Saturday, January 12, 2019

Ini Lho Soekarno (2013)

Saya mungkin bukanlah penggemar karya-karya Hanung Bramantyo yang bagi saya secara kualitas sangat fluktuatif. Kadang-kadang filmnya bisa begitu baik menyerupai ? atau Sang Pencerah  atau masuk kategori tidak mengecewakan menyerupai Perahu Kertas, tapi beberapa kali juga mengecewakan macam Ayat-Ayat Cinta dan Perahu Kertas 2. Tapi setidaknya saya sepakat bahwa Hanung yaitu satu dari sedikit sutradara Indonesia yang masih bisa menyeimbangkan antara kualitas dan komersialitas dalam film-filmnya meski acapkali mengundang kontroversi. Kali ini Hanung kembali lagi menciptakan sebuah biopic sehabis kesuksesan Sang Pencerah di tahun 2010 lalu. Kali ini proyeknya lebih besar dan lebih ambisius alasannya mengangkat kisah hidup seorang Soekarno yang notabene yaitu Presiden pertama Indonesia sekaligus sosok dibalik proklamasi bersama Hatta. Filmnya sendiri sempat menerima kritikan dari Rachmawati, puteri Soekarno sebelum masa perilisan. Sempat terjadi ketidak setujuan dari pihak Rachmawati mengenai penggambaran sosok ayahnya dan pemilihan Ario Bayu sebagai sosok Soekarno alasannya ia lebih menyukai Anjasmara memerankan ayahnya. Ya, nampaknya bukan film Hanung namanya kalau tidak lepas dari kontroversi. Namun saya sendiri tidak mempedulikan segala kontroversi tersebut. Asalkan filmnya bagus, tidak peduli seberapa kontroversialnya saya akan tetap menyukai film tersebut.

Di bab awal kita akan diajak mengenali sosok Soekarno kecil (Emir Mahira) yang mulai mempelajari banyak hal mulai dari menjadi seorang orator, nasionalis yang membenci penjajah hingga tentu saja penakluk hati perempuan yang begitu ulung. Di masa dewasanya, Soekarno (Ario Bayu) mulai menapaki karirnya di dunia politik yang terus mengajak rakyat untuk tidak takut terhadap para penjajah dimana hal tersebut membuatnya mulai dianggap membahayakan oleh pihak Belanda. Soekarno pun mulai dijebloskan ke penjara bahkan sempat menjalani masa pengasingan. Namun menyerupai yang kita tahu usaha Soekarno tidak pernah berhenti bahkan hingga pada masa disaat penjajahan Jepang mengambil alih Indonesia. Bersama banyak sekali tokoh khususnya Hatta (Lukman Sardi) Soekarno tetap terus berjuang dengan caranya meski menerima saingan dari banyak perjaka termasuk Sjahrir (Tanta Ginting) yang menganggap cara Soekarno terlalu lembek dan penakut. Namun disamping usaha meraih kemerdakaan kita akan cukup banyak diajak untuk melihat kehidupan romansa Bung Karno dimana sehabis menikah bertahun-tahun dengan Inggit (Maudy Koesnaedi) ia mulai terpikat pada muridnya sendiri, Fatmawati (Tika Bravani).

