Friday, November 30, 2018

Ini Lho Hichki (2018)

Hichki, atau dalam Bahasa Indonesia berarti “cegukan”, mengisahkan perempuan penderita sindrom Tourette, sebuah kondisi di mana seseorang mengeluarkan gerakan atau ucapan impulsif (tic) tanpa bisa dikontrol. Dari suara-suara acak hingga sumpah serapah, dari gerakan kecil hingga kejang-kejang. Bagi penderita Tourette berada di muka umum bukan masalah mudah, alasannya minimnya pemahaman akan penyakit ini menjadikan pandangan miring publik terhadap mereka.  Dengan kondisi tersebut, protagonis film ini mesti mengajar murid-murid luar biasa nakal, yang saking nakalnya, pihak sekolah menganggap mereka sampah yang lebih baik musnah.

Tentu semakin jauh alur berjalan, kita dan sang guru, Naina Mathur (Rani Mukerji) mendapati bahwa belum dewasa itu sejatinya bukan biang onar. Hanya butuh perhatian lebih. Hichki memang cerita inspiratif konvensional soal guru bermasalah yang coba menolong murid bermasalah, dan seiring usaha si guru berlangsung, tanpa disadari ia turut menuntaskan masalahnya sendiri. Naskah yang ditulis empat orang termasuk sutradara Siddharth P. Malhotra bergerak mengikuti pakem yang sudah diterapkan ratusan film di luar sana, mulai Dead Poets Society, Half Nelson, bahkan produk lokal macam Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara, ketika sang guru menerapkan contoh mengajar unik guna menangani siswa-siswi unik.
Belajar di luar kelas, menggunakan telur sebagai peraga, atau materi-materi lain di samping kurikulum yang hanya bisa kita impikan terjadi di dunia faktual agar aktivitas mempelajari rumus fisika dan matematika di sekolah dulu lebih menyenangkan. Tentu ada sosok oposisi. Wadia (Neeraj Kabi), guru kelas 9A (kelas terbaik, sementara 9F yang diajar Naina ialah yang terburuk) dengan contoh pikir terbelakang yang menganggap kebahagiaan tak berbanding lurus dengan kesuksesan. “We’re luckier but they’re definitely happier”, begitu ucap salah satu murid 9A melihat siswa-siswi Naina berguru sambil tertawa. Sebagaimana banyak film motivasional, obrolan buatan Ankur Chaudhry tak masuk nalar namun lezat didengar pula quotable.

Bisa dipastikan keteguhan Naina akan meluluhkan hati belum dewasa 9F. Bisa dipastikan pula, seorang anak bakal lebih sulit ditaklukkan. Peran itu diemban Aatish (Harsh Mayar) yang gemar adu dengan anak 9A, tetapi di waktu bersamaan belakang layar menyukai gadis di kelas itu. Romantika Aatish, menyerupai halnya perselisihan Naina dengan ayahnya atau potret kemiskinan yang memancing perilaku berat sebelah terkait hak memperoleh pendidikan, hadir bukan sebagai distraksi. Fokus berhasil dijaga, sedangkan sempilan-sempilan di atas mempunyai kegunaan memberi dimensi kepada para tokoh, memanusiakan mereka alih-alih sekedar alat pengeruk inspirasi.
Demikian juga alasan kegigihan Naina membantu 9F yang mempunyai dasar kuat. Dahulu ia pun diremehkan, dianggap bermasalah, aneh, dan sebagainya. Wajar jikalau Naina mencicipi ikatan. Memerankan aksara dengan sindrom yang mempunyai simtom gamblang, akting Mukerji menghindarkan kesan parodi tak sensitif dari sosok Naina. Perhatikan dikala tic-nya muncul di sela-sela perbincangan. Seolah kondisi ini telah sekian usang menjadia bab hidup Mukerji. Pasca 4 tahun “cuti melahirkan”, performa aktris peraih piala Filmfare Awards terbanyak ini (7 kemenangan dari 17 nominasi) sama sekali tidak terkikis.

Mengadaptasi buku Front of the Class: How Tourette Syndrome Made Me the Teacher I Never Had buatan motivator asal Amerika, Brad Cohen, Hichki memang formulaik, tapi mengikuti kesuksesan drama edukatif dan motivasional produksi Bollywood belakangan, hatinya ada di kawasan yang tepat. Air mata haru, atau setidaknya menyerupai saya, senyum lebar bakal mengembang mengamati usaha Naina Mathur. Paling penting, selaras dengan tujuan besar si tokoh utama, yakni memberi pendidikan, Hichki memberi sepintas pemahaman wacana sindrom Tourette. Belum mendetail, namun melihat fakta banyak penonton belum mengenal penyakit ini,  pencapaian filmnya sudah cukup.

Ini Lho Ready Player One (2018)

Pada 2045 ketika dunia menjadi kumuh akhir overpopulasi, polusi, korupsi, dan perubahan iklim, umat insan menentukan “kabur” ke OASIS (Ontologically Anthropocentric Sensory Immersive Simulation), dunia virtual ciptaan James Halliday (Mark Rylance) yang sanggup diakses menggunakan kacamata VR, di mana seseorang bebas menjadi siapa saja serta melaksanakan apa saja. Pada 2018 ketika dunia kerap lupa bersenang-senang, umat insan mestinya “kabur” ke Ready Player One, dunia imajinatif ciptaan Steven Spielberg, yang sebaiknya dinikmati menggunakan kacamata 3D. Kostum XI sanggup memaksimalkan sensasi OASIS yang karakternya alami,  sedangkan format 4DX menghasilkan dampak serupa bagi filmnya.

