Saturday, January 12, 2019

Ini Lho The Wolverine (2013)

Siapakah sosok pemain film yang paling lekat dengan abjad superhero yang ia mainkan? Dengan keberhasilan Marvel Cinematic Universe menguasai jagad perfilman superhero mungkin banyak orang yang akan impulsif menjawab Robert Downey Jr. Sebuah tanggapan yang masuk akal mengingat sosoknya memang begitu tepat sebagai Tony Stark dan sudah muncul di empat film dalam jangka waktu lima tahun terakhir. Tapi bagi saya Hugh Jackman masihlah sosok paling ikonis dalam memerankan sosok superhero, ditambah lagi beliau begitu menyayangi dunia komik itu sendiri. Total Hugh Jackman telah memerankan Wolverine dalam tujuh film (menghitung cameo di First Class dan kemunculannya di Day of Future Past tahun depan) yang merupakan jumlah film superhero terbanyak yang pernah diperankan seorang aktor. Hugh Jackman yang begitu menyayangi sosok Wolverine menyadari bahwa abjad ini layak mendapat sebuah standalone film yang bagus. Sayangnya perjuangan pertama lewat X-Men Origins: Wolverine berujung kekecewaan disaat kualitas filmnya berantakan. Masih belum menyerah, maka dibuatlah The Wolverine yang seolah ingin menghapuskan X-Men Origins dari ingatan para penontonnya. Sempat akan disutradarai oleh Darren Aronofsky, film ini risikonya dinahkodai oleh James Mangold (Walk the Line, Knight & Day). Akankah Wolverine risikonya mendapat film yang layak?

Setelah insiden dalam X-men: The Last Stand yang tidak hanya ingin dilupakan oleh Logan tapi juga oleh banyak penonton filmnya, Logan sekarang hidup sendirian dalam pengasingan. Dia masih merasa bersalah terhadap apa yang ia lakukan, bahkan dalam mimpi pun bayangan Jean Grey masih sering mendatanginya. Suatu hari seorang mutan perempuan berjulukan Yukio (Rila Fukushima) mendatangi Logan dan memintanya untuk ikut ke Jepang guna menemui sang master. Sang master yang dimaksud ialah Yashida (Haruhiko Yamanouchi) CEO perusahaan terbesar di Asia yang dulu sempa diselamatkan nyawanya oleh Logan pada dikala terjadi pemboman di Nagasaki. Saat itu Yashida tengah sekarat dan meminta Logan untuk melindungi cucunya, Mariko (Tao Okamoto) yang disebut akan menjadi pewaris kekayaan Yashida. Namun Logan sama sekali tidak menerka bahwa kedatangannya menemui sang mitra usang akan berujung pada petualangan penuh ancaman yang melibatkan Yakuza dan sekumpulan ninja misterius yang tidak kalah mematikan. Namun tidak hanya berusaha menyelamatkan Mariko saja yang harus Logan lakukan di Jepang, alasannya ialah ia sendiri tengah bergulat untuk melawan stress berat serta banyak sekali pertanyaan akan eksistensi dirinya yang abadi.

Tidak pernah saya menyangka bahwa film yang menampilkan sosok Wolverine akan mengambil jalur menyerupai yang diambil The Wolverine. Alih-alih tampil sebagai sebuah hidangan blockbuster musim panas yang mengumbar begitu banyak adegan agresi bombastis, film yang naskahnya ditulis oleh Christopher McQuarrie, Mark Bomback dan Scott Frank justu cukup banyak menitik beratkan pada porsi drama. Kisahnya banyak berkonsentrasi pada stress berat yang dialami oleh Logan pasca tamat hidup Jean Grey serta pertanyaan yang timbul di pikirannya mengenai keabadian yang ia miliki. Dalam The Wolverine, Logan bukan saja menjadi sosom Wolverine yang brutal tapi lebih kepada sesosok mutan yang tengah mengalami kegundahan. Alhasil ceritanya lebih banyak berada di seputaran halusinasinya mengenai sosok Jean Grey ataupun petualangannya mencari makna kehidupan abadi. Mungkin porsi drama yang ditampilkan tidaklah sekuat apa yang muncul dalam Batman Begins misalnya, namun setidaknya film ini sudah cukup baik menggambarkan sisi insan yang kelam dari sosok Wolverine yang selama ini dikenal sebagai binatang buas. 
Penonton yang berkekspektasi melihat film dengan porsi adegan agresi melimpah serta sosok Wolverine yang badass mungkin akan dikecewakan oleh film ini. Selain porsi dramanya yang lebih banyak, film ini juga mengatakan pada kita bagaimana jadinya jikalau Wolverine berada dalam kondisi yang ringkih baik itu fisik ataupun mental. Tidak hanya stress berat saja yang menjadi penghalang Logan, alasannya ialah disini kita juga akan melihat Wolverine yang lemah secara fisik disaat kemampuannya menyembuhkan diri menghilang meski tidak secara permanen. Jangankan untuk menjadi sosok buas yang tidak terkalahkan, untuk bertarung melawan musuh-musuh biasa pun Logan harus bersusah payah disini. Namun justru disitulah kelebihan utama The Wolverine yang menciptakan saya tetap tertarik mengikuti kisahnya meski jalinan ceritanya terasa biasa saja. Bicara soal sosok superhero yang kehilangan kekuatan, The Wolverine sanggup menggambarkan aspek tersebut dengan baik dimana Logan memang benar-benar terlihat ringkih disini. Bandingkan dengan sosok Alice dalam Resident Evil contohnya yang sempat dikisahkan kehilangan kekuatan tapi masih terasa untouchable. Disini Logan benar-benar dieksploitasi sisi manusianya yang begitu rapuh.

Adegan aksinya memang tidak terlalu maksimal baik ditinjau dari segi kuantitas maupun kualitas. Dari beberpa adegan agresi tidak kesemuanya berhasil terasa dimaksimalkan. Bagian klimaksnya terasa biasa saja meski sudah menampilkan sosok Silver Samurai yang notabene merupakan salah satu musuh paling berbahaya bagi Wolverine. Namun sebuah adegan diatas kereta api yang melaju kencang itu menjadi salah satu favorit saya. Adegan tersebut berhasil dihukum oleh James Mangold dengan tensi yang terus terjaga serta tidak pernah melupakan style yang terlihat keren. Adegan diatas kereta api tersebut bahkan bisa lebih keren dibandingkan adegan agresi manapun dalam film-film Iron Man. Tentu saja banyak sekali kelebihan diatas tidak akan maksimal jikalau tidak ada sosok Hugh Jackman disini. Tiga belas tahun sudah ia memerankan Wolverine dan sekarang ia sudah semakin menyatu dengan abjad itu. Entah dalam action sewuence maupun drama ia berhasil menjalankan tugasnya dengan amat baik. Pada risikonya perjuangan keras Hugh Jackman terbayar lunas disini. Wolverine telah mendapat filmnya yang layak. Sebuah tontonan yang tidak ragu mengorbankan porsi adegan agresi demi eksplorasi abjad yang lebih mendalam, atmosfer yang lebih kelam, serta suasana dan budbahasa Jepang yang cukup menonjol merupakan beberapa faktor yang menciptakan The Wolverine terasa begitu memuaskan. Lewat film ini pula saya kembali teringat bahwa Wolverine juga manusia, sama halnya dengan mutan yang bergotong-royong juga merupakan manusia. Jangan lupakan juga post-credit scene yang akan menjadi penghubung antara film ini, trilogi orisinil X-men, serta X-Men: First Class.
 

Artikel Terkait

Ini Lho The Wolverine (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email