Saturday, January 12, 2019

Ini Lho Audition (1999)

Sudah berapa banyak orang atau artikel yang saya baca menyebutkan film Takashi Miike yang satu ini sebagai salah satu film paling disturbing, gila, sadis hingga sebutan-sebutan lain yang pada pada dasarnya menyatakan bahwa Audition adalah film sinting yang memang layak menerima status cult sekaligus salah satu yang terbaik dari seorang Takashi Miike. Diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Ryu Murakami, Audition dirili sebelum Miike menghadirkan karya-karya gilanya yang lain ibarat Visitor Q dan tentu saja Ichi the Killer. Saya tahu bahwa film ini akan mulai berjalan dengan tempo yang lambat sebelum pada kesudahannya menumpahkan semua kegilaannya di 20 menit terakhir, dan paruh selesai itulah yang saya tunggu-tunggu. Tapi sembari menanti kegilaan yang tumpah di akhir, tentu saya juga berharap akan ada dongeng menarik yang mengiringi film ini. Takashi Miike sadar betul akan hal itu. Dia sanggup saja menimbulkan Audition lebih straight forward dan lebih singkat. Miike sanggup menciptakan film ini sebagai torture porn murni layaknya Saw maupun Hostel namun pada kesudahannya beliau menentukan pendekatan yang lebih mendalam, mencoba untuk lebih banyak mengeksplorasi abjad lewat drama psikologis yang perlahan sebelum kesudahannya menggebrak di akhir. Tapi apakah gebrakannya cukup kuat?

Aoyama (Ryo Ishibasi) sudah tujuh tahun kehilangan sang istri yang meninggal dunia sebab sakit. Selama itulah beliau tinggal berdua bersama puteranya yang masih remaja, Shigehio (Tetsu Sawaki). Keduanya hidup senang namun tetap saja ada yang kurang dalam hidup Aoyama yakni sosok perempuan pendamping. Atas dorongan anaknya Aoyama pun mantap ingin menikah lagi. Namun dengan usianya yang sudah tidak lagi muda tentu saja Aoyama tidak ingin main-main dalam mencari perempuan idamannya. Untuk itulah ia meminta derma pada sahabatnya yang berprofesi sebagai produser film, Yoshikawa (Jun Kunimura). Yoshikawa muncul dengan sebuah pandangan gres untuk mengadakan audisi film dan mencari pemain drama utama wanita. Tapi tujuan utama audisi tersebut tentu saja untuk mencarikan perempuan yang cocok bagi Aoyama. Dari puluhan perempuan yang ada, Aoyama ternyata sudah tertarik dengan perempuan muda berjulukan Asami (Eihi Shiina) sedari ia membaca berkas milik perempuan tersebut. Aoyama yakin dengan ringkasan hidup Asami yang ia tahu dan banyak sekali keahlian yang ia miliki, perempuan itu akan jadi pendamping yang sempurna baginya. Namun ternyata ada misteri yang begitu kelam tersimpan dalam diri Asami. Misteri yang akan membawa Aoyama dalam horor yang tidak pernah ia bayangkan.

Dalam film ini, Miike memakai teknik yang sering digunakan Hitchcock dalam membangun tensi dan ketegangan filmnya, yakni menawarkan dua atmosfer yang berbeda dalam filmnya. Film-film Hitchcock selalu menciptakan penonton shock karena apa yang tersaji di paruh pertama begitu berbeda dengan teror di paruh kedua. Sebut saja The Birds yang diawal ibarat komedi romantis atau Rear Window yang terlihat ibarat drama komedi. Audition milik Miike memang tidak menawarkan dua atmosfer yang sangat ekstrim tapi terlihat terang usahanya melaksanakan itu. Paruh pertamanya memang sudah terasa cukup kelam, apalagi film ini dibuka dengan adegan selesai hidup tapi apa yang Miike berdiri diawal merupakan sebuah pondasi yang cukup besar lengan berkuasa untuk menawarkan efek kejut di selesai nanti sekaligus menawarkan dasar yang besar lengan berkuasa pada karakternya. Pada paruh awal kita diperlihatkan bagaimana kehidupan Aoyama yang sebetulnya sudah cukup bahagia. Kita diajak mengenal Aoyama sebagai laki-laki paruh baya yang baik hati dimana ia dekat dan cukup dekat dengan puteranya Keduanya saling tertawa dan menghabiskan waktu cukup sering. Lalu masuk pada fase Aoyama mencari pendamping kita pun diajak melihat bagaimana beliau memang sungguh serius dalam melaksanakan pencarian itu. Bahkan di fase ini Miike menawarkan sedikit sentuhan humor ibarat ketika adegan audisi yang cukup lucu.
Di paruh awal ini Audition sama sekali tidak terasa sebagai sajian horor. Namun ibarat yang saya bilang, ini yaitu pondasi besar lengan berkuasa yang dipasang oleh Miike termasuk bagi karakter-karakternya. Ada simpati yang saya rasakan terhadap Aoyama dimana ia harus kehilangan sang istri, sayang pada anaknya, terlihat ramah pula. Intinya beliau yaitu orang baik, dan semua itu menawarkan simpati termasuk ketika saya sadar bahwa nantinya ia akan mengalami nasib buruk. Miike pun mengemas semua ini dengan baik dan tidak membosankan. Sebuah drama psikologis yang mengeksplorasi diri Aoyama berjalan dengan cukup menarik. Barulah ketika Asami muncul tone filmnya perlahan menjadi semakin kelam sedikit demi sedikit. Ya, bertahap sebab memang Miike mengemas film ini dengan tempo yang cukup lambat namun pasti. Dengan niscaya alurnya melangkah dan mulai menawarkan hal gres satu demi satu. Drama psikologisnya makin kuat, dan aura thriller juga makin terasa seiring dengan kehadiran sosok Asami. Saya juga suka bagaimana interaksi yang terjadi antara Asami dan Aoyama. Jika dalam kehidupan romansa sehari-hari sanggup dibilang Asami jual mahal pada laki-laki yang mendekatinya. Dia bermain-main dengan psikologi Aoyama dimana Asami tidak kunjung menelepon balik, tidak memberi banyak isu wacana identitas atau kawasan tinggalnya, namun disaat bertemu beliau memperlihatkan ketertarikan pada Aoyama. Seorang laki-laki yang menerima perlakuan ibarat itu dari perempuan yang ia suka secara tidak sadar akan sedikit terobsesi dan justru bakal lebih gencar serta sulit terlepas dari perempuan tersebut. Hal itulah yang dimanfaatkan Asami.