Berasal dari novel fenomenal berjudul sama buatan Ernest Cline (juga selaku penulis naskah bersama Zak Penn) yang dipenuhi rujukan kultur terkenal 80-an, terang tak ada yang lebih pantas menggarap pembiasaan layar lebarnya selain Spielberg. Pertama, ia termasuk sosok paling kuat yang membentuk kultur terkenal masa itu lewat trilogi Indiana Jones (1981-1989), hingga E.T. the Extra-Terrestrial (1982). Kedua, tidak ada sutradara sehebat dirinya ihwal merangkai hiburan visioner kental kreativitas bertabur dampak Istimewa berskala besar. Sekali lagi, TIDAK ADA.
Wade Watts (Tye Sheridan), bocah yatim piatu berusia 18 tahun yang tinggal di pemukiman kumuh di Columbus, Ohio, merupakan protagonis kita. Seperti orang-orang yang lebih betah memamerkan diri di dunia maya (baca: sosial media) alasannya merasa sosok aslinya payah, Wade pun menghabiskan dominan waktunya di OASIS. Menggunakan avatar berjulukan Parzival, Wade mengikuti kompetisi mencari easter eggs yang ditinggalkan Halliday sebelum meninggal. Si pemenang bakal mewarisi kepemilikan OASIS plus hadiah-hadiah lain. Masalahnya, rintangan yang mesti dihadapi teramat sulit, belum lagi ancaman dari Nolan Sorrento (Ben Mendelsohn) beserta perusahaan penyedia peralatan VR miliknya, IOI (Innovative Online Industries), yang berambisi menguasai OASIS.

Saya berharap Ready Player One meluangkan sedikit lagi waktu menyelami dunia maupun karakternya lebih jauh, namun kehebatan Spielberg merangkai spectacle menciptakan saya tidak keberatan pribadi terjun ke dalam agresi bombastis semenjak menit awal. Balapan melintasi versi OASIS untuk New York di mana bola-bola besi raksasa, T-Rex, hingga King Kong telah menanti guna menggagalkan usaha menemukan easter eggs. Ini gres tahap pertama, tapi itu urung memudahkan usaha Parzival dengan kendaraan beroda empat “Back to the Future” miliknya menembus garis akhir. Begitu pula Art3mis (Olivia Cooke), sosok pemain terkenal pengendara motor merah dari animasi Akira yang jadi pujaan Parzival.

Balapan tersebut pertanda betapa Spielberg paham cara membangun tensi. Reruntuhan gedung yang menciptakan kendaraan beroda empat saling bertabrakan, amukan King Kong yang menghancurkan kendaraan pemain layaknya mainan plastik murahan, bukan sekedar pawai CGI. Terdapat dimensi, bobot, alih-alih gambar rekayasa komputer yang beterbangan tanpa massa tubuh. Berkatnya, kesan bahwa para tokoh sungguh terancam ancaman pun terasa. Menegangkan, tetapi Spielberg tak pernah lalai menyuntikkan nuansa senang-senang.
Ready Player One mengajak kita merayakan hidup, baik di dunia faktual maupun maya. Keseimbangan itu dibutuhakan. Spielberg wants us to know what it feels like to live our lives at its fullest. Caranya ialah meniadakan set piece yang sifatnya filler. Total ada 3 kunci dibutuhkan demi mendapat hadiah dari Halliday, dan tiap fase pencarian kunci mengandung momen penyulut decak kagum dan sorak sorai berupa visualisasi kelas wahid Spielberg terhadap pandangan gres tertulis Cline. Di tangan Spielberg, hal terpenting bukan “ada berapa tokoh dan/atau rujukan budaya populer?”, melainkan bagaimana semua dirangkum menjadi adegan solid. Pun naskahnya meniadakan kesan “pamer”, sehingga tur mengelilingi Hotel Overlook, lantai dansa nol gravitasi dilengkapi lagu Stayin’ Alive, sampai pergumulan “tiga raksasa” di titik puncak kolam fase alamiah yang wajib alurnya lalui.

Tetap ada cela. Sebagai film mengenai seruan biar tak melupakan realita, adegan “dunia nyata” film ini kekurangan daya pikat. Saya merasa ibarat manusia-manusia di dalamnya yang menentukan kehidupan OASIS ketimbang kenyataan. Satu-satunya momen (mendekati) realita yang tampil menarik terletak menjelang akhir, Mark Rylance menunjukkan akting kaya sensitivitas sebagai Halliday, si laki-laki jenius yang introvert pula canggung soal sosialisasi. Namun di kemunculan pamungkasnya, dibalut kehangatan ala Spielberg, Rylance mengatakan bahwa Halliday telah berubah. Lebih dewasa, lebih matang, lebih bijak. Kita semua bisa mengalami perubahan serupa asal tidak terlampau usang menetap di dunia maya.

Ini Lho The Josyid Movie Review - Pilot Episode

Yeah, I know this sounds cliche. Blogger merambah ke media YouTube. Tapi tenang, ini bukan pindah rumah. Fokus utama tetap menulis di blog ini. Bukan juga cari popularitas. Saya sudah senang dengan 8 ribu pengunjung Movfreak tiap harinya. Ini alasannya yakni usul (baca: paksaan) dari Vincent Jose (The Jose Movie Review) yang beberapa hari terakhir, setiap jam makan siang selalu mengutarakan keinginannya. Entah kenapa beliau menolak tampil sendiri. Mungkin laki-laki kepala tiga itu kurang percaya diri dengan ketampanannya? Entah. 

Saya alhasil bersedia, sehabis merasa vlog ini dapat jadi lahan menyalurkan sisi lain seorang Rasyid Harry ketika bicara soal film. Sisi lain di sini maksudnya kesulitan menahan urgensi bercanda. Makara jangan berharap aku banyak membahas sebuah film secara detail dan serius di vlog. Porsi itu khusus untuk blog. I just wanna have some fun there

Postingan ini bertujuan memperkenalkan episode pilot alias "coba-coba". Di daerah "darurat" (kalian yang berdomisili di Jakarta mungkin tahu di mana), juga masih dengan kualitas gambar serta audio seadanya. Episode pertama nanti dijamin punya teknis lebih baik. Kali ini ada 6 film yang dibahas: Pacific Rim: Uprising, Guru Ngaji, Kenapa Harus Bule?, Sherlock Gnomes, The Princess and the Matchmaker, dan Hichki. Selamat menonton.

