Thursday, January 31, 2019

Ini Lho Π (Pi) (1998)

Semua orang yang pernah mencar ilmu matematika niscaya tahu dan mengenal Pi atau π  yang dikenal mempunyai nilai 22/7 atau 3,14. Pi juga dikenal sebagai formasi bilangan yang mempunyai banyak sekali keunikan kalau tidak bisa disebut keanehan. Kata "magis" mungkin bisa menjadi perlambang bagi bilangan ini sebab begitu banyak kecacatan dan keunikan yang hingga kini masih diteliti. Tapi matematika tetaplah matematika yang hanya menarik bagi orang yang menggemarinya dan menekuninya saja yang mana jumlahnya tidak sebanyak orang yang tidak menyukainya. Tapi ditangan seorang Darren Aronofsky yang melaksanakan debutnya melalui film ini, matematika dan bilangan Pi bisa diubah menjadi sebuah thriller yang jauh dari kesan membosankan.

Max Cohen (Sean Gullette) merupakan seorang jenius di bidang matematika yang terobsesi akan sebuah teori yang menyatakan bahwa semua hal di alam semesta ini sanggup dihubungkan dengan angka-angka dan rumus matematika. Max memang jenius. Bayangkan saja, beliau bisa menghitung perkalian dan pembagian tiga digit angka tanpa memakai calculator dan hanya dalam waktu beberapa detik saja. Tapi dibalik kejeniusan itu Max yaitu orang yang tersiksa. Dia sering menderita sebuah serangan sakit kepala yang luar biasa yang seringkali mengantarkan Max pada sebuah halusinasi. Max juga bukan orang yang pandai dan suka bersosialisasi. Dia hanya betah mengutak-atik angka-angka lewat super komputer yang beliau rakit di kamarnya.

Max yang makin yakin bahwa jikalau alam semesta mempunyai referensi dan keteraturan maka hal-hal didalamnya juga niscaya mempunyai referensi berusaha menebak arah pasar saham dengan memakai angka-angka tersebut. Sampai komputer Max justru memunculkan angka berjumlah 216 digit yang tidak beraturan. Max yang awalnya menduga itu yaitu akhir kerusakan komputernya terkejut dikala mengetahui angka-angka tersebut sama dengan hasil pasar saham yang keluar esok harinya. Kemampuan Max yang sanggup memprediksi angka-angka tersebut membuatnya diperebutkan dua pihak. Yang pertama yaitu sekumpulan pemain Wall Street yang meminta pemberian Max semoga bisa mengontrol arah saham, dan yang satu lagi yaitu sekelompk Rahib Yahudi yang meyakini bahwa 216 digit angka tersebut yaitu sebuah arahan dan pesan dari Tuhan.
Sekali lagi Aronofsky menampilkan tokoh yang sesungguhnya termasuk golongan orang Istimewa tapi tersiksa mentalnya. Ingat dua film terakhirnya yang menampilkan jago gulat yang kesepian dan andal balet yang sering mengalami halusinasi? Max Cohen dalam film ini lebih kearah Nina Sayers dalam "Black Swan" yang sering mengalami halusinasi dan paranoid yang menciptakan hidupnya sendiri terancam. Hal itulah yang menciptakan kita sebagai penonton sekali lagi harus ikut dalam permainan tebak menebak mana yang aktual dan mana yang mimpi yang diberikan Aronofsky. Bedanya, apakah sebuah tragedi itu aktual atau mimpi dalam film ini tidaklah terlalu berdampak bagi jalannya dongeng layaknya "Blac Swan". Mimpi yang dihadirkan lebih kearah bahasa metafora bagi jalan dongeng atau bagi kondisi Max sendiri. Yak, Darren Aronofsky memakai teknik "Lynchian" dalam debut filmnya ini.

Aronofsky dengan cerdasnya menampilkan aneka macam macam teori dan konsep-konsep matematika tanpa perlu terlihat njelimet dan memusingkan. Semuanya disajikan dengan cara yang gampang dimengerti dan menarik. Aronofsky yang dasarnya keturunan Yahudi terbukti bisa mengaitkan konsep angka Yahudi yang lebih kearah mistis dengan konsep dan teori matematika yang ilmiah. Singkatnya, dongeng film ini begitu menarik, cerdas tanpa perlu terasa memusingkan. Kalau ada kekurangan mungkin perasaan abnormal melihat para pemain Wall Street yang mengejar Max diawal film tiba-tiba sudah dieprlihatkan tertarik pada kemampuan Max. Padahal tampaknya Max bukanlah orang cerdas atau penemu yang mempublikasikan kepintaran & penelitiannya.

Pi yang mempunyai visualisasi hitam putih mempunyai sisi unik bagi saya. Penggunaan pengaruh hitam putih dengan kontras yang agak berbeda dengan film hitam putih pada umumnya sanggup memperlihatkan pengaruh yang menciptakan aku seolah berada dalam dunia yang sempit dan sendirian. Hal itu bagaikan representasi dari dunia dan isi kepala seorang Max Cohen yang suram, sempit dan terkucil. Rasanya menyerupai menonton film dari dalam kotak kecil. Editing yang cepat dan unik serta musik psychdelic yang lezat didengar menciptakan film ini makin menyenangkan ditonton. Kecerdasan dalam menggabungkan aneka macam konsep matematika dan segala aspek artistik itulah yang menciptakan "π " menjadi sebuah film ihwal matematika yang jauh lebih menarik dari matematika itu sendiri bagi orang-orang yang tidak menyukai matematika menyerupai saya.

RATING:

Artikel Terkait

Ini Lho Π (Pi) (1998)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email