Saturday, December 29, 2018

Ini Lho Agent Carter - Season 1 (2014-2015)

Di tengah anggapan bahwa genre superhero kekurangan sosok perempuan tangguh sebagai fokus utama, masuk akal saja bila Peggy Carter (Hayley Atwell) menjadi favorit banyak penonton. Ada alasan besar lengan berkuasa mengapa beliau menjadi orang yang paling dihormati (sekaligus dicintai) oleh Steve Rogers/Captain America. Memiliki integritas, ketegasan, serta sanggup bermetamorfosis sosok badass saat beraksi ialah beberapa diantaranya. Tapi yang paling penting, Peggy bisa mewakili sosok perempuan sebagai minoritas dan dipandang sebelah mata dalam bidang yang ia geluti. Setelah one-shot yang rilis pada 2013, tidak mengherankan dikala Agent Carter mempunyai serial televisi sendiri. Diputar sebagai pengisi dikala Agent of S.H.I.E.L.D menjalani libur tengah musim, serial delapan episode ini ber-setting pada 1946. Saat itu perang telah berakhir, dan Peggy bekerja sebagai sekretaris untuk S.S.R (Strategic Scientific Reserve). Meski punya reputasi tinggi dikala perang, di kawasan barunya itu Peggy hanya melaksanakan hal sepele, ibarat menyiapkan berkas atau makan siang.

Konflik utamanya melibatkan Howard Stark (Dominic Cooper) yang dituduh menjual senjata berbahaya ke pihak musuh. Howard sendiri menyatakan secara pribadi pada Peggy bahwa ia dijebak, dan segala senjata itu telah dicuri dari brankasnya. Untuk itu ia meminta pemberian Peggy membersihkan nama baiknya. Dibantu oleh Jarvis (James D'Arcy) yang merupakan pelayan Howard, secara rahasia Peggy melaksanakan penyelidikan sendiri perihal siapa bahwasanya pelaku pencurian tersebut. Cerita berjalan, interaksi antar huruf pun semakin banyak terjadi. Sampai jadinya saya hingga pada keyakinan bahwa kualitas penulisan serial televisi Marvel jauh di bawah filmnya. Saya tidak menonton Agent of S.H.I.E.L.D, tapi dari banyak sekali respon yang hadir, ekspektasi akan kehadiran serial yang terhubung dengan cinematic universe lebih banyak gagal terpenuhi. Itulah yang terjadi pada Agent Carter meski saya cukup terhibur, tapi hiburan satu ini tidak hanya brainless tapi begitu pointless.

Kita tahu salah satu tema besar serial ini ialah usaha hak seorang wanita. Sebagai karya dari Marvel yang termasuk bab MCU, tentu jangan berharap kompleksitas karakter. Hitam dan putih terpisah dengan begitu jelas. Hal serupa terasa dalam penggambaran interaksi Peggy dengan para laki-laki yang meremehkan dirinya. Saat Peggy merupakan perempuan yang sanggup melaksanakan banyak hal, menjalankan kiprah macam apapun, rekan kerja di kantornya hanya sekelompok laki-laki ndeso yang tidak tahu apa-apa. Belum lagi ditambah perilaku menyebalkan yang mereka tunjukkan pada Peggy. Sejujurnya itu menciptakan serial ini mencapai tujuannya. Saya bersimpati pada Peggy dan mendukungnya untuk bisa menandakan diri pada rekan kerjanya. Berhasil, tapi dengan cara yang murahan. Sekuat apapun usaha serial ini menampilkan Detektif Thompson (Chad Michael Murray) sebagai andal interogasi (cukup menghibur) atau Chief Dooley (Shea Whingham) sebagai ketua yang keras, kesan ndeso tetap paling besar lengan berkuasa terasa.
Karakter beserta interaksinya ialah kekuatan utama Marvel. Berbagai sosok menarik telah dihadirkan berkat kualitas penulisan kuat, mulai dari Tony Stark hingga Guardians of the Galaxy. Penulisan serial ini dimulai dengan tujuan sama tapi dengan kualitas berbeda, berujung pada hasil selesai berbeda pula. Obrolan antara Peggy dan Jarvis selalu menarik bahkan hingga delapan episode. Berkebalikan dari Peggy, Jarvis ialah laki-laki yang tampak tidak bisa diandalkan, bahkan takut pada istrinya. Kombinasi dua tokoh berlawanan memang merupakan formula klise tapi efektif dalam buddy cop. Seiring berjalannya waktu saya mulai menyukai Jarvis dengan loyalitas yang ia tunjukkan. Obrolannya dengan Peggy sering memunculkan momen lucu, menciptakan saya terus bertahan hingga serial usai meski kualitasnya medioker. Tapi disaat jokes dari Marvel biasanya benar-benar lucu, kelucuan Peggy-Jarvis tidak lebih dari guilty pleasure. Dialog yang terlontar ndeso dan lagi-lagi pointless, tapi bisa menawarkan kesenangan. Tapi tunggu saja beberapa menit, saya akan melupakan apa yang gres mereka bicarakan.
Disaat rekan kerja Peggy ialah sekumpulan biro bodoh, tidak ada yang lebih mengecewakan dari penggambaran Howard Stark. Kemunculannya di Captain America: the First Avenger menghadirkan kesan sama ibarat Peggy: penonton ingin ia kembali. Semula saya berharap Howard akan jadi Tony-nya Agent Carter. Tapi disaat Tony Stark ialah billionaire, playboy, philanthropist, with cool armor and responsibility, sang ayah tidak lebih dari milyuner playboy yang menyebalkan. Tony Stark ialah laki-laki sekaligus teman yang brengsek, tapi disaat bersamaan penonton bisa bersimpati. Tapi Howard pada setiap kemunculannya hanya menjadikan problem gres bagi Peggy sambil bercinta dengan tiap perempuan yang ia temui. Howard Stark mengecewakan, begitu pula dengan kebanyakan huruf lain, menjadikan Agent Carter gagal menyuguhkan kekuatan utama MCU: likable and interesting characters.