Ini Lho Arini (2018)

Bayangkan sebuah puzzle bergambar gajah. Hampir seluruh keping telah tersusun kecuali bab belalai dan gading yang ternyata hilang. Tentu anda sudah sanggup menebak bahwa itu gajah, namun ketidaktuntasan itu pastinya mengganjal. Lagipula esensi puzzle bukan menanyakan “gambar apa?”, melainkan bagaimana potongan-potongan kecil sanggup membentuk satu kesatuan besar. Arini sama ibarat itu. Film panjang kelima Ismail Basbeth (Another Trip to the Moon, Mencari Hilal) selaku pembiasaan novel Biarkan Kereta itu Lewat, Arini karya Mira W. ini yaitu puzzle yang tidak selesai.

Saya belum membaca novelnya, pula menonton film versi 1987 (berjudul Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat) yang menampilkan pasangan Widyawati-Rano Karno. Tapi saya sanggup mencicipi bahwa di balik presentasi 80 menit ini tersembunyi tuturan soal pemberdayaan wanita, hubungan beda usia yang berdampak pada interaksi berupa benturan contoh pikir, kegelisahan perihal cinta, sampai bermacam-macam kompleksitas lain, termasuk yang ditampilkan melalui sebuah twist di pertengahan kisah. Sayang, semua tersembunyi terlampau dalam dan urung mencuat merasuki hati serta pikiran penonton.
Naskah buatan Ismail Basbeth dan Titien Wattimena (Dilan 1990, Hujan Bulan Juni, Salawaku) menerapkan teknik non-linier di paruh awal. Kita diajak maju-mundur mengamati Arini (Aura Kasih) di masa kemudian dan kini. Timbul pertanyaan, mengapa di kedua masa yang terpisah 13 tahun itu perilaku Arina bertolak belakang? Sama-sama diawali perjalanan di atas kereta (satu di Jerman, satu di Indonesia), Arini masa sekarang tampak masbodoh cenderung ketus. Walau sejatinya kebanyakan orang niscaya bersikap sama kala didatangi laki-laki absurd macam Nick (Morgan Oey) yang mendadak minta sumbangan untuk sembunyi alasannya yaitu naik kereta tanpa karcis.

Nick 15 tahun lebih muda dari Arini. Muda, riang, penuh semangat, juga gila. Kegilaannya terlihat dikala Nick tiba-tiba muncul di apartemen Arini. Ya, ia mempunyai alasan terperinci (selain jatuh cinta pada pandangan pertama), yaitu mengembalikan telepon genggam yang tertinggal. Tapi setelahnya, Nick menolak pulang, membawakan bunga, memaksa tinggal untuk makan malam. Di sini ketidaklengkapan puzzle tadi berpengaruh. Penggambaran bahwa Arini belakang layar mencari cinta dipaparkan kurang tegas. Arini ibarat perempuan yang gagal berguru dari stress berat masa kemudian dengan Helmi (Haydar Salishz) si mantan suami. Motivasinya kabur.
Arini berujung jadi satu lagi simplifikasi dongeng cinta, kala suatu film memaksa penonton mendapatkan perilaku aksara atas dasar “cinta tidak peduli logika”. Arini dan Nick pun menghabiskan sehari bersama di Heidelberg. Pertemuan yang diakhiri kurang menyenangkan, sebelum filmnya melompat beberapa waktu ke depan sambil memindahkan setting ke Indonesia. Bisa ditebak mereka bertemu lagi, meski sukar dipahami alasan Arini begitu saja memaafkan Nick, bocah yang mencaci-maki hanya alasannya yaitu gagal meniduri wanita. Selanjutnya hubungan keduanya bergerak lebih cepat dari Shinkansen, minim eksplorasi di ranah proses.

Sukar menyayangi romantika instan begini bila bukan didorong penyutradaraan plus akting. Morgan tampil beda. Walau sesekali terlihat memaksakan untuk menjadi cowok “ekspresif”, penampilannya menyenangkan disaksikan. Begitu pula Aura Kasih, yang menyimpan problem serupa, yakni terlalu berusaha nampak masbodoh dan ketus. Menyatukan keduanya yaitu penyutradaraan Ismail Basbeth yang sekali lagi berhasil menekankan olah rasa. Dibantu reka ulang lagu-lagu klasik ibarat Mencintaimu dan Kaulah Segalanya (dibawakan Morgan dan Claresta), Basbeth memunculkan romantisme dari kehambaran naskah. Simak adegan ciuman pertama yang enggan terburu-buru, sabar membangun tahap demi tahap pertukaran rasa melalui saling tatap dua pemain drama utama.

Ini Lho Partikelir (2018)


Kalau saya setia mengikuti “buku pertaturan”, maka Partikelir yakni film buruk. Dalam debut penyutradaraannya, Pandji Pragiwaksono (juga menulis naskah bersama Goks Writing Team) kentara ingin menciptakan buddy movie. Pun filmnya dijual sebagai buddy movie sebagaimana diperlihatkan formasi poster parodinya yang merujuk pada judul-judul menyerupai Lethal Weapon, Hot Fuzz, 21 Jump Street, dan lain-lain. Masalahnya, Pandji dan tim kurang terampil menerapkan elemen-elemen vital penyusun sub-genre tersebut, tetapi, beberapa humor bisa hadir sempurna sasaran.

