Friday, December 28, 2018

Ini Lho Pitch Perfect 2 (2015)

Tiga tahun kemudian Pitch Perfect membuka jalan bagi Hollywood untuk kembali mendatangkan timbunan uang lewat sajian musikal. Berbekal lagu-lagu radio hits yang dikemas dalam bentuk akapela, film ini menjadi sleeper hit. Pengaruhnya pun begitu kuat pada pop culture dengan begitu banyaknya orang yang meng-cover ulang lagu When I'm Gone dengan bermodalkan gelas plastik sebagai perkusi (even Kira Kazantsev won Miss America 2015 after performing "Happy" with cup as a percussion). Tapi harus disadari bahwa kesuksesan film pertamanya cukup banyak dipengaruhi oleh elemen kejutan yang dirasakan penonton. Saat itu dominan dari kita tidak menyangka akapela bisa menjadi sesuatu yang keren dan gelas bisa menjadi perkusi yang menghasilkan ritme menarik. Saat itu juga yaitu kali pertama penonton berkenalan dengan anggota Barden Bellas yang mempunyai karakterisasi berbeda-beda dengan keunikan masing-masing. Kita dikejutkan oleh semua hal "segar" itu.

Sebagai sekuel, akan percuma bagi Pitch Perfect 2 untuk mengulangi semua itu. Sayangnya hal itulah yang pada dominan kepingan dilakukan oleh film ini. Tentu ceritanya sudah berbeda, dimana Barden Bellas sekarang semakin dikenal sebagai grup akapella paling terkenal di Amerika Serikat khususnya sehabis tiga kali beruntun memenangkan lomba nasional. Bahkan mereka mendapat kesempatan tampil di Kennedy Center dalam rangka peringatan ulang tahun Presiden Obama. Namun kesempatan besar itu justru sanggup menjadi awal kehancuran mereka sehabis kecelakaan memalukan yang menimpa Fat Amy (Rebel Wilson). Akibatnya The Bellas mendapat skorsing dan menjadi materi olok-olok masyarakat. Satu-satunya cara mendapat reputasi mereka kembali yaitu dengan memenangkan kejuaran dunia akapela yang akan diadakan di Kopenhagen, Denmark. 
Dasar dongeng dalam naskah goresan pena Kay Cannon bahwasanya sudah bergerak ke arah yang tepat. Kompetisi lebih besar, konflik yang bukan lagi bertemakan "membangun" tapi "mempertahankan", hingga fakta bahwa anggota The Bellas akan segera lulus yang berarti kejuaraan dunia itu mungkin bakal menjadi penampilan terakhir mereka. Ketiganya menjadi formula yang tepat untuk menggerakkan dongeng kearah gres sekaligus modal untuk membangun kisah yang hangat, bahkan bisa jadi emosional. Meminjam istilah Fast & Furious bisa jadi ini merupakan one last ride bagi The Bellas. Tapi sungguh disayangkan kesemua aspek tersebut pada karenanya tidak ada yang tersaji maksimal. Daripada melaksanakan eksplorasi kuat, Elizabeth Banks yang kali ini juga berperan sebagai sutradara lebih menentukan mengakibatkan ceritanya sebagai jembatan untuk adegan musikal satu ke yang lain. Konflik tidak pernah benar-benar mencapai titik puncak, dan resolusi hadir begitu cepat lewat cara yang terkesan menggampangkan. Momen graduation dan perpisahan bisa jadi kepingan paling emosional, tapi yang kita sanggup hanya adegan singkat ketika The Bellas berfoto bersama sehabis sebelumnya menyanyikan lagu "When I'm Gone" bersama di depan api unggun.

