Saturday, January 12, 2019

Ini Lho Moebius (2013)

Sutradara absurd nan kontroversial yang menjadi favorit saya, Kim Ki-duk kembali lagi lewat film terbarunya yang berjudul Moebius. Beberapa faktor menciptakan film ini menjadi begitu ditunggu. Yang pertama terperinci alasannya ini ialah follow up Kim Ki-duk sesudah keberhasilannya menang di Venice Film Festival 2012 lewat Pieta. Yang kedua ialah akhir kontroversi yang sempat terjadi sebelum perilisan film ini dimana pihak sensor Korea memberi rating "terlarang" bagi Moebius gara-gara banyaknya adegan sadis dan mengandung unsur seksual yang vulgar. Sadisme dan unsur seksual yang vulgar terperinci bukan hal gres dalam karya Ki-duk, namun setahu saya gres kali ini filmnya menerima rating yang setara dengan NC-17 di Amerika Serikat. Film Korea yang sebelumnya pernah menerima rating ini ialah I Saw the Devil karya Kim Ji-Woon yang notabene juga merupakan salah satu film favorit saya. Pada alhasil Kim tetapkan memotong sekitar tiga menit filmnya yang berasal dari adegan incest hingga alhasil film ini diperbolehkan tayang. Sedangkan faktor ketiga yang menciptakan saya begitu menunggu film ini ialah kembalinya Cho Jae-hyun, si anak emas Kim Ki-duk, pemain film yang menjadi partner in crime sang sutradara dimana keduanya terakhir kali berkolaborasi lewat Bad Guy 12 tahun lalu.

Moebius bercerita wacana sebuah keluarga disfungsional tanpa nama. Sang ayah (Cho Jae-hyun) tengah berselingkuh dengan seorang penjaga toko (Lee Eun-woo) dan perselingkuhan tersebut diketahui oleh istrinya (juga diperankan Lee Eun-woo) yang makin karam dalam depresinya menghadapi perselingkuhan sang suami. Pada suatu malam sang ibu tetapkan untuk melaksanakan tindakan absurd dengan memotong penis sang suami, tapi usahanya gagal sesudah sang suami terbangun sebelum ia sempat melaksanakan aksinya tersebut. Kegagalan tersebut tidak membuatnya "menyerah" alasannya hal berikutnya yang ia lakukan ialah masuk ke kamar anaknya (Seo Young-joo) yang gres saja bermasturbasi untuk memotong penis sang anak. Kali ini usahanya berhasil, bahkan ketika sang suami memergoki perbuatannya tersebut ia menentukan mengunyah penis anaknya. Kini sang ayah giliran yang dirundung rasa bersalah dan mencoba segala cara untuk membantu sang anak biar bisa menerima kepuasan seksual meski sudah tidak mempunyai alat kelamin dan mencari cara untuk memperbaiki keganjilan putera tunggalnya tersebut. Sepotong sinopsis yang sudah cukup sinting itu masih belum menggambarkan kegilaan Moebius secara menyeluruh, jadi percayalah kalau film terbaru Kim Ki-duk ini tidak akan gampang dinikmati khususnya bagi anda yang "berperut lemah."

Sudah bukan menjadi diam-diam lagi kalau film Kim Ki-duk penuh kegilaan grafis yang vulgar dan dikemas dengan suasana sepi yang minim dialog. Namun lewat Moebius beliau benar-benar mendorong segala batasan tersebut hingga ke tingkat yang paling ekstrim. Poin minim obrolan makin dikuatkan disini alasannya Moebius sama sekali tidak mempunyai obrolan verbal dalam hampir satu setengah jam filmnya. Yang keluar dari verbal pemainnya hanya erangan atau teriakan yang itupun masih dalam taraf yang begitu minim. Film ini benar-benar tampil dengan bermodalkan sajian visual didukung dengan ekspresi serta gestur para pemainnya. Ketiadaan obrolan dalam film ini memang di beberapa potongan sedikit terasa dipaksakan namun secara keseluruhan Moebius berhasil bertutur murni dengan aspek visualnya. Membuat penonton harus lebih banyak berpikir untuk mencerna beberapa tindakan karaternya memang namun langkah ini bukannya tanpa maksud berarti dan hanya untuk gimmick. Namun jangan khawatir filmnya akan terasa membosankan tanpa dialog, alasannya alih-alih membosankan, visualisasi dari Kim Ki-duk justru menciptakan film ini terasa gila, disturbing dan tidak akan nyaman untuk ditonton. Seperti yang sudah saya singgung, grafis vulgar yang sudah menjadi trade mark sang sutradara semakin dibawa melampaui batasan disini.
Penonton akan dibentuk meringis, ngilu bahkan mual melihat banyak sekali kegilaan dalam film ini. Dalam sinopsis diatas saya sudah menuliskan wacana pemotongan penis namun itu masih belum mewakili sebagain besar kegilaan Moebius. Bahkan pemotongan penis tidak terjadi hanya sekali saja di film ini. Akan ada lebih banyak lagi adegan menyakitkan dalam film ini termasuk pada momen dimana sang ayah berusaha membantu anaknya untuk mencari kepuasan seksual meski tidak lagi mempunyai alat kelamin. Namun Moebius tidaklah asal pamer kebrutalan dan tidak hanya berusaha sebanyak mungkin menampilkan penis yang terpotong, alasannya semua itu sangat berkhasiat sebagai pembangun atmosfer dan karaterisasi dalam film ini. Seperti biasa kisah dalam film Kim Ki-duk niscaya mengeksplorasi sisi tergelap dalam kepribadian insan dan imbas depresif yang bisa terjadi akhir sebuah bencana yang menimpa seseorang.  Grafis vulgar yang dimiliki oleh Moebius sangat berkhasiat untuk membangun hal tersebut. Bagaimana beberapa bencana sanggup berujung pada perbuatan absurd yang tidak terbayangkan dimana kegilaan tersebut dipicu oleh rasa depresif dalam diri seseorang benar-benar dieksplorasi disini. Merasa semuanya kelewatan absurd dan tidak realistis? Jangan salah, alasannya apa yang tersaji dalam Moebius ialah sangat mungkin terjadi di sekitar kita. Siapa yang tahu kegelapan terpendam pada diri seseorang?