Jadi bukankah berarti Partikelir sukses menghibur? Jawabannya relatif. Pertama kita rangkum unsur utama buddy movie khususnya yang mengedepankan komedi bercampur aksi. Seperti istilahnya, dinamika dua protagonis memegang signifikansi luar biasa. Jamaknya, mereka mempunyai kepribadian berlawanan, kerap bertengkar, hingga hasilnya perlahan bersatu pasca melewati serangkaian agresi berhiaskan pernak-pernik humor. Partikelir punya Adri (Pandji Pragiwaksono), seorang detektif swasta nekat, serta Jaka (Deva Mahenra), pengacara dengan keseharian selaku “budak korporat”.
Semasa sekolah, keduanya erat dekat, disatukan oleh harapan menjadi detektif. Hingga sebuah insiden memecah pertemanan itu. Bukan cuma jarak, sifat Adri dan Jaka pun menjauh, saling bertolak belakang. Sekian tahun berselang, mereka bertemu lagi ketika Adri sedang diminta bantuannya oleh Tiara (Aurelie Moeremans) guna menilik bisnis sang ayah, yang menggiring Adri menuju rahaia soal narkoba berjulukan Rantau. Saya berasumsi, tali pertemanan Adri-Jaka bakal kembali seiring penyelidikan yang menggiring ke arah bahaya. Saya keliru. Mereka berdamai bahkan sebelum baku hantam dimulai. Alhasi, ketimbang dua langsung berlainan yang terpaksa mengesampingkan perbedaan sambil terus sabung argumen, Partikelir sebatas menyajikan dua laki-laki konyol.

Seberapa keras Deva mencoba menghidupkan Jaka yang selalu meragu maupun Pandji memerankan Adri yang seenaknya, dinamika gagal terjalin alasannya yakni pondasi alias nakahnya lemah. Kelemahan yang tidak berhenti di urusan dinamika antar tokoh, juga penyusunan misteri. Partikelir yakni film dengan protagonis detektif namun alurnya tak menyimpan daya tarik seputar misteri serta pemeriksaan terhadapnya. Biar demikian, Pandji sejatinya merupakan pelawak cerdas. Gelak tawa masih teripta, meski bukan berasal dari dagelan khas buddy comedy.
Saya menyukai suatu sekuen yang melibatkan penampilan singkat Gading Marten, yang menunjukan kejelian Pandji menyuguhkan kelucuan bermodalkan momen berisi lelucon tak lucu. So unfunny, it’s funny. Andai saja Pandji menambah kesolidan pondasinya alih-alih berusaha memenuhi ambisi besar pada debutnya sebagai sutradara ini. Dia ingin menyatukan segalanya. Komedi, aksi, hingga siratan romansa yang dipaksakan antara Adri dengan Tiara, si perempuan yang bahkan fungsi keberadaannya layak dipertanyakan selain memberi masalah kepada Adri.

Bisa ditebak, ambisi Pandji menyertakan kritik bernuansa sosial-politik. Komedi manis yakni komedi yang lucu. Komedi yang luar biasa yakni komedi yang bisa menyuarakan pesan kritis lewat kelucuan. Sedangkan Partikelir, bukannya “menyentil melalui komedi”, tapi “menyentil di tengah komedi”. Semakin mendekati akhir, metode “masuk paksa” untuk barisan kritik sosial-politik miliknya makin kentara. Termasuk pertanyaan besar mengenai perlunya twist wacana salah satu tokoh menjelang film berakhir yang semata-mata demi dua tujuan: 1) Kejutan, 2) Penyuluhan pesan anti-narkoba. Jika itu dihilangkan apakah akan mengurangi kelengkapan perkembangan karakternya? Tidak.

Ini Lho Jelita Sejuba: Menyayangi Kesatria Negara (2018)

Saya seringkali menghindari film lokal bertema militer. Kecenderungan glorifikasi ditambah aksara yang terlampau tepat jadi penyebab utama. Menengok judulnya, saya menduga Jelita Sejuba: Mencintai Kesatria Negara takkan jauh-jauh dari golongan di atas. Sampai para tokoh tentara mulai diperkenalkan, dan saat salah satu kalimat pertama yang terucap yaitu selorohan “mambu entut” selaku respon terhadap aroma ikan asap, saya lega. Mereka bukan sosok kelewat kaku yang selalu mengucap kata-kata bernada nasionalisme selain “siap Ndan!”, melainkan sebagaimana insan biasa, gemar berkelakar. Wajar Sharifah (Putri Marino) si gadis Natuna beserta kedua sahabatnya terpikat.

Mereka bertiga pula kreator ikan asap tadi, sebagai salah satu hidangan di warung Jelita Sejuba milik keluarga Sharifah. Nantinya, melalui Sharifah juga, naskah buatan Jujur Prananto (Ada Apa Dengan Cinta?, Petualangan Sherina, Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara) dan Krisnawati menggambarkan apa yang mesti dihadapi istri-istri TNI. Apa saja kesulitan maupun resiko dalam mengasihi kesatria negara. Jaka (Wafda Saifan Lubis dalam debut akting layar lebar yang tidak mengecewakan) yaitu kesatria yang dimaksud. Walau mengasihi Jaka, Sharifah tak perlu diingatkan dua kali oleh ayahnya (Yayu Unru) bahwa profesi prajurit bakal menciptakan laki-laki idamannya sering ditugaskan ke daerah jauh dalam hitungan bulan bahkan tahun.
Membentang dari awal pertemuan yang malu-malu sebelum benih romantika tumbuh, perpisahan pertama yang tak terasa layaknya perpisahan, pertemuan kembali yang berujung pernikahan, sampai usaha merawat anak sembari mencari nafkah tatkala sang suami berada di seberang lautan, kisah Jelita Sejuba: Mencintai Kesatria Negara memang memiliki cakupan waktu yang cukup luas. Menjadi tokoh sentral, Putri Marino menampilkan transformasi mulus sehingga tumbuh kembang Sharifah nampak meyakinkan. Mencapai pertengahan durasi, tanpa saya sadari, remaja aktif, ceriwis nan usil ini telah matang juga dewasa. Satu hal yang urung berubah yakni aura positif.