Plot? Bagaimana dengan plot? Tidak menarik, penuh lubang, dan terlalu berusaha menjadi kompleks dengan twist. Tanpa kualitas penulisan baik, bukan kompleksitas mengikat yang muncul, tapi kompleksitas acak-acakan yang menciptakan saya tidak lagi peduli. Apa yang sedang terjadi dalam suatu episode? Belum tentu saya tahu sepenuhnya. Saya hanya menanti agresi Peggy Carter dan interaksinya dengan Jarvis. Sentral dongeng ialah pencarian dalang pencurian barang-barang Howard Stark yang di-tease bakal terikat dengan suatu hal yang lebih besar. "Hal yang lebih besar" menciptakan saya tetap berusaha mengikuti ceritanya, hingga pada dua episode terakhir hal besar itu tidak pernah benar-benar besar. Pengungkapan "Leviathan" beserta rencana mereka yang seharusnya berpuncak pada finale hadir begitu datar. Cukup menghibur, tapi terang bukan hidangan cocok sebagai episode terakhir, apalagi sesudah semua konspirasi dan misteri yang dibangun sedari awal.

Dengan begitu banyak sisi negatif anda mengira saya akan memberi evaluasi jelek pada serial ini bukan? Tapi tidak. Saya katakan lagi bahwa Agent Carter adalah guilty pleasure.....at it's best. Banyak aspek serial ini mengecewakan, termasuk plot utamanya. Tapi bila bersinggungan dengan sesuatu yang berkaitan dengan Peggy Carter, serial ini cukup berhasil. Dia ialah heroine tangguh yang sudah usang dinantikan kehadirannya dalam MCU selain Black Widow. Tiap Peggy beraksi, selalu ada hiburan menyenangkan muncul. Saya berhasil mendukung karakternya, interaksi yang melibatkan Peggy selalu menarik (meski bodoh), dan yang paling penting drama perihal sosok Steve sebagai hantu masa kemudian bagi Peggy hadir cukup kuat. Disaat konklusi plot utama mengecewakan, konklusi drama Peggy-Steve terasa hangat. Ditambah akting cantik Hayley Atwell khususnya dikala harus bersinggungan dengan Steve Rogers dimana ia bisa tampil emosional tanpa dramatisasi berlebih, huruf Peggy Carter terasa makin solid, makin gampang disukai. Mengecewakan di banyak sekali sisi, tapi disaat sebuah serial berjudul Agent Carter mampu menghadirkan sang titular character dengan baik, tidaklah layak menyebutnya sebagai kegagalan.

Artikel Terkait

Ini Lho Agent Carter - Season 1 (2014-2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email