Meir Zarchi menciptakan film ini tampaknya memang bukan menempatkan uang sebagai tujuan utamanya, melainkan murni membalaskan dendam perempuan korban pelecehan seksual yang beliau tolong dulu. FYI ide Zarchi menciptakan film ini tiba dari pengalaman disaat beliau dan kerabatnya menemukan seorang perempuan korban pelecehan seksual sedang merangkak keluar dari semak-semak dalam kondisi telanjang, penuh luka dan sangat lemah dengan rahang yang patah. Dia dan kerabatnya kemudian membawa perempuan tersebut ke kantor polisi dimana disana bukannya dukungan yang diberikan tapi polisi-polisi tersebut malah memberondong sang perempuan dengan aneka macam pertanyaan. Lewat pengalaman itulah Meir Zarchi bertekad membalas dendam sang perempuan dengan membunuh para pemerkosanya lewat film ini.
Jennifer (Camille Keaton) ialah seorang penulis novel yang sedang menulis novel pertamanya di sebuah rumah di pinggir danau untuk mencari inspirasi. Malang baginya, kecantikan dan keseksian yang diperlihatkannya disana menciptakan empat orang laki-laki lokal terpengaruhi untuk menikmati badan Jennifer. Terjadilah pelecehan seksual secara brutal yang menciptakan Jennifer terluka lahir batin. Luka tersebut menciptakan Jennifer bertekad balas dendam dengan membunuh empat laki-laki tersebut.
Tentu saja yang paling saya tunggu ialah adegan pelecehan seksual yang sudah menjadikan aneka macam kontroversi tersebut. Memang adegan itu diperlihatkan dengan tidak mengecewakan vulgar dan brutal (walaupun tidak separah dugaan saya tapi dimasa itu sudah sangat parah). Sungguh, adegan pelecehan seksual itu bukanlah adegan yang bisa menciptakan para laki-laki melotot menikmati adegan seksual yang seksi. Perasaan itu secara alamiah mungkin akan sedikit muncul tapi yang paling mayoritas tentunya rasa murka terhadap para pemerkosa Jennifer yang begitu keji dan brutal tanpa rasa belas kasihan sedikitpun memperkosa bahkan mencoba membunuh Jennifer.
Tapi sayangnya adegan balas dendam Jennifer saya rasa masih terlalu minim perasaan murka dan dendam yang terkandung. Oke, mungkin dengan segala keterbatasan kemampuan mendirect, sulit bagi Zarchi memasukkan emosi yang nyata, tapi setidaknya masukkan adegan yang lebih brutal dalam pembunuhan itu. Karena yang saya rasakan malah adegan balas dendam itu masih tidak lebih brutal dibanding adegan pemerkosaannya. Yang saya rasakan malah "Apa cuma segini perasaan murka yang dirasakan Zarchi? Padahal kemarahan itu hingga menginspirasi beliau menciptakan film, harusnya lebih terasa lagi kemarahan yang disalurkan. Apakah beliau terlalu putus asa alasannya ialah ternyata menciptakan film jauh lebih sulit dari yang beliau duga sehingga rasa murka itu tertutup oleh frustasi?"
Dari segi teknis film ini memang tidak mengecewakan kacau dengan pengambilan gambar yang seadanya, adegan non-pemerkosaan atau non-pembunuhan yang sangat tidak artistik dan membosankan, hingga akting yang begitu kurang menciptakan film ini rasanya begitu kacau sehingga saya merasa rasa murka Zarchi sudah tertutup oleh rasa frustasinya dalam menciptakan film ini. Bahkan Roger Ebert "menganugerahi" film ini sebagai film terburuk yang pernah beliau lihat. Tapi setidaknya film ini ialah film yang dibentuk murni alasannya ialah rasa peduli dari sang sutradara dan bukannya mencoba menjaring laba lewat adegan pelecehan seksual yang dieksploitasi. Film ini juga punya adegan memorable,apalagi jikalau bukan adegan pemotongan kelamin yang dilakukan Jennifer.
RATING:
Ini Lho I Spit On Your Grave (1978)
4/
5
Oleh
news flash