Friday, January 18, 2019

Ini Lho Sang Penari (2011)

Walaupun belum pernah membacanya, saya yakin semua orang sudah tahu ihwal novel trilogi "Ronggeng Dukuh Paruk" yang ditulis oleh Ahmad Tohari. Tahun ini untuk ketiga kalinya novel tersebut disesuaikan dalam sebuah film sesudah sebelumnya film "Dara" dan "Mahkota Ronggeng" yang muncul. Film ini disutradari oleh Ifa Isfansyah yang dulu angkat nama lewat "Garuda di Dadaku" serta dibintangi Oka Antara, Slamet rahardjo, Tio Pakusadewo, Lukman Sardi, serta Prisia Nasution yang sering wara-wiri di FTV milik SCTV. Ber-setting di tahun 60-an di Dukuh Paruk yang merupakan desa yang miskin, Srintil (Prisia Nasution) bercita-cita menjadi seorang ronggeng. Selain sebab kagum dan suka akan tarian, Srintil juga ingin memperbaiki nama orang tuanya yang tercoreng sesudah dahulu mengakibatkan ronggeng sebelumnya tewas keracunan tempe bongkrek buatan mereka.

Sementara itu, Rasus (Oka Antara) yang juga ialah teman Srintil semenjak kecil tidak menyukai keinginannya untuk menjadi seorang ronggeng yang akan menciptakan tubuh Srintil bisa dinikmati laki-laki manapun layaknya pohon kelapa yang bisa dipanjat siapapun seenaknya. Keduanya juga bergotong-royong saling mencintai. Tapi sebab keinginannya yang kuat, Rasus terpaksa merelakan Srintil menjadi seorang ronggeng yang dengan cepat menjadi idola dan pujaan di kampungnya dan tentu saja menciptakan banyak lelaki mau membayar tinggi untuk bisa berubungan tubuh dengan sang ronggeng. FYI, bisa tidur dengan ronggeng ialah pujian bahkan istri-istri disana ikut berharap suaminya bisa bekerjasama tubuh dengan ronggeng sebab bisa membawa rejeki. Rasus sendiri alhasil menentukan meninggalkan Dukuh Paruk dan menjadi tentara. Cinta keduanya mulai terpisah dan kembali dipertemukan dalam kondisi yang tidak menyenangkan.
Seharusnya film inilah yang maju ke Academy Awards tahun depan sebagai wakil Indonesia. Bagus? Iya. Apakah menggambarkan etika dan kebudayaan Indonesia? Iya.Ceritanya berfokus pada kondisi sosial masyarakat Dukuh paruk khususnya mengenai etika dan kehidupan seorang Ronggeng. Sungguh ironis bahwa seorang ronggeng yang disebut punya derajat paling tinggi diantara perempuan lain disana justru tubuhnya bisa dinikmati oleh banyak laki-laki dengan bayaran mahal. Meskipun begitu film ini tidak hingga terjerumus menjadi film yang lebih menjurus kearah sensual sebab meskipun ada beberapa adegan dewasa, penyajiannya masih bisa dibilang sopan dan kalau boleh dibilang elegan. Unsur politik yang menggambarkan insiden G-30S PKI juga disajikan dengan baik dimana tidak sekalipun nama PKI disebut. Yah, memang baik penggambaran adegan berakal balig cukup akal yang lebih vulgar ataupun penyinggungan gosip politik yang terlalu dalam bisa menciptakan film ini kena potong sana-sini oleh LSF yang (sori) tidak penting itu.
Pengemasan adegannya juga memuaskan dan banyak menampilkan gambar-gambar yang bagus. Scene dimana Srintil sedang menari juga menarik ditonton, khususnya ketika debutnya sebagai ronggeng yang menciptakan saya cukup merinding. Tentunya itu tidak akan berhasil andai Prisia Nasution tidak berakting dengan baik. Tidak hanya akting, beliau juga bisa menggambarkan kemampuan ronggeng yang jago tari dengan baik. Keberanian Prisia beradegan tanpa busana juga patut diacungi jempol sebab adegan telanjang miliknya bukanlah adegan murahan. Sementara lawan mainnya, Oka Antara malah lebih jago lagi. Dia bisa melaksanakan apa yang pemain lain di film ini tidak bisa lakukan yakni menguasai logat ngapak dengan baik. Sebagai orang yang besar dengan logat tersebut saya merasa logat yang beliau ucapkan sangat anggun untuk ukuran orang yang tidak memakai logat itu di kesehariannya. Sayangnya hal itu tidak ditiru oleh bintang film lain yang lebih banyak didominasi hanya memakai Bahasa Indoensia yang agak di Jawa-kan menyerupai yang Lukman Sardi lakukan. Oka juga bisa bertransformasi dari cowok lugu mejadi tentara yang gagah dengan baik meskipun karakterisasinya terlalu cepat berubah secara drastis. Penggunaan logat tersebut juga menunjukkan kedekatan dan rasa personal tersendiri bagi saya sehingga menciptakan "Sang Penari" terasa lebih intim.

Sayang "Sang Penari" mempunyai sebuah kekurangan yang cukup berasa yaitu bagaimana penyampaian film ini terhadap kisahnya yang terkadang terlalu terburu-buru dan beranggapan bahwa semua penontonnya sudah pernah membaca "Ronggeng Dukuh Paruk" dan memahami isinya. Tidak adanya klarifikasi dan penggarapan ayng terburu-buru di beberapa adegan menciptakan penonton harus berpikir keras untuk mencerna adegan-adegan yang seharusnya tidak membutuhkan aliran keras. Tapi secara keseluruhan "Sang Penari" ialah film yang anggun dan yang terbagus untuk film lokal di 2011 ini. Seharusnya inilah wakil kita diajang Oscar tahun depan.

RATING:

Artikel Terkait

Ini Lho Sang Penari (2011)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email