Saturday, December 29, 2018

Ini Lho Predestination (2014)

"Inevitable" merupakan kata yang berulang kali muncul dalam penyesuaian kisah pendek "---All You Zombies---" karya Robert A. Heinlein ini. Kata itu sekilas merupakan perwakilan dari tema takdir yang diusung oleh film ini. Judul Predestination sendiri punya arti "suatu hal yang telah dituliskan oleh Tuhan" atau dengan kata lain takdir. Tapi dalam suatu kisah sci-fi kompleks apalagi yang berkisah wacana perjalanan waktu, kata tersebut sering dipakai sebagai penggampangan untuk menutupi plot hole. Bagaimana bisa? Karena dengan menyebut inevitable, pertanyaan ibarat "bagaimana?" bisa dijawab dengan mudah: sebab itu tidak terelakkan. Sama ibarat murphy law dalam Interstellar, hanya saja secara penyebutan serta penerapan terasa less scientific. Premis film ini yaitu mengenai keberadaan biro yang bertugas untuk menghentikan agresi kejahatan sebelum kejahatan itu terjadi. Tentu saja caranya dengan menggunakan mesin waktu (dalam film ini berbentuk tas biola).

Langsung dibuka dengan agresi ketika seorang biro mengalami luka bakar parah dalam usahanya menghentikan teroris berjulukan "Fizzle Bomber" mengakibatkan film Australia ini terasa bakal mengikuti blueprint Hollywood yang penuh agresi dan ledakan. Tapi semua berubah ketika fokus film beralih pada pembicaraan antara seorang bartender (Ethan Hawke) dan penulis transgender dengan nama pena "The Unmarried Mother" (Sarah Snook). Sang penulis mengisahkan wacana masa lalunya, mulai dari masa ia ditinggalkan ketika masih bayi di sebuah panti asuhan, tumbuh sebagai gadis penyendiri dengan kemampuan fisik dan otak di atas rata-rata, keikutsertaannya dalam seleksi Space Corps, kehamilan dengan laki-laki tak dikenal yang tiba-tiba meninggalkan dia, hingga momen menyedihkan ketika bayinya menghilang dari rumah sakit. Menggunakan obrolan dan flashback film ini menggali masa kemudian sang penulis. 
Predestination menjadikan sentuhan time travel-nya sebagai jalan untuk mengeksekusi drama kehidupan. Diperhatikan lagi, konsep sci-fi disini amat sederhana bahkan predictable. Membawa konsep paradoks dan ouroboros, penonton tidak akan kesulitan menebak twist-nya. Tapi meski familiar dengan konsep predestination paradoks dimana perjalana waktu mengakomodir "A menimbulkan B dan sebaliknya B menimbulkan A" tidak akan mengurangi kesenangan anda menonton film garapan Michael dan Peter Spierig ini. Saat twist semakin bersahabat kita bisa menebak arahnya, tapi jauh sebelum itu sulit memprediksi ceritanya bergerak kearah twist tersebut. Saya dibentuk tidak sempat repot-repot menebak arahnya sebab drama yang kuat. Karena secara mengejutkan, dibalik konsep perjalanan waktunya ada drama kelam wacana takdir hingga selipan sex story yang twisted. 

Kejutan muncul bukan sekedar untuk menghias plot, tapi penting pada pembangunan drama karakter. Akhirnya sehabis kejutan hadir, efeknya pun hingga pada sisi emosi. Begitu film selesai, aku merasa bahwa segala hal yang terjadi pada karakternya terasa memilukan. Sebuah bencana menyedihkan yang diciptakan oleh kekejaman berjulukan takdir. Semakin menyedihkan lagi sebab semua itu tidak bisa dirubah (inevitable). Predestination membawa kisah time travel pada suasana kelam bahkan cukup depresif diakhirnya. Di ketika banyak sci-fi bertemakan perjalanan waktu mencoba bersikap lebih positif, tidak begitu dengan film ini. Fakta bahwa kita tidak bisa merubah takdir ditekankan sebagai suatu hal yang memilukan. Meski ada harapan, sehabis tahu keseluruhan ceritanya aku menyadari itu hanya impian semu. Tanpa banyak darah, film ini berhasil menjadi sebuah tontonan yang bagi aku cukup sadis. 
Kenapa sadis? Kenapa memilukan? Karena karakternya mengejar masa lalu. Masa kemudian yaitu ketika dimana mereka menemukan cinta, kenangan indah yang tak bisa lagi terulang. Seiring berjalannya waktu, kehidupan berjalan seolah tanpa arti sebab ketiadaan tujuan. Predestination menyoroti hal itu, disaat seseorang tidak tahu arah serta makna dari kehidupan yang ia jalani. Terasa sadis, sebab pada alhasil ketika tujuan berhasil ditemukan, dan masa depan coba dibangun, sebagai penonton kita tahu bahwa itu hanyalah sesuatu yang semu. Semuanya akan terus berputar, ibarat ular yang menggigit ekornya sendiri dalam lambang ouroboros. Diluar dugaan ada drama sedalam itu. Dengan cermat, Michael dan Peter Spierig menggiring aku pada awalnya untuk percaya bahwa film ini berkisah wacana balas dendam atau perjuangan membunuh seseorang di masa kemudian (seperti Looper) karena voice over diawal film.

Sekilas akan terasa memusingkan, tapi sebenarnya alur fim ini amat sederhana. Semakin sedehana bila anda memahami konsep paradoks dalam perjalanan waktu. Tapi memang sekeras apapun perjuangan Michael dan Peter Spierig untuk melogiskan penyesuaian ini, tetap banyak hal yang di luar nalar, sehingga membuat plot hole. Tapi aku tidak peduli. Kebanyakan sci-fi remaja ini tidak bisa menyeimbangan antara hiburan dengan kedalaman cerita. Predestination adalah produk langka yang berhasil menyuguhkan itu. Saya dibentuk terhibur, diajak bersenang-senang dengan konsep time travel penuh twist-nya, tapi juga dibentuk karam dalam drama karakternya. Konsep tinggi diimbangi dengan hati dalam kisah membuat aku tidak mempedulikan lubang alur maupun fakta bahwa film ini lebih berat ke fiksi daripada penggabungannya dengan sains. 


Artikel Terkait

Ini Lho Predestination (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email