Pitch Perfect 2 seolah melupakan penggalian abjad yang jadi kekuatan penting film pertamanya. Baik mereka yang mendapat sub-plot maupun para pemeran pembantu yang tugasnya menyegarkan suasana tidak lagi semenarik dulu. Mereka yang mendapat konflik personal menderita akhir permasalahan yang sama dengan dongeng utama film, yakni tidak adanya penghantaran sekaligus resolusi konflik yang mumpuni. Beca (Anna Kendrick) memegang kiprah penting dalam perpeahan yang terjadi dalam The Bellas ketika ia rahasia magang di sebuah perusahaan rekaman. Tapi perselisihan faktual berkaitan akan hal itu hanya benar-benar terjadi satu kali, dan tidak hingga 10 menit kemudian kita sudah mendapat penyelesaian dengan cara yang amat menggampangkan. Fat Amy yang mendapat porsi romansa disini tidak lebih dari perjuangan menawarkan lebih banyak screen time pada abjad favorit penonton. Sedangkan Emily (Hailee Steinfeld) si anggota gres mendapati tidak adanya ruang lagi bagi pengembangan sub-plot miliknya. Padahal Emily yaitu abjad menarik: gadis elok yang berbakat tapi clumsy dan mendapati impiannya bergabung dengan The Bellas tidak seindah angan-angan. Terlalu banyak yang coba diceritakan film ini hingga tidak ada satupun yang maksimal walau potensi tiap kisah begitu besar termasuk salah satunya "olok-olok" terhadap budaya cover akapela.
Saya juga dikecewakan oleh bagaimana para supporting character dihadirkan. Pada sosok mereka, faktor "kesegaran" yang diawal saya sebutkan benar-benar berpengaruh. Lily (Hana Mae Lee) dengan tingkah abstrak yang menjurus creepy adalah abjad favorit saya di film pertama. Kali ini porsi eksploitasi kegilaannya bertambah secara kuantitas tapi menurun secara kualitas. Masih ada beberapa adegan yang mengundang tawa, tapi imbas kejut yang telah menurun terang amat berpengaruh. Ditambah lagi Eliabeth Banks nampak kurang bisa memaksimalkan sosok Lily. Now she's just weird but not hillarious, and I missed her beatbox performance. Stacie (Alexis Knapp) lebih parah lagi. Setelah pembuka yang cukup efektif (that "I'll do whoever" joke) karakternya nyaris menghilang dari peredaran. Hanya Flo (Chrissie Fit) sang imigran dari Guatemala lewat cerita-cerita sedihnya (baca: ekstrim) yang cukup berhasil dimaksimalkan. Permasalahan abjad ini berujung fatal, alasannya disaat konfliknya membahas wacana kebersamaan, penonton justru tidak lagi terlalu terikat dengan mereka semua, baik secara individu maupun satu kesatuan Barden Bellas.

Tapi semoga bagaimanapun Pitch Perfect 2 adalah komedi musikal, dengan aspek musikal sebagai faktor yang lebih dititik beratkan. Meski lagi-lagi tidak sekuat film pertamanya, momen-momen musikal yang dimiliki film ini masih terasa menyenangkan. Saya masih beberapa kali dibentuk ingin berdiri, menghentakkan kaki, ikut bernyanyi dan menari menikmati rangkaian lagu yang dibawakan. Puncaknya yaitu pada titik puncak kejuaraan dunia yang menjadi pertarungan antara The Bellas dengan grup akapela dari Jerman, "Das Sound Machine". Tidak hanya antara keduanya, titik puncak itu juga menjadi citra tepat pertarungan antara kesempurnaan teknik dengan kesederhanaan yang memakai hati. Sepanjang film, The Bellas disibukkan dengan aneka macam koreografi dan gimmick unik yang pada karenanya justru merugikan mereka. Pada kejuaraan inilah mereka menemukan kembali esensi harmoni The Bellas lewat sebuah nomor musikal yang meski baik secara teknis (opening clap-nya terang diniati sebagai the next "cups song moment"), tapi performance dari hati yang terasa emosional itu yaitu daya pikat utamanya. Setidaknya sehabis rangkaian konflik yang kurang maksimal, film ini ditutup dengan titik puncak hingga ending memuaskan.

Verdict: The aca-mazing climax and (mostly) crowd-pleasing musical numbers only help a little because of the lack of rich character moments that made the first movie such a joyful ride. Too many promising things mixed into this sequel but none of them were properly developed.


Artikel Terkait

Ini Lho Pitch Perfect 2 (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email