Sampai disini Audition masih menarik bahkan cukup cerdas. Namun agar bagaimanapun ketika filmnya sudah melewati 90 menit, saya terang akan menunggu "pembayaran" yang setimpal di paruh kesudahannya sehabis semua penantian serta tempo lambat yang menghiasi drama psikologisnya. Namun Miike nampaknya masih tidak ingin cepat-cepat menawarkan kegilaan tersebut, sebab disaat seharusnya Audition sudah sanggup mencapai titik puncak Miike malah bermain-main dulu dengan adegan sureal yang cukup absurd. Jika momen itu dihadirkan sebentar saja saya tidak duduk kasus bahkan bukan mustahil bakal menambah kegilaan serta sisi disturbing dari keseluruhan kisahnya. Apalagi salah satu adegan paling menjijikkan dalam film ini juga hadir pada momen tersebut yakni ketika adegan "makan" yang benar-benar menciptakan saya mual. Mungkin itu adegan yang paling menciptakan saya ingin muntah sepanjang masa.  Tapi Miike terlalu betah menawarkan semua keabsurdan tersebut, Akhirnya kisahnya semakin molor, terlalu usang dan justru menjadi membosankan ketika adegan abstrak itu malah menjelaskan terlalu banyak dan gamblang banyak sekali misteri yang ada. Miike tidak memanfaatkan dengan baik momen sureal yang sedang ia munculkan. Memberikan klarifikasi ketika itu boleh saja tapi bukankah dengan momen sureal Miike sanggup membungkus semua jawabannya dengan lebih tersirat? Terlalu gamblang dan terlalu panjang menciptakan misteri yang ada tidak lagi menarik.

Tapi tidak masalah, asalkan film ini ditutup dengan kegilaan setimpal ibarat yang sudah dibilang banyak orang. Momen yang sudah saya tunggu-tunggu itu memang cukup gila dan cukup menyakitkan. Tidak terlalu vulgar, tidak terlalu banyak kesadisan yang diumbar sebab Miike lebih berfokus memperlihatkan wajah Asami yang begitu menikmati penyiksaan yang ia lakukan. Jujur suaranya ketika mengucapkan "kiri, kiri" terasa begitu mengerikan. Eihi Shiina begitu luar biasa pada momen ini ketika ia menumpahkan segala kegilaan milik Asami. Tapi disaat saya menantikan momen yang lebih gila lagi sebagai titik puncak filmnya tiba-tiba sudah berakhir dengan sebuah konklusi yang anti-klimaks dan terlalu happy ending. Tentu saja adegan tusuk jarum atau potong kaki itu cukup brutal, tapi saya mengharapkan yang jauh diatas semua itu. Bisa dibilang penantian saya akan sebuah kesintingan Miike yang melegenda dan menjadi cult dalam film ini tidak terbaya lunas. Apa saya yang sudah terlalu banyak menonton film sakit jadi apa yang ditampilkan Miike jadi terlihat biasa saja? Bisa jadi. Sungguh gila ketika adegan yang harusnya paling gila dan sudah saya nantikan justru menjadi salah satu momen paling mengecewakan dalam film ini, bahkan drama psikologis di awal hingga pertengahan jauh lebih menarik. Akhirnya sebab paruh awalnya yang menarik meski lambat itulah film ini jadi masih sanggup saya nikmati. Miike juga cukup baik dalam membangun kengerian di pertengahan termasuk adegan favorit saya ketika karung misterius di rumah Asami itu tiba-tiba bergerak. Tanpa iringan musik yang mengeagetkan adegan itu sanggup begitu mengerikanm teladan jump scare yang cerdas. Andai saja Miike mau menyingkat film ini, mungkin mengurangi 10 menit saja khususnya di dreamy sequence yang berputar -putar itu atau justru memberi pors lebih banyak pada penyiksaannya tentu saja Audition akan jauh lebih bagus.

Artikel Terkait

Ini Lho Audition (1999)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email