Saturday, December 29, 2018

Ini Lho A Most Violent Year (2014)

Saat para kritikus dan banyak penikmat film memperlihatkan puja-puji pada J.C. Chandor sebab dua film pertamanya (Margin Call & All is Lost), saya beropini lain. Margin Call membuat orang yang awam dengan Wall Street menyerupai saya tersesat dalam alur kompleksnya. Sedangkan tanpa dibawa mengenali abjad utamanya, All is Lost hanya menyerupai video rekaman kecelakaan. Disaat kedua film itu menerima critical acclaim, saya justru dibentuk bosan. Lalu hadirlah A Most Violent Year, sebuah sajian kompleks tapi secara keseluruhan lebih grounded dibanding dua film pertama sang sutradara. Judulnya merujuk pada tahun 1981 di kota New York, dimana pada ketika itu kekerasan, kejahatan dan korupsi memang begitu merajalela. Pada kondisi menyerupai itu, Abel Morales (Oscar Isaac) nyatanya masih memegang tinggi kejujuran. Sebagai pemiliki perusahaan minyak yang sukses tentu gampang bagi Abel untuk melaksanakan penggelapan uang, bahkan terjun ke dunia para gangster. Tapi Abel bersikeras untuk tetap berada di jalan yang benar.

A Most Violent Year adalah pertentangan antara kelembutan melawan kekerasan serta kejujuran melawan kecurangan. Kedua pertentangan tersebut begitu kental mengisi alurnya. Hal ini bisa kita lihat dari perbedaan perilaku antara Abel dengan istrinya, Anna (Jessica Chastain). Disaat harus melunasi kontrak sebesar $1,5 juta, perusahaan Abel justru dihantam aneka macam masalah. Mulai dari tuduhan jaksa wilayah perihal penggelapan pajak dan tindak ilegal lain, hingga terjadinya beberapa pembajakan terhadap truk pengangkut minyak miliknya. Dalam kondisi itu Abel nyatanya masih berusaha sabar, dan mengurus semuanya lewat cara yang benar. Sebaliknya, sebagai anak seorang gangster, Anna merasa bahwa kekerasan harus dibalas dengan kekerasan pula. Pendapat keduanya bertolak belakang, tapi Chandor bisa membawa saya untuk memahami alasan masing-masing. Abel memang tampak penuh keraguan bahkan menyerupai pengecut. Tapi ia bergotong-royong berusaha bertindak taktis. Sedangkan Anna dengan cara kerasnya hanya ingin melindungi perusahaan dan keluarga secepat mungkin. Pada kesempatan berbeda, kedua pendekatan itu sama-sama diperlihatkan laba serta kerugiannya.
Menghadirkan dua sudut pandang yang tidak bisa disalahkan, film ini memang dipenuhi ambiguitas dengan moral sebagai sesuatu yang paling kental. Memanfaatkan pertentangan itu, Chandor membangun intensitas dan dinamika emosi. Intens. Karena dalam kondisi yang penuh kekerasan menyerupai ini, bukan hal gampang memilih benar dan salah. Filmnya dibuka dengan adegan pembajakan truk milik Abel, dimana dua orang pembajak melaksanakan aksinya dengan mudah, meninggalkan sang supir terluka di tengah jalan tanpa ada satupun orang berusaha menghalangi. Padahal jalan berada dalam kondisi ramai. Pembukaan yang cukup untuk menggambarkan betapa keras dan kacaunya New York ketika itu. Menghadirkan dilema sebagai konflik emosional sekaligus pikiran yang membuat saya betah menikmati, yaitu kunci keberhasilan film ini. Pertentangan Abel dan Anna, hingga suasana dilematis disaat Abel tidak menyetujui ajuan untuk mempersenjatai supir truk dengan pistol, semuanya tersaji solid.

Kisah kriminalitas yang berakar pada dunia bisnis dan korupsi penuh unsur politis terperinci memperlihatkan kesan kompleks pada film ini. Tapi A Most Violent Year bukanlah Margin Call dimana penonton yang awam terhadap dunia filmnya tersesat. Anda tidak perlu menjadi pakar bisnis perminyakan untuk bisa menikmatinya. Naskah J.C. Chandor kali ini tidak dipenuhi istilah "asing" dalam obrolan yang berfungsi sebagai pencetus plot. Tentu banyak hal tersirat sebagai kepingan puzzle untuk ceritanya yang tidak akan repot-repot diterangkan secara gamblang oleh Chandor. Sang sutradara seolah memfasilitasi penontonnya semoga lebih gampang merangkai alur kompleks tersebut. Tapi untuk memahaminya, kita harus fokus pada setiap kejadian, sebab film ini bergerak lewat "aksi" tanpa banyak menjelaskan perihal agresi itu. Alur yang bergerak lambat juga cukup menjadi kekuatan. Alih-alih menurunkan tensi, keheningan dan momen "santai" sering dijadikan sebagai awal dari bencana tak terduga yang amat mengejutkan.
Setiap karakternya pernah atau sedang mengalami hidup yang keras. Anna yaitu anak cecunguk dan itu membentuk contoh pikirnya yang pro-kekerasan. Abel yaitu mantan supir truk yang sekarang berhasil merengkuh kesuksesan tapi nyatanya tetap harus berjibaku dengan kerasnya hidup. Sedangkan Julian (Elyes Gabel) yaitu perwakilan dari mereka yang terus mengalami penderitaan serta kesialan. Dengan karakter-karakter semacam itu, saya bisa memahami bagaimana New York tahun 1981 sanggup menjadi kota yang keras. Bahkan konklusi film pun memperlihatkan bahwa korupsi terjadi daam tiap sendi kota tersebut, dimana kondisi sulit yang terjadi sanggup mendorong siapa pun untuk melakukannya. 

Kedua bintang film utamanya, Oscar Isaac dan Jessica Chastain bermain baik. Dengan cara bicara yang terstruktur dan perlahan, Oscar membentuk abjad Abel sebagai soso taktis dengan sempurna. Adegan ketika ia memperlihatkan pengarahan pada karyawan gres memperlihatkan itu. Pembawaannya memperlihatkan sosok orang yang sanggup menggaet atensi lawan bicara dengan gampang tanpa perlu intimidatif, tapi bisa menyerupai itu kalau diperlukan. Sedangkan Chastain sebaliknya. Matanya memperlihatkan kesan kejam yang memperlihatkan bahwa abjad Anna yaitu perempuan keras dan tidak ragu bertindak keras pula pada lawannya. Disandingkan, keduanya membuat chemistry kuat dalam sebuah romansa unik. Pada beberapa cuilan termasuk awal film, sulit memastikan apakah keduanya pasangan suami istri. Hal itu merupakan hasil bentukan dari kondisi dan situasi keras nan penuh intrik. Tapi pada kesempatan lain tergambar terperinci bagaimana romansa yang terjalin diantara mereka. 

Film ini dipenuhi harapan dan ambisi yang berhasil dicapai. Namun apakah keberhasilan itu memberi kebahagiaan sehabis aneka macam cara yang ditempuh? Untuk pertama kalinya saya menyukai fim garapan J.C. Chandor. Saya suka naskah yang ia tulis, kisah kompleksnya, alur lambatnya, akting pemain, hingga kesan classy dan elegan miliknya. It's pretty cool

Artikel Terkait

Ini Lho A Most Violent Year (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email