Jika Pietai mengeksplorasi korelasi ibu dan anak, maka Moebius lebih berfokus pada korelasi ayah dan anak. Bagaimana seorang ayah yang merasa bersalah terhadap anaknya dan bersedia melaksanakan apapun bahkan mendapatkan perlakuan menyerupai apapun dari sang anak alasannya rasa bersalah tersebut. Kita akan diajak melihat hal apa yang bisa menyatukan seorang ayah dengan anak laki-lakinya. Jika korelasi ibu dan anak laki-laki terjalin alasannya rasa sayang terhadap darah daging sendiri, maka tanpa mengesampingkan faktor tersebut korelasi ayah dan puteranya biasanya akan didekatkan oleh fakta bahwa keduanya ialah sama-sama pria. Sang ayah yang tahu bahwa kebutuhan utama seorang laki-laki ialah kepuasan seksual lewat kelaminnya tentu mencicipi kepedihan luar biasa ketika putera tunggalnya kesulitan menerima kepuasan tersebut dan pada alhasil bersedia melaksanakan apapun untuk membantu sang putera. Dibalik korelasi ayah dan anak ini juga ialah kisah wacana sebuah penebusan dosa yang dilakukan seseorang. Mungkin menyerupai dengan apa yang ditampilkan Kim Ki-duk lewat Samaritan Girl.  Cho Jae-hyun sebagai sosok ayah tampil luar biasa sendiri dan mengingatkan saya lagi kenapa beliau menjadi pemain film kesayangan sang sutradara berkat kemampuannya mewujudkan visi Kim dengan sempurna. Hanya bermodalkan ekspresi, beliau sanggup mengatakan kegetiran, kemarahan dan kesedihan luar biasa bahkan rasa sayang yang begitu mendalam terhadap puteranya. Saya benar-benar dibentuk mencicipi seberapa dalam rasa sayang aksara ayah di film ini pada anaknya lewat tatapan mata dan ekspresi Cho Jae-hyun.

Seperti biasa Kim Ki-duk juga memasukkan unsur kepercayaan Buddha dalam ceritanya. Ada kisah wacana eksekusi alam dan perputaran yang terjadi dalam kehidupan di film ini. Kejadian atau perbuatan apapun akan menimbulkan perbuatan lainnya dan akan mendapatkan tanggapan yang setimpal. Karena intinya semua itu akan terus berputar dalam hidup ini. Hal itu juga yang ditampilkan oleh ending film ini. Bicara wacana ending saya bahu-membahu agak kecewa dengan apa yang Kim Ki-duk tampilkan disini. Pertama itu ialah sebuah konklusi yang bisa dibilang sudah sering ia pakai dalam film-filmnya menyerupai Time. Kedua, impact yang diberikan tidaklah sekuat yang dimiliki oleh film-film Kim Ki-duk dengan ending terbaik macam Pieta dan The Isle. Namun secara keseluruhan Moebius ialah perjalanan absurd yang luar biasa dari Kim Ki-duk. Moebius mengingatkan saya akan karya-karya sang sutradara di awal karirnya yang brutal, vulgar dan absurd namun menempati posisi-posisi atas dalam film Kim Ki-duk favorit saya. Kembalinya Cho Jae-hyun juga makin menguatkan perasaan tersebut. Namun tidak hanya Cho Jae-hyun yang tampil apik, Lee Eun-woo yang tampil absurd baik sebagai istri maupun perempuan selingkuhan juga luar biasa. Begitu pula Seo Young-joo sebagai anak yang tersiksa dalam kondisinya. Setiap insan mungkin berbeda, namun kalau sudah berbicara problem hasrat seksual perbedaan--perbedaan tersebut nampak semakin kabur, dan Moebius terasa begitu berpengaruh memaparkan hal tersebut.

Artikel Terkait

Ini Lho Moebius (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email

1 comments:

December 31, 2021 at 2:20 AM delete

Tp saya salfok dgn salah satu pemerannya ,,, menurut saya mengganggu banget

Reply
avatar