Sunday, January 6, 2019

Ini Lho The Girlfriend Experience (2009)

Hampir semua orang khususnya kaum adam mengenal nama Sasha Grey (If you're a man but you don't know her, there must be something wrong with you). Wanita berjulukan orisinil Marina Ann Hantiz ini sudah menjadi aktris porno sejak usianya gres menginjak 18 tahun. Tidak hanya itu, keberaniannya beradegan hardcore juga menyebabkan nama Sasha Grey ada di daftar bintang porno paling tenar. Dianggap sebagai "the next Jenna Jamesson", Grey balasannya pensiun pada tahun 2011 dan menentukan berkarir pada dunia hiburan mainstream mulai dari film, model, menulis buku, hingga bermusik. Film pertama yang menampilkan sosoknya sebagai abjad utama ialah drama eksperimental garapan Steven Soderbergh ini. Soderbergh terang tidak abnormal dengan eksperimen, dan kali ini ia bereksperimen lewat plot filmnya. The Girlfriend Experience pada dasarnya boleh disebut tidak mempunyai plot, tapi itu tergantung definisi plot apa yang anda anut. Yang niscaya film ini berjalan secara non-linier, serta tidak punya formula pengenalan-konflik-resolusi ibarat drama pada umumnya.

Film ini membawa kita pada kehidupan Christine (Sasha Grey) yang bekerja sebagai escort. Bagi yang belum tahu, itu ialah pekerjaan untuk menjadi pacar sementara bagi kliennya. Menggunakan nama alias "Chelsea", Christine bersedia melaksanakan apapun mulai bekerjasama seks, makan malam, nonton film, atau sekedar ngobrol berdua selama berjam-jam. Mayoritas film ini hanya menunjukkan interaksi Christine dengan banyak sekali macam klien. Kehidupan pribadinya pun unik, alasannya ialah tidak ibarat kebanyakan escort, Christine mempunyai pacar sungguhan, seorang pelatih gym berjulukan Chris (Chris Santos). Keseharian Christine dengan klien, keseharian Christine dengan Chris, keseharian Chris, hingga proses penulisan buku Christine ialah apa yang ditawarkan oleh "plot" film ini. Tidak ada fokus konflik utama yang dikhususkan, alasannya ialah konflik pada film ini ialah "kehidupan Chrstine". Alurnya berjalan acak dan amat liar. Berpadu dengan editing cepat ala Soderbergh, filmnya bergerak maju-mundur dari A, ke B, ke C, kemudian kembali ke A, melompat ke D, dan seterusnya.

