Wednesday, January 30, 2019

Ini Lho Red, White & Blue (2010)

Pergulatan hati insan yang tengah dilanda kegundahan dan kesedihan sampai level yang amat dalam yaitu sajian utama film ini. Kisah 3 orang yang kesemuanya pernah dan sedang menghadapi fase kehidupan yang amat berat dan suram ternyata bukan hanya sulit untuk ditonton tapi juga sulit untuk dibentuk menjadi film secara memuaskan. Setidaknya hal itulah yang saya tangkap sehabis menonton film garapan sutradara Simon Rumley ini. Bercerita mengenai Erica (Amanda Fuller), Nate (Noah Taylor) dan Franki (Marc Senter) yang masing-masing saling memiliki korelasi yang mulai menyambung disaat mereka tengah mengalami cobaan luar biasa dalam hidup mereka.

Erica yaitu seorang gadis yang hampir tiap malamnya dihabiskan untuk minum sendirian di kafe sembari menanti ada laki-laki yang mendekati kemudian mengajaknya bekerjasama seks. Erica sendiri yaitu gadis yang seolah hidupnya diisi dengan kemurungan dan kebahagiaan semu yang didapat sehabis ia bekerjasama seks dengan lelaki yang berbeda tiap malam. Erica sendiri melaksanakan itu jawaban masa lalunya yang memilukan. Erica sesungguhnya tidak sendiri alasannya yaitu ada Nate yang sesungguhnya menyayangi Erica dengan nrimo dan tidak hanya mengejar seks belaka.

Tapi Erica tidak tertarik dan selalu mengacuhkan perhatian yang diberikan oleh Nate. Sampai suatu hari Erica bekerjasama seks dengan Franki dan kedua temannya. Franki sendiri yaitu seorang anak grup musik yang sedang berada di ambang sukses tetapi sedang memiliki masalah dimana sang ibu dalam kondisi sekarat jawaban kanker. Tanpa ada yang menduga korelasi seks yang diperlihatkan diawal film tersebut akan menjadi awal dari sebuah peristiwa berdarah yang terjadi jawaban pergulatan jiwa dan emosi kesedihan yang tidak terbendung lagi.
Film ini berpotensi menjadi film yang sangat kompleks dan menarik untuk disimak. Segala masalah yang saya sebutkan dalam sinopsis diatas masih belum meliputi keseluruhan masalah yang hadir alasannya yaitu bisa berpotensi mengakibatkan spoiler. Seiring berjalannya dongeng dan saling terhubungnya aksara yang satu dengan yang lain dan terungkap beberapa fakta yang cukup mengejutkan maka permasalahan yang muncul ke permukaan makin rumit saja. Tapi nampaknya Simon Rumley tidak bisa mengarahkan aneka macam masalah hidup yang berpotensi menjadi sebuah suguhan pergulatan jiwa karakter-karakternya. Berbagai masalah yang muncul terasa hanya sambil kemudian sehingga saya sebagai penonton sama sekali tidak ikut merasa iba atau mungkin depresi dengan masalah yang ada.
Editing jelek dari Robert Hall yang awut-awutan juga ikut membuat penceritaan film ini kurang terang sehingga berdampak pada keberhasilan film ini dalam menyalurkan aneka macam konflik yang muncul. Film ini menyerupai diedit oleh anak Sekolah Menengan Atas atau mahasiswa yang gres saja mencoba membuat film pertama mereka. Padahal Robert Hall pernah bekerja sebagai editor dalam film kedua "Resident Evil" tapi dalam film ini editingnya terasa begitu amatir dan kasar. Hal itu seringkali membuat plot hole. Misal sehabis Erica dan Nate bertengkar, tiba-tiba saja mereka sudah menghadiri sebuah pesta bersama dan bercengkerama dengan hangat. Hal menyerupai itu sering terjadi dalam film ini jawaban proses editing buruk. Tapi sutradara Simon Rumley juga turut berperan dalam keburukan tersebut jawaban kurang cakapnya ia dalam men-direct.

Masih banyak keburukan lain jikalau menyidik sisi editing film ini yang berbuntut dengan munculnya hal-hal yang tidak berkolerasi satu sama lain yang sesungguhnya bukanlah kesalahan pada naskah tapi lebih alasannya yaitu editing yang ngawur tersebut. Tapi kalau  boleh jujur naskah film ini juga kurang tepat melihat aksara Franki yang penggambaran awalnya yaitu anak yang dasarnya baik tapi perbuatannya terhadap Erica yang menjadi sumber konflik terasa terlalu dipaksakan. Berbeda dengan Nate yang tiba-tiba bisa berubah aksara dari pendiam menjadi sadis yang memang terasa masuk akal dan bisa ditolerir, perubahan sifat Franki terasa dipaksakan.

Beruntung ada beberapa hal positif yang membuat saya tidak membenci film ini. Yang pertama yaitu ceritanya yang intinya anggun sehingga walaupun beberapa segi teknis berantakan saya tetap mencicipi segi bagusnya. Cukup menarik juga menunggu apa yang akan terjadi sehabis semua fakta terungkap. Yang kedua yaitu cukup kentalnya unsur seks dan sadisme dalam film ini walaupun sadisme dalam 15 menit terakhir masih bisa lebih vulgar lagi tapi sudah cukup untuk mengangkat mood saya kembali. Yang terakhir dan hasilnya menjadi embel-embel yaitu akting Noah Taylor sebagai Nate yang bisa bertransformasi dengan cukup baik. Ketiga hal itulah yang membuat "Red, White & Blue" masih bisa saya golongkan sebagai film layak tonton yang kurang dari segi eksekusi. Amat disayangkan.


RATING:

Artikel Terkait

Ini Lho Red, White & Blue (2010)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email