella satu ini, disaat penonton perempuan akan mengagumi kecantikannya dan kembali pada mimpi masa kecil mereka untuk menggunakan gaun anggun dan bertemu prince charming dengan kuda putih. Sebagai sosok bertolak belakang, hadirlah Cate Blanchett yang semakin menawarkan kedalam untuk Lady Tremaine, membuatnya tidak berakhir sebagai tipikal ibu tiri jahat dua dimensi. Turut mencuri perhatian yaitu Helena Bonham Carter yang kembali tampil eksentrik, hanya saja dengan porsi minim yang sesuai. Dengan segala keindahan menggetarkan, fantasi memukau, serta sosok Cinderella yang gampang mengambil simpati penonton, film ini terang jauh di atas ekspektasi saya. Bahkan setulah pembukaan mengesankan berupa film pendek Frozen Fever, Cinderella tetap bangun tegak. 

Artikel Terkait

Ini Lho Cinderella (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email