Pada awalnya akan terasa memusingkan untuk menyusun kronologinya. Untuk menyusun penggalan puzzle yang seenaknya disebar oleh Soderbergh butuh ketelitian dan konsentrasi. Editing cepat sang sutradara makin menciptakan alurnya semakin liar, tanpa ada transisi yang memudahkan penonton mengolah ceritanya. Tapi tidak butuh usang bagi kesan rumit itu bermetamorfosis adiktif. Jika dikemas secara normal, film ini hanya akan berakhir sebagai suatu drama bertempo lambat yang gloomy, tapi dengan pengemasan ini, alurnya jadi terasa dinamis meski sesungguhnya penuh kesunyian. Bahkan tidak jarang muncul kejutan perihal banyak hal, mulai dari identitas abjad hingga fakta dari suatu kejadian. Terlebih lagi hal ini menggambarkan dengan tepat begitu kacau sekaligus liarnya perasaan sang abjad utama. The Girlfriend Experience memang menghadirkan suatu experience unik berkaitan dengan style. Sebuah film stylish yang uniknya justru dibentuk dengan bujet minim plus kamera murah. Experimental drama at it's best.
Tapi ini bukan sekedar keberhasilan di ranah gaya. Terkesan "memuja" penggunaan voice over, film ini berpotensi menjadi sajian emotionless, apalagi banyak kesunyian dan ekspresi datar abjad yang karam dalam diam. Namun sebaliknya, ini ialah eksplorasi humanisme yang luar biasa. Karakternya menyimpan penderitaan dalam situasi dunia yang sedang penuh derita, dimana Soderbergh menyelipkan unsur krisis ekonomi tahun 2008 disini. Hal itu menjelaskan bagaimana semua sosok yang hadir terjebak dalam kesulitan bahkan depresi. Ada kesedihan yang tersirat pelan maupun tersurat dalam teriakan. Film yang pilu tapi terkesan mewah ibarat bagaimana Christine melabeli dirinya sebagai escort. Film ini punya unsur seksual kuat, tapi terang bukan perihal seks. Terbukti dari lebih banyaknya kita melihat Christine bicara dengan klien daripada bekerjasama seks. Ada hasrat dan kebutuhan, tapi bukan seksual, melainkan teman. Teman untuk berbagi, sobat untuk meluapkan segala penat ketika kondisi hidup carut marut. Setting krisis ekonominya pun terasa begitu sempurna. 
Naskah yang ditulis Brian Koppelman dan David Levien ini sesungguhnya layak menjadi pembiasaan lepas dari kehidupan Sasha Grey sendiri. Seorang perempuan muda yang terjun dalam industri berbasis seksual yang keras, tapi punya cara pandang unik akan industri tersebut. Bagi abjad Christine, hal itu nampak pada pilihannya untuk menjalani kekerabatan berkomitmen. Christine menjual kepalsuan sebagai pacar, sama ibarat Grey menjual kepalsuan kenikmatan seksual yang terlihat dalam film porno. Industri porno dan girlfriend experience punya kesamaan, dimana keduanya sama-sama menjual suatu kekerabatan dua arah sebagai hal satu arah. Porno menawarkan kenikmatan seksual pada penonton yang "tertipu" oleh akting penuh gairah sang aktris. Padahal tidak jarang ia menderita. Sedangkan GFE menawarkan kepuasan menjalani hubungan, seolah sang klien menjalani kekerabatan dua arah dimana mereka menyebarkan dengan pasangan. Tapi sesungguhnya itu hampa, palsu. Klien bahagia, tapi bagaimana dengan sang escort? Tidak lebih dari sekedar uang dan kekhawatiran bahwa ia akan kalah bersaing dengan perempuan lain.
Lalu apa jadinya kalau dalam dua industri tersebut sang pelaku dalam hal ini si perempuan mencampurkan perasaan pribadi? Jawabannya ialah penderitaan, sakit hati, kekecewaan. The Girlfriend Experience adalah eksplorasi mendalam perihal seseorang yang hidup dengan topeng, mengurung sosok aslinya dalam tembok baja besar lengan berkuasa yang tak dapat dibuka. Hal yang membuatnya stay in business, tapi juga membuatnya menderita disaat bersamaan. Tentu saja Sasha Grey tepat sebagai Christine, alasannya ialah ia tidak jauh beda dari memerankan dirinya sendiri. Saat harus berurusan dengan monolog panjang mungkin beliau kewalahan, tapi itu terbantu dengan gaya Soderbergh yang lebih banyak menyoroti Christne ketika terdiam, lewat siluet, atau dari sudut kamera lain yang tidak secara eksklusif menyoroti wajahnya. Pada ketika itulah pesona Grey tak dapat ditolak. Ekspresi dinginnya mencengkeram. Disaat harus mengeluarkan kesedihan (ada dua momen) pun ia ibarat tengah berkatarsis, menjadikannya terasa dalam. Christine bukan escort biasa, sama ibarat Grey. She's not your typical porn actress. Dia arif sekaligus punya imej yang jauh lebih humanis daripada bintang porno kebanyakan. Inilah bentuk casting sempurna.

Penuh ironi melihat sosok Christine yang bertugas menemani klien, menciptakan mereka tidak lagi duka dan tidak merasa kesepian tapi sejatinya justru hal-hal itulah yang dirasakan Christine. Cinta pun jadi sesuatu yang membingungkan disini. Mungkin itulah yang melandasi penggunaan tanda bintang dalam tagline posternya yang berbunyi "See it with someone you ****".  Film ini ialah drama yang langka alasannya ialah menghadirkan emosinya secara tersirat. Melewatkannya, maka anda akan menemukan film ini tidak lebih sebagai drama yang hirau taacuh tanpa emosi. Tapi sebaliknya, kalau anda berhasil tertangkap sedikit saja oleh ketersiratan itu, The Gilrfriend Experience akan menjadi sebuah kesunyian hirau taacuh yang emosional dan amat menggigit. Jika hal kedua yang terjadi, maka simpati besar lengan berkuasa akan anda rasakan. Bukan hanya pada Christine, tapi pada Sasha Grey sendiri. Makara jangan heran kalau sehabis menonton film ini (dan menyukainya) anda akan tertarik untuk mencari tahu lebih banyak perihal sang mantan aktris porno itu. Pengemasan eksperimentalnya terang menciptakan film ini akan membelah penonton menjadi dua. You're gonna love it or hate it...and I love it. 

Artikel Terkait

Ini Lho The Girlfriend Experience (2009)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email