Friday, December 28, 2018

Ini Lho American Psycho (2000)

Patrick Bateman (Christian Bale) ialah investor perbankan yang sudah hidup penuh kemewahan meski usianya gres 27 tahun. Bersama teman-temannya, Bateman selalu makan di restoran glamor yang membutuhkan reservasi hanya demi gengsi. Setiap pagi pun ia rutin merawat tubuhnya dengan olah raga rutin dan banyak sekali produk perawatan wajah. Ditambah mempunyai seorang tunangan elok berjulukan Evelyn (Reese Witherspoon) tampak begitu tepat kehidupan Bateman. Tapi nyatanya tidak. Bateman sama sekali tidak menyukai teman-teman dan tunangannya. Kita dapat melihat ia tidak pernah dapat sejalan ketika terlibat pembicaraan dengan mereka. Disaat tengah mengutarakan wawasan, opini, serta kepeduliannya pada gosip sosial, teman-teman Bateman selalu mentertawakan dirinya. Kita sebagai penonton pun ikut tertawa sebab semua itu tidak lebih dari sekedar omong kosong.

Daripada memikirkan seisi dunia yang kepalaran ibarat kata-katanya, Bateman lebih terganggu ketika rekan-rekan kerjanya mempunyai kartu nama yang jauh lebih bagus. Bahkan ketika tengah merasa kesal Bateman tidak segan membunuh seorang tuna wisma sehabis sebelumnya mengolok-olok laki-laki tersebut. Ya, diluar kehidupannya sebagai laki-laki kaya nan tampan, Bateman ialah seorang pembunuh berantai. Intensi membunuh akan selalu muncul dalam diri Bateman setiap beliau merasa kesal, dan ia akan kesal bila ada seseorang yang terlihat lebih mapan, lebih sukses darinya. Dia pun tidak segan membantai Paul Allen (Jared Leto) dengan kapak sebab sang laki-laki punya kartu nama terbaik yang pernah ia lihat. Saat menyembunyikan mayit Paul pun yang dikhawatirkan oleh Bateman bukan resiko akan diketahui orang, tapi sebab melihat apartemen korbannya itu jauh lebih mahal dari miliknya.
Diadaptasi dari novel berjudul sama karya Bret Easton Ellis, American Psycho begitu kental dengan perjuangan menjadi sebuah komedi hitam, sebuah satir yang menimbulkan mereka para orang kaya sebagai materi olok-olok. Teman-teman Bateman digambarkan sebagai orang ndeso yang tidak mempedulikan apapun kecuali makan di restoran glamor dan mempunyai kartu nama terbaik. Kita juga tidak pernah sekalipun melihat mereka sedang bekerja. Setiap kemunculannya, orang-orang kaya ini diperlihatkan sedang makan malam, minum di bar, berpesta, atau menggunakan narkoba di toilet. Bateman juga tidak berbeda. Meski kita sering diajak melihatnya di kantor, ia tidak pernah sekalipun tampak bekerja. Yang ia lakukan hanya menggambar di buku jadwal atau bicara dengan sang sekretaris Jean (Chloe Sevigny) yang terperinci menyukai sang atasan. Setiap akad yang ada di jadwal Bateman pun tidak lebih dari sekedar makan malam bersama sobat daripada pertemuan bisnis.

Sutradara Mary Harron berniat memfokuskan film ini sebagai jalan untuk menyindir mereka para orang kaya yang dalam kondisi apapun hanya memikirkan dilema penampilan, kekayaan dan harga diri. Lewat eksplorasi sosok Patrick Bateman-lah Harron coba memberikan satir tersebut. Pada awalnya semua itu dihadirkan dengan begitu efektif. Penonton dibawa melihat Bateman melaksanakan agresi brutalnya sambil selalu membicarakan seleranya yang tinggi terhadap musik-musik Phill Collins, Whitney Houston dan lain-lain. Ada ironi yang hadir ketika itu dikala cita rasa tinggi dihadirkan bersamaan dengan acara yang asing ibarat membunuh orang atau melaksanakan threesome. Semua itu membuat huruf Bateman penuh pertentangan yang makin memperkuat satir filmnya. Beberapa kali saya berhasil dibentuk tertawa ketika diajak menelusuri isi pikiran sang pembunuh berantai. 
Tapi usang kelamaan, American Psycho jadi semakin repetitif dalam menghadirkan sindirannya. Pola yang dipakai selalu berulang, dimana Bateman akan dihadapkan dalam situasi entah makan bersama sobat atau bertemu dengan perempuan sebelum kesannya terdorong untuk melaksanakan pembunuhan. Tentu awalnya menarik melihat segala kegilaan Bateman, tapi kesan repetitif tadi membuat film ini semakin membosankan. Penonton sudah tahu inti dari satir yang diutarakan Mary Harron lewat huruf utamanya, tapi filmnya seolah tidak mau beranjak dari pengenalan tersebut. Berputar-putar di daerah yang sama tanpa pernah maju ke depan sebelum hingga pada klimaks. Sedangkan sebagai thriller berdarah pun American Psycho tidak lagi terasa shocking. Setiap pembunuhan terasa menarik tapi lebih sebab performa over-the-top Christian Bale yang akan membuat Nic Cage merasa minder. Saya suka bagaimana Bale mampu berulang kali melaksanakan transformasi dari "cool charming guy" menjadi "histerical & maniac psychopath".

Lalu hadirlah twist yang membuat film ini disebut sebagai "the next Fight Club" dalam versi yang lebih ambigu. Sebuah twist yang menimbulkan segala tindakan Bateman sepanjang film menjadi "dipertanyakan". Namun ada perbedaan fundamental antara mengaburkan kejelasan tragedi dalam film dengan perjuangan non-sense untuk membuat kebingungan pada penonton. Sayangnya American Psycho masuk dalam kategori yang kedua. Apa yang dilakukan Mary Harron bagaikan perjuangan menipu dan "mentertawakan" penonton daripada sebuah open interpretation. Pada kesannya kejutan itu pun juga terasa hanya sebagai sebuah gimmick daripada media untuk memperkuat eksplorasi sosok Patrick Bateman sebab kehadirannya yang "tiba-tiba" pada ending daripada membangun semuanya lewat hal-hal tersirat sedari awal film.

Verdict: Sebagai komedi hitam, satirnya dibuyarkan oleh repetisi. Sebagai thriller pun tidak ada intensitas yang mumpuni. Christian Bale hadir sebagai hal paling mengesankan dalam American Psycho.

Artikel Terkait

Ini Lho American Psycho (2000)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email