Friday, December 28, 2018

Ini Lho The Duke Of Burgundy (2014)

Evelyn (Chiara D'Anna) mengayuh sepedanya dan datang di sebuah rumah milik perempuan berjulukan Cynthia (Sidse Babett Knudsen). Tidak lama, Cynthia pribadi menyuruh Evelyn membersihkan ruang kerja. Dari situ terperinci bahwa Evelyn bekerja di rumah tersebut sebagai pembantu. Cynthia sendiri nampak sebagai majikan yang galak dan gemar menawarkan pekerjaan tanpa henti. Suasana nampak intens, namun bukan disebabkan oleh ketegangan akhir amarah, melainkan intensitas ketika hasrat menggebu coba ditekan. Saya pun berasumsi Evelyn rahasia menyukai sang majikan. Apalagi ia nampak "tidak nyaman" ketika Cynthia meminta Evelyn memijat kakinya. Semuanya berpuncak ketika Cynthia "menghukum" Evelyn akhir suatu kesalahan dan berujung keduanya berafiliasi seks. Ternyata sang majikan juga memendam perasaan yang sama, bukan begitu? Rupanya tidak. Sutradara Peter Strickland pribadi menawarkan twist di babak awal yang membelokkan arah film.

Kedua perempuan tersebut rupanya memang sepasang kekasih. Adegan pembuka tadi hanyalah role play yang rutin mereka lakukan tiap hari sebagai "pengantar" menuju seks. The Duke of Burgundy nyatanya merupakan drama sadomasochism. Cynthia yaitu dominan, berperan sebagai majikan kejam yang semena-mena dan gemar menghukum pembantunya. Sedangkan Evelyn yaitu submisif dan menyukai situasi dimana ia tidak berdaya atau dipermalukan. Sebagai contoh, ia akan terangsang ketika Cynthia menawarkan eksekusi dengan duduk di atas mukanya atau dikurung dalam sebuah peti dalam kondisi terikat. Daripada kalimat "aku senang bersamamu", Evelyn lebih menentukan ucapan "aku kecewa padamu". Semakin ia merasa tak mempunyai kegunaan dan tak berdaya, semakin besar pula rangsangan yang dirasakan. Evelyn menikmati semua itu, tapi Cynthia tidak. Perlahan penonton akan mempelajari bahwa semua yang dilakukan Cynthia bukan semata-mata lantaran ia menikmati, tapi demi membahagiakan sang kekasih.
The Duke of Burgundy adalah erotic film, dimana hampir tiap adegan dikemas semoga menghadirkan kesan sensual atau punya simbolisme yang merujuk kearah sana. Tapi Peter Strickland tidak menghadirkan segala sensualitas tersebut secara murahan. Kesan tersebut dihadirkan oleh permainan atmosfer yang jeli. Strickland menerapkan ilmu beserta pengalamannya dalam menciptakan film-film horor/thriller atmosferik untuk film ini. Alhasil tanpa perlu banyak adegan seks eksplisit maupun ketelanjangan vulgar, suasana seksi masih sanggup dibangun begitu intens. Momen-momen sederhana menyerupai mencuci baju atau mengukur tubuh pun sanggup terasa erotis, terasa "panas". Lalu seiring berjalannya durasi, Strickland menyerupai tidak sanggup menahan diri menyebabkan film ini makin kental dengan aura horor. Jadilah paruh final The Duke of Burgundy layaknya surreal horror milik Lynch yang berkesan dreamlike
Bagian itu dihukum dengan begitu baik. Permainan visual yang memikat turut memperkuat atmosfer creepy dan disturbing saat Strickland membawa kekerabatan Evelyn-Cynthia ke babak yang lebih gelap. Intensinya jelas, substansinya pun besar lengan berkuasa dalam menggambarkan kekerabatan penuh passion yang perlahan berubah jadi mimpi buruk. Meski punya segala bumbu sadomasochism dan pengemasan sureal dari Strickland, esensi cerita The Duke of Burgundy sebenarnya sederhana saja, yaitu eksplorasi terhadap dinamika kekerabatan sepasang kekasih. Apa yang terjadi ketika salah satu dari sepasang kekasih sebetulnya tidak menikmati apa yang selama ini mereka lakukan? Cynthia tidak menikmati semua role play dan acara BDSM yang disukai Evelyn. Secara tersirat yang diinginkan Cynthia sederhana saja, yakni hidup senang bersama kekasih yang ia cintai dan berafiliasi seks layaknya pasangan lain. Bahkan hanya untuk sekedar mengucapkan "I love you" atau menghabiskan malam dengan tidur berdampingan saja tidak ia dapatkan. Sebaliknya, ia terpaksa melaksanakan segala hal yang baginya terasa mengganggu.

Saya begitu menyukai bagaimana sebuah kekerabatan BDSM digambarkan disini. Bagaimana interaksi antara mayoritas dengan submisif jadi pondasi besar lengan berkuasa untuk menghadirkan kekerabatan rumit yang terjalin. Dari kata yang digunakan, semua orang tahu apa tugas masing-masing dari "dominan" dan "submisif". Tapi banyak yang tidak tahu bahwa dalam prakteknya, justru submisif-lah yang memegang kontrol lebih kuat. Hal tersebut diaplikasikan oleh Peter Strickland disini. Cynthia sebagai mayoritas nyatanya lebih sering diatur. Bagaimana ia berpakaian, apa yang ia katakan dan cara pengucapannya, sampai detail lain semuanya hasil dari ajakan Evelyn. Peter Strickland menyebabkan filmnya ini sebagai materi eksplorasi terhadap tugas dalam sebuah hubungan. Sebagai penggalian lebih dalam pada inner kedua tokoh utama, digunakanlah kupu-kupu. Hewan itu memang begitu mendominasi film ini, tidak saja muncul dalam banyak sekali adegan tapi aksara Evelyn dan Cynthia sama-sama mempelajari kupu-kupu. Dari banyak sekali kultur, kupu-kupu melambangkan banyak hal: transformasi, kelahiran kembali, cinta dan seks, jiwa, sampai kehadiran iblis. Well, berbagai makna tersebut masing-masing sanggup diterapkan dalam film ini bukan?

Verdict: Sensual namun elegan. Penuh intensitas diantara parade visual puitis nan mengerikan. The Duke of Burgundy adalah sajian erotik substansial perihal romansa yang perlahan jatuh menjadi mimpi buruk.

Artikel Terkait

Ini Lho The Duke Of Burgundy (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email