Tidak gampang memang mengangkat kehidupan tokoh sebesar Bung Karno. Hidupnya bagaikan terbagi menjadi dua bagian, satu sebagai seorang orator dan pimpinan usaha Indonesia menuju kemerdekaan sedangkan satunya lagi yaitu sesosok laki-laki yang jago mengambil hati perempuan dan memiliki banyak istri. Disini Hanung nampak mencoba menyeimbangkan kedua aspek tersebut meski pada jadinya terlihat lebih banyak berfokus pada bab kehidupan Soekarno dengan wanita-wanita di sekitarnya. Jika dihitung-hitung, maka 2/3 bab awal lebih berfokus pada hal tersebut, barulah ketika Fatmawati telah resmi menjadi istrinya 1/3 bab diisi dengan proses menuju proklamasi. Tentu saja ini bukan pilihan yang salah mengingat keduanya tetaplah sama-sama sisi dari seorang Soekarno yang menarik untuk diangkat dan diketahui oleh para penonton. Sedangkan untuk pengemasannya menyerupai yang dituturkan oleh Hanung bahwa film ini memang ditujukan pada para perjaka dibandingkan para andal sejarah dan pada jadinya menciptakan Soekarno memang terasa condong kearah selera pasar. Lagi-lagi sayapun tidak mempermasalahkan hal tersebut. Tidak problem sebuah biopic ditujukan sebagai sebuah film hiburan asalkan tetap bisa menggambarkan sosok yang difilmkan dengan tepat. Sayangnya pada bab ini ada yang dilewatkan oleh film Soekarno.
Sosok Soekarno sebagai seorang womanizer memang tergambarkan dengan tepat entah itu lewat ceritanya maupun lewat penampilan Ario Bayu. Namun sosok Soekarno sebagai orator handal, dan pemimpin yang ditakuti serta disegani lawan sekaligus dicintai rakyatnya kurang terlihat. Bukan, semua itu bukan alasannya akting Ario Bayu alasannya berdasarkan saya ia sudah berusaha semaksimal mungkin. Hal tersebut terjadi alasannya memang porsi yang diberikan oleh naskahnya untuk mengeksplorasi hal tersebut begitu minim. Berbagai momen menyerupai ketika Soekarno berorasi, ketika sedang menyusun seni administrasi melawan penjajah ataupun disaat tengah berkonfrontasi dengan para penjajah tidak bisa menghidupkan kesan Soekarno yang saya sebutkan diatas. Tidak ada adegan yang cukup menggigit untuk mengangkat hal tersebut dan jadinya semuanya "dikalahkan" oleh momen Soekarno sebagai seorang pemikat hati wanita. Sungguh disayangkan mengingat film ini diperlukan bisa mengingatkan lagi para perjaka zaman kini akan sosok bapak prokalamator kita tersebut. Andai saja Soekarno bukanlah sosok dengan imej berpengaruh sebagai seorang pemimpin bangsa mungkin saja para penonton bisa salah menangkap perihal karakternya.

Sedangkan kalau bicara problem teknis bergotong-royong Soekarno cukup tergarap dengan baik termasuk set lokasinya yang cukup meyakinkan. Meski beberapa konfliknya terasa kurang maksimal dan terburu-buru, durasinya yang diatas 2 jam juga tidaklah terlalu melelahkan berkat penuturan Hanung yang cukup akrab meski bukan hasil penyutradaraannya yang terbaik. Yang kurang mengena yaitu bab scoring-nya yang juga dipadukan dengan beberapa lagu nasional yang sayangnya kurang bisa membangun suasana. Bahkan di beberapa momen penting yang diperlukan bisa menggetarkan perasaan penonton musiknya kurang berhasil membangun suasana. Beberapa detil lain yang menciptakan saya terganggu yaitu berkenaan dengan banyaknya figuran yang mengganggu adegan alasannya senyum atau tawa yang mereka munculkan. Sebagai referensi ketika Soekarno berpidato pertama kalinya dan menjadikan amarah Belanda yang mencoba menangkapnya di sudut gambar yang penting, figuran yang ada malah tertawa-tawa. Tentu saja hal tersebut mengganggu esensi dan suasana adegan. Pada jadinya Soekarno terang bukan karya terbaik Hanung dan masih berada satu kelas dibawah Sang Pencerah  yang merupakan biopic lain karyanya. Penggambaran Soekarno juga terasa kurang memuaskan. Namun setidaknya masih sebuah tontonan yang bisa dinikmati dan sesekali menciptakan rasa kecintaan akan Indonesia muncul khususnya di bab akhir. Sayangnya momen proklamasi dikemas dengan jalan yang terlalu aman. Yah, merekonstruksi momen ikonis nan bersejarah memang bukan kasus mudah.

Artikel Terkait

Ini Lho Soekarno (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email