Baik ketiadaan sang suami atau himpitan finansial tak pernah menjatuhkan Sharifah, meski ada satu-dua momen di mana kerapuhannya memuncak, yang mana berfungsi menjauhkan aksara dari ketabahan berlebihan. Putri Marino dianugerahi senyum (bukan cuma di mulut, pula mata) yang sanggup memancing senyum, bahkan meluluhkan hati siapa saja yang melihat. Senyum miliknya berperan besar menguatkan Sharifah sebagai aksara perempuan yang enggan terjatuh. Film ini memang melodrama, namun bukan eksploitasi dongeng merana. Komedi, baik lewat interaksi jenaka para gadis dan prajurit maupun sosok Nazar (Harlan Kasman) dengan catchphraseyele yele yele” yang bakal sulit dihapus dari ingatan, senantiasa menyegarkan suaasana.
Pun penyutradaraan Ray Nayoan (Takut: Faces of Fear segmen “Peeper”, Sinema Purnama segmen “Dongeng Ksatria”) menampakkan dinamika serupa. Ada kesan senang-senang yang dibawa sang sutradara agar karyanya ini tidak kaku. Misalnya sewaktu Sharifah bersama Jaka menjalani produser militer panjang sekaligus berbelit sebelum melangsungkan pernikahan. Bagi Sharifah, proses tersebut terasa menyebalkan nan melelahkan, tetapi Ray menentukan mengedepankan sisi jenaka dalam acara itu, lengkap dengan transisi asyik (anda akan tahu transisi menyerupai apa yang saya maksud). Berkat deretan poin plus di atas, kekurangan pada jalinan alur yang amat formulaik dan nihil perspektif gres (tanpa film ini pun kita tahu istri tentara harus harus berjuang menghadapi penantian dan ketidakpastian) pantas dimaafkan.

Jelita Sejuba: Mencintai Kesatria Negara berpeluang menghadirkan titik puncak intens yang turut menyimpan potensi emosi, sayang, pererakan buru-buru menuju konklusi, pun masih belum cakapnya Ray Nayoan membungkus agresi di medan perang melucuti sederet keunggulan terpendam itu. Biar begitu, penutupnya menyiratkan poin bermakna mengenai kehadiran Jaka dalam hidup Sharifah. Baik pribadi atau tidak, semenjak kali pertama Jaka menginjakkan kaki di warung Jelita Sejuba, ia berperan menyatukan keluarga Sharifah. Karena Jelita Sejuba sendiri, menyerupai merujuk pada pernyataan ibunda Sharifah (Nena Rosier), yaitu “tempat untuk pulang”, atau dengan kata lain perwujudan keluarga. Jelita Sejuba: Mencintai Kesatria Negara bukan cuma cinta di tataran romantika, juga keluarga.

Ini Lho Blackmail (2018)


Blackmail bercerita soal Dev Kaushal (Irrfan Khan), laki-laki paruh baya yang bertransformasi dari pegawai kantoran biasa—namun kurang bahagia—menjadi seorang kriminal, serta bagaimana satu keburukan kecil bakal menggiring pelakunya menujuk keburukan berikutnya yang jauh lebih besar. Dev meratapi pernikahannya, menentukan pulang larut, bermain Pac-Man di kantor, hingga bermasturbasi menggunakan foto istri/pasangan rekan kerja yang rahasia ia ambil dari meja mereka. Dengan kondisi tersebut, sebagai “budak korporat” kota besar yang penuh tekanan, tendensi Dev terjerumus pada tindak kriminalitas akhir kehilangan kesabaran dan kewarasan pun cukup besar tanpa perlu ada campur tangan perkara pemerasan.

Atas saran sobat sekantornya, Anand (Pradhuman Singh), Dev berusaha menyegarkan lagi rumah tangganya dengan Reena (Kirti Kulhari) lewat proteksi kejutan. Pulang sambil membawa bunga, Dev justru mendapati sang istri tengah bersama laki-laki lain. Namanya Ranjit, (Arunoday Singh), suami puteri pengusaha kaya, Dolly Verma (Divya Dutta), yang menikah hanya demi harta istrinya. Beberapa sekuen imajinasi—yang di menit-menit berikutnya bakal sering diulang—menggambarkan cita-cita Dev menghabisi Reena dan Ranjit, tapi begitu teringat setumpuk tagihan yang meneror, niat itu diurungkan. Dev memutuskan memeras Ranjit kalau tidak mau perselingkuhannya terbongkar.
100 ribu rupee. Itu jumlah yang diminta Dev. Tidak terlampau besar, alasannya ialah di samping memberi pelajaran, Dev memang hanya ingin melunasi tanggungan finansial. Namun, berpijak dari satu pemerasan ini, naskah buatan Parveez Sheikh dan Pradhuman Singh (penulis dialog) menyajikan komedi hitam berbasis situasi menggelitik tatkala pemerasan demi pemerasan berikutnya terjadi. Pelaku jadi korban, korban jadi pelaku, sementara uang yang dibayarkan terus berputar, berpindah tangan kolam tanpa ujung. Para tokohnya kebingungan, begitu pula penulis naskah yang seiring bertambahnya jumlah pemerasan, terjebak dalam bulat setan berupa momen-momen repetitif yang perlahan kehilangan taring, serupa adegan “imajinasi Dev”.

Memaksimalkan potensi komedi hitam jauh lebih sulit ketimbang komedi biasa (yang sudah tergolong sulit). Bagaimana menyulap situasi yang sewajarnya menyulut emosi negatif—kematian, kekerasan, kesedihan—menjadi kelucuan terang butuh kejelian pengadeganan sekaligus kepekaan. Mengawali karir lewat komedi hitam Delhi Belly (2011) yang membawanya memenangkan Filmfare Award untuk kategori “Best Debut Director”, Abhinay Deo nyatanya masih keteteran di beberapa kesempatan, sehingga daya bunuh banyak humor gelapnya surut. Berbeda dengan Irrfan Khan yang tampak meyakinkan memerankan laki-laki kantoran biasa yang tidak berdaya, tersudut, dan sewaktu ia menjalankan aksinya, saya pun bersedia bangkit di belakangnya.
Blackmail turut melanjutkan pencapaian banyak tontonan Bollywood yang semakin piawai menyentil isu-isu sosial. Secara gamblang, kita dibawa menyaksikan 4 pemerasan, tetapi di balik itu, secara tersirat, muncul bentuk-bentuk pemerasan lain yang sejatinya lebih jamak kita temui di keseharian. Pihak pemerintah tempat yang meminta sejumlah besar uang suap, detektif swasta yang mematok harga luar biasa tinggi, hingga perusahaan yang alih-alih memberi kenaikan honor atau minimal bonus justru memaksa karyawannya bekerja lebih keras tanpa imbalan lebih. Seluruhnya ialah pemerasan dalam wujud yang berbeda. Sementara lewat kehidupan huruf Dev, kita diajak mengintip kondisi karyawan swasta kelas semenjana di kota.

Sempat berlangsung repetitif di pertengahan, untungnya perjalanan hampir dua setengah jam—tepatnya 139 menit—ini ditutup oleh konklusi memuaskan berkat naskah yang telaten merajut deretan trik dalam rencana kompleks penuh bumbu kejutan yang menyatukan aneka macam poin plot dengan berakal ditambah cara bertutur rapi dari sang sutradara. Blackmail ialah soal kompetisi kecoh-mengecoh, tipu-menipu, dan saling makan, tidak jauh beda dengan Pac-Man yang nyaris tiap malam Dev mainkan. Sekali seseorang berbuat keburukan, tinggal menunggu waktu hingga keburukan-keburukan berikutnya menyusul. Blackmail mengatakan itu.

Ini Lho Rampage (2018)

Tim efek Istimewa dalam film- film macam King Kong (1933), Godzilla (1954), hingga Jurassic Park (1993), bertugas menghidupkan monster raksasa. Sedangkan untuk merespon makhluk rekaaan itu dengan kekaguman, ketakutan, atau terkadang kekaguman di balik ketakutan, ialah kiprah aktor. Tapi untuk bersanding sejajar dengan mereka, cuma Dwayne “The Rock” Johnson yang bisa melakukannya secara meyakinkan. Kalau ada seseorang yang sanggup menyelamatkan dunia dari kehancuran, berani terlibat pertarungan terbuka dengan (lebih dari satu) binatang raksasa, Johnson ialah orang tersebut. Sebagai bintang laga, beliau bukan cuma bermodal otot, pula karisma biar setiap makhluk menyukainya.

Saya menggunakan kata “makhluk”, alasannya ialah dalam Rampage, Johnson memerankan Davis Okoye, andal primata yang bisa menjinakkan, bahkan dekat dengan gorila albino berjulukan George. Keduanya berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, dan tak hanya saling memahami maksud, juga isi hati satu sama lain. Poin yang membawa kita menuju momen paling berperasaan sepanjang filmnya. Ya, meski hanya sejenak, Rampage mempunyai hati tatkala George memahami nasib malang Pavoo, seekor gorila gres yang kehilangan keluarganya akhir pemburu gelap. Ada ketakutan di sorot mata Pavoo melihat sosok gorila albino berukuran jauh lebih besar darinya, sementara di dikala bersamaan George menampakkan tenggang rasa alasannya ialah persamaan nasib.
Memberikan jiwa kepada tokoh binatang menjadikan Rampage spesial. Sewaktu sampel eksperimen diam-diam jatuh dari langit dan mengakibatkan George tumbuh luar biasa cepat dan berubah lebih ganas, saya diyakinkan bahwa amukannya cuma verbal ketakutan serta kebingungan yang disalahpahami. Seperti Davis, saya tak ingin George jadi target tembak, meski sentimen serupa urung hadir untuk dua binatang lain, Ralph si serigala bersayap, dan buaya raksasa yang bagai campuran Lizzie dan Crock dari sumber adaptasinya. Pertanyaannya, bagaimana cara menggembangkan plot tipis video game yang murni cuma menyajikan kehancuran kota?

Skenario garapan empat penulis sekaligus (Ryan Engle, Carlton Cuse, Ryan J. Condal, Adam Sztykiel), yang mengubah asal muasal raksasa dari insan yang bermutasi, memang terasa kekurangan akal. Repetisi pun dipilih. Sepasukan intel atau militer atau prajurit bayaran muncul guna menghentikan kekacauan, merasa jemawa, meremehkan kemampuan para monster, yang alhasil menimbulkan kegagalan mereka. Pola ini diulang beberapa kali, dengan satu-satunya sumbangsih kasatmata berupa penampilan keren Jeffrey Dean Morgan sebagai Harvey Russell, biro pemerintah yang bergaya kolam koboi modern, lengkap dengan aksen Southern dan pistol emas di pinggang.
Rampage, sebagaimana video game-nya, menjanjikan amukan monster yang menghasilkan kehancuran massal, dan Brad Peyton dalam kerja sama ketiganya bersama Dwayne Johnson pasca Journey 2: The Mysterious Island dan San Andreas memenuhi kesepakatan tersebut. Rampage gres habis-habisan begitu memasuki titik puncak (sesuatu yang mestinya telah kita perkirakan), tapi bukan titik puncak sambil kemudian yang berakhir prematur. Peyton menembakkan seluruh amunisi, menghancurkan semua yang bisa dihancurkan, sembari memamerkan kepiawaian menyusun intensitas melalui kejelian bermain timing. Rating PG-13 pun tak menghalangi Peyton menjaga kesesuaian film dengan esensi video game-nya yang brutal, penuh adegan monster memangsa manusia. Tunggu hingga anda menyaksikan cara Kate (Naomie Harris), ilmuwan pemrakarsa eksperimen Rampage yang bekerja sama dengan Davis, “menyembuhkan” George.

Menyajikan kehancuran total menjelang akhir, kualtias CGI-nya sendiri tak terlalu mumpuni, khususnya kalau melihat kurang meleburnya Johnson dengan para monster ketika berada di satu frame. Namun CGI dalam Rampage memang bukan bertujuan menghasilkan pemandangan realistis. Tugas itu diemban Jurassic Park dan film-film lain yang mengutamakan “sense of wonder”. Begitu juga soal plot, yang saya yakin bakal banyak dikritisi menggunakan sebutan bodoh, dangkal, dan sebagainya. Mengharapkan kedalaman atau kecerdasan dalam alur film macam Rampage, yang semenjak awal sudah menegaskan tujuannya, bagai berharap memperoleh gizi tinggi dari masakan cepat saji. Kalau begitu siapa yang bodoh?

Ini Lho The Perfect Husband (2018)

Sepertinya sineas kita masih sulit membedakan antara “lelaki pantang menyerah” dengan “lelaki penguntit”. Setelah Dilan (Dilan 1990) dan Nick (Arini), The Perfect Husband, selaku pembiasaan novel berjudul sama karya Indah Riyana, mengenalkan kita pada Arsen (Dimas Anggara) seorang pilot yang ngotot mengantar-jemput Ayla (Amanda Rawles), calon istri dari proses perjodohannya, meski sang gadis yang berusia jauh lebih muda (siswi SMA) menolak keras. Arsen pun mengikuti Ayla ke mana saja ia pergi, bahkan berani menggendong secara paksa di depan teman-temannya, di lingkungan sekolah pula. Dan tatkala Ayla mengaku tak lagi perawan, Arsen mengungkapkan kekecewaan sambil berkata bahwa semestinya Ayla lebih menghargai dirinya sendiri.

Saya tidak oke anggapan film harus mendidik atau mengusung pesan. Namun pada masa di mana gerakan-gerakan faktual soal “kemerdekaan diri” maupun “mencerdaskan bangsa” tengah vokal didengungkan, The Perfect Husband bagai proses mundur beberapa langkah. Betapa tidak? Filmnya seolah mendukung perjodohan paksa yang berujung janji nikah dini selepas SMA. Menghadapi perkara itu, pikiran Ayla tentu kacau. Terlebih ia telah mempunyai seorang kekasih, vokalis grup musik rock berjulukan Ando (Maxime Bouttier), yang tampil di program berjulukan “Indienight”, mengenakan dandanan rock ‘n roll yang tidak lagi digunakan rockstar mana pun, tapi menyanyikan lagu pop-punk berlirik galau. Bagaimana Ayla bisa mencintainya yakni pertanyaan besar. Mungkin anak Sekolah Menengan Atas memang sebodoh itu.
Ucapkan selamat tinggal kepada potensi dinamika serta tensi cinta segitiga, alasannya yakni Ando dan Arsen terang timpang dikala disandingkan. Selain penokohan Ando yang terlampau menggelikan untuk menjadi pesaing serius, pesona Dimas Anggara dengan gampang menghempaskan Maxime Bouttier dan tato spidolnya. Di sisi lain, Amanda Rawles menghasilkan kesejukan memerankan gadis cukup umur yang bertingkah sekaligus bicara seenaknya. Pun berkat Amanda pula bumbu humornya bisa bekerja cukup baik, khususnya di paruh awal yang sempat memberi delusi bahwa The Perfect Husband bakal jadi film terbaik produksi Screenplay yang lebih “manusiawi”, urung mengandalkan obrolan puitis.

Apalagi ada Slamet Rahardjo sebagai Tio, ayah Ayla, yang ibarat biasa mulus menangani tiap momen, kecuali ketika menyebut nama sang puteri. Dua kali ia luput menyebut “Alya”. Mungkin Rudy Aryanto (Surat Cinta untuk Starla) selaku sutradara segan mengoreksi si bintang film senior. Mengapa Tio kukuh menjodohkan Ayla yang belum lulus Sekolah Menengan Atas tentu mengundang tanya. Bisa ditebak ada hal yang Tio dan para penulis naskahnya sembunyikan demi menyulut konflik. Karena, andai Tio mengutarakan alasan perjodohan sedari awal, yang mana merupakan pilihan logis, film ini bakal selesai dalam 15 menit.
Pun sewaktu kesannya diungkap, diam-diam itu tak lebih dari elemen paling klise yang bisa dipikirkan seorang penulis dongeng melodrama, yang kebetulan juga ciri khas judul-judul produksi Screenplay. Film Screenplay di bawah isyarat Asep Kusdinar memang berlebihan mendramatisasi, tetapi setidaknya keputusan itu menghadirkan ketepatan porsi melodrama. Di tangan Rudi Aryanto, momen yang seharusnya menyajikan puncak emosi justru berujung canggung nan kaku. Rudi cukup sukses di Surat Cinta untuk Starla lantaran dibantu nomor-nomor balada ciptaan Virgoun. Tanpanya, sang sutradara kolam hilang nalar dan kekurangan amunisi.

Kembali sejenak menuju fakta yang Tio sembuynikan, diam-diam tersebut gagal memberi justifikasi terhadap problematika perjodohan dan nikah muda. Ada begitu banyak alternatif cara menuturkan pesan mengenai bakti anak pada orang tua. Menurut The Perfect Husband, menikah sehabis lulus Sekolah Menengan Atas merupakan jalan keluar pemberi kebahagiaan sekaligus bukti bakti terhadap orang bau tanah yang telah memberi segalanya untuk anak. Ya, segalanya kecuali kebebasan menjalani hidup sesuai kemauan sendiri. Dengan contoh pikir demikian, jangan heran jikalau negeri ini dipenuhi orang bodoh. The Perfect Husband menanggalkan gaya Screenplay yang makin repetitif hanya untuk menemukan kelemahan gres yang lebih fatal.


Untuk ulasan versi vlog bisa ditonton di sini:

Ini Lho Reuni Z (2018)

Berjam-jam aku memandangi halaman review yang masih putih polos alias kosong. Sambil duduk ditemani batang demi batang rokok, ingatan aku melayang kembali menuju Reuni Z, kerja sama kedua Soleh Solihun bersama Monty Tiwa di dingklik penyutradaraan sehabis Mau Makara Apa? (2017), berharap memperoleh wangsit ihwal paragraf pembuka. Tapi nihil. Semakin memeras otak, semakin kusut isi kepala. Mungkin aku sedang buntu. Mungkin aku penulis yang buruk. Mungkin alasannya cuma sedikit hal berkesan dalam filmnya.  Reuni Z memang tidak buruk, tetapi bakal segera terlupakan. Padahal, dilupakan jauh lebih mengerikan dari dikejar zombie.

Berbeda dengan jajaran protagonis, khususnya Juhana (Soleh Solihun) dan Jeffri (Tora Sudiro) yang sulit melupakan permasalahan mereka semasa SMA. Sempat bersahabat, bahkan membentuk grup band bersama, keduanya bertengkar di panggung, menghasilkan kekerabatan canggung yang bertahan hingga 20 tahun kemudian tatkala reuni diadakan. Ketika Juhana telah angkat nama sebagai bintang film film murahan sekaligus bintang iklan pompa air, Jeffri tetap merasa Juhana menghancurkan mimpinya sukses di dunia musik. Jeffri sendiri sekarang menikahi Lulu (Ayushita), si mantan bassis, dan sudah dianugerahi momongan, sedangkan Juhana masih hidup seorang diri.
Ketiganya, ditambah Mastur si penggebuk drum yang telah berganti kelamin dan nama menjadi Marina (Dinda Virgo Dewi), bertemu lagi di reuni Sekolah Menengan Atas yang oleh naskah buatan Soleh bersama Agasyah Karim dan Khalid Kashogi bukan cuma dijadikan arena para zombie berburu mangsa empuk, pula memfasilitasi keberadaan ensemble cast. Dari Surya Saputra si tukang bully, Henky Solaiman si guru, Verdi Solaiman si tukang pamer, Fanny Fabriana si MC, Ence Bagus si laki-laki sok alim, Joe P Project si satpam, hingga penampilan pasangan Anjasmara dan Dian Nitami. Begitu ambisius, kisahnya berusaha membagi porsi nyaris sama rata ke setumpuk nama di atas. Waktu pun terbagi, sehingga elemen persahabatan Juhana-Jeffri yang harusnya diutamakan justru sebatas numpang lewat.

Setelah repot-repot menaruh fokus pada banyak tokoh, ketika datang waktunya tamat hidup menjemput tanggapan serangan zombie, adegan kematian malah tersaji off-screen. Apalagi kalau bukan demi meminimalkan sadisme yang berpotensi memantik debat kusir melelahkan di tahap sensor. Dampaknya, beberapa kematian tak terduga maupun pengorbanan karakternya urung berefek. Polanya sering berulang. Salah satu tokoh terkepung pasukan zombie, sebelum adegan eksklusif berpindah tanpa memperlihatkan nasibnya. Bahkan sulit mengetahui apakah seseorang sudah meregang nyawa atau belum, kalau bukan alasannya mereka tak muncul di momen penutup.
Poin terkuat Reuni Z, yang sejatinya juga urung dimaksimalkan, ialah komedi. Beberapa kali aku tergelak. Melanjutkan pencapaian di Hangout (2016), Dinda jadi sosok terlucu yang mencuri perhatian berkat kesediaan menanggalkan rasa aib ketika melucu. Totalitas. Masalahnya tak semua tokoh menyimpan karakteristik selucu Marina alias Mansur. Jeffri tak lebih dari laki-laki paruh baya yang sesekali bersikap bodoh. Sementara profesi Juhana sebagai bintang film film murahan hanya dijadikan jalan biar film ini sanggup memajang beberapa parodi poster film Indonesia klasik serta menyelipkan cameo Joko Anwar. Selebihnya, daya tarik Juhana cuma sebuah slogan yang semakin sering diulang semakin menghilang kelucuannya.

Serbuan zombie sanggup memunculkan kesan atmosferik sebagaimana Night of the Living Dead (1968), sanggup pula seru menyerupai Dawn of the Dead, baik versi Romero (1978) atau remake karya Zack Snyder (2004). Tapi kejar-kejaran dengan zombie di Reuni Z tidak menegangkan, mencekam, atau seru. Humornya pun kolam bangun sendiri, di mana mengganti zombie dengan makhluk lain, takkan menghipnotis gaya leluconnya. Timbul beberapa pertanyaan. Bagaimana zombie mendeteksi korbannya? Mereka sanggup ditipu oleh bau, terpancing suara, tapi kadang melihat buruannya. Mereka pun sanggup tidak boleh melalui serangan di bab badan mana saja, menciptakan konklusi yang coba bermetafora bahwa mengenai kekuatan persahabatan jadi kurang berarti. Setidaknya riasan dan imbas Istimewa pada titik puncak digarap cukup baik.


Untuk ulasan versi vlog sanggup ditonton di sini:

Ini Lho Halo Makassar (2018)

Kalau film sama menyerupai agama, di mana niat baik telah mendatangkan pahala, saya akan memperlihatkan Halo