Friday, December 28, 2018

Ini Lho Ex Machina (2015)

Begitu banyak film bertemakan artificial intelligence mulai dari yang berstatus masterpiece hingga sampah sekalipun. Dari begitu banyak kisah, tema yang diangkat biasanya ada di seputaran kemanusiaan serta kritik terhadap umat insan sendiri. Kritik yang dikemukakan tidak akan jauh dari perjuangan insan "bermain Tuhan". Sekilas Ex Machina juga menyinggung informasi tersebut. Tapi apa yang membuat debut penyutradaraan Alex Garland ini menjadi Istimewa sampai bisa berdiri tegak diantara film-film bertemakan A.I. lain terletak pada caranya menempatkan kritikan. Segala hal dalam film ini pun terasa sederhana dan berskala kecil yang berujung pada selalu stabilnya Ex Machina berpijak pada realita. Tidak ada pabrik raksasa untuk membuat robot, alasannya ialah setting film hanya berada di satu kemudahan riset terpencil milik Nathan Baterman (Oscar Isaac) yang dikemas begitu tertutup akan dunia luar. Nathan sendiri ialah CEO dari "Bluebook" yang merupakan search engine terbesar (their Google)

Kemudian ada Caleb (Domhnall Gleeson), seorang programer "Bluebook" yang beruntung memenangkan undian untuk berkunjung ke kemudahan milik bosnya itu selama satu minggu. Datang dengan antusiasme tinggi, Caleb dibentuk kebingungan dikala mengetahui daerah tersebut begitu terisolasi. Berada di tengah hutan, tidak mempunyai jendela, dikelilingi tembok baja dan kunci elektronik yang tidak bisa dibuka jikalau listrik mati demi kemanaan, kemudahan itu memang persis mirip apa yang dikatakan Nathan: klaustrofobik. Caleb kebingungan, sedangkan kita para penonton bakal menyadari ada misteri yang tersembunyi disana, atau lebih tepatnya disembunyikan oleh Nathan. Sedari awal Garland sudah membangun rasa ingin tau kita dengan cara yang efektif sekaligus elegan. Sebuah daerah misterius dengan pemilik yang juga misterius memang mengakibatkan tanya. Tapi cukup dengan itu saja. Tidak ada pengalih perhatian yang sifatnya menipu atau tease demi tease tidak perlu. Semua mengalir pelan tapi pasti, menyibak fakta satu per satu.
Belum usang datang, Caleb sudah diminta menandatangani surat perjanjian untuk menyimpan diam-diam mengenai segala hal yang ia temui disitu. Rahasia yang harus ia jaga ialah kebersediaannya untuk berpartisipasi dalam "Turing Test", sebuah tes dimana seorang insan dihadapkan dengan sebuah mesin/komputer. Apabila insan itu tidak merasa tengah berinteraksi dengan komputer melainkan makhluk hidup, maka artificial intelligence itu dinyatakan berhasil. Dari sini babak utama Ex Machina dimulai. Sesi pertemuan pertama antara Caleb dengan Ava sang A.I. (Alicia Vikander) menjadi awalnya. Penonton berada di posisi yang mirip dengan Caleb. Kita diajak melaksanakan observasi pada sosok Ava, menilai apakah ia telah mempunyai intelegensi yang setara dengan manusia, punya cara pikir yang serupa, bahkan mengamati apakah di dalam dirinya juga terdapat emosi. Tapi layaknya Caleb yang tidak sadar bahwa Nathan masih menyimpan sebuah rahasia, penonton juga tidak sadar bahwa Alex Garland tengah "mempermainkan" persepsi kita.
Sampai disini aku menerka Ex Machina sedang berusaha mengangkat hal umum yang juga selalu dibawa oleh film bertemakan A.I. dengan mempertanyakan sisi kemanusiaan sang robot, kemudian membandingkannya dengan sosok insan sungguhan. Hal tersebut dituturkan sembari menyajikan korelasi rumit sekaligus menarik antara Caleb dengan Ava. Seiring berjalannya waktu, rasa kagum Caleb perlahan berubah menjadi ketertarikan yang lebih jauh. Dia menyayangi Ava, bahkan dalam satu kesempatan membayangkan sedang berciuman dengan sang robot. Tiap malam pun ia habiskan untuk memandangi Ava lewat CCTV. Hal itu sendiri turut dipicu oleh perilaku Ava yang terang-terangan memperlihatkan perasaan yang sama terhadap Caleb. Selipan twisted romance dalam korelasi keduanya memang menarik dan menambahkan selipan atmosfer horror yang disturbing. Tapi mirip yang aku sebutkan, Alex Garland tengah mempermainkan kita (in a good way) dan menyiapkan kejutan tidak hanya dari segi plot namun juga esensi cerita.

Mengamati interaksi antara Caleb dengan Ava, penonton bakal dibentuk bertanya-tanya, "apakah sungguh Ava menyayangi Caleb? Ataukah itu hanya aktivitas dari Nathan?" Kita akan menerima balasan yang berdasarkan aku ialah balasan terbaik bagi pertanyaan tersebut. Saya keliru sempat menerka Alex Garland mencoba menghadirkan sisi humanis lewat cara yang manis. Garland menghadirkan jawabannya itu sekaligus untuk memantapkan status filmnya ini sebagai pemaparan realita terhadap sifat umat manusia. Kebanyakan film-film perihal A.I. memperlihatkan konklusi dengan memperlihatkan sang robot bisa menjadi lebih insan dari manusia, atau dengan kata lain lebih baik. Ex Machina mengeksplorasi sisi humanis tersebut dengan cara lain lewat pendalaman sifat selfish dalam diri manusia. Manusia itu egois. Kaprikornus apabila sebuah A.I. bisa ibarat kita, bukankah sifat tersebut juga akan begitu kental dalam diri mereka? Keegoisan yang ditampilkan juga tidak muluk alasannya ialah sifatnya begitu mendasar, begitu personal. Sama mirip Nathan yang membuat robot-robotnya mungkin tidak lebih hanya sebagai pemuas hasrat belaka.

Verdict: Stylish and atmospheric. Penggunaan imbas komputer sederhana tapi efektif turut memperkuat realisme yang diusung secara konsisten oleh ceritanya.


Artikel Terkait

Ini Lho Ex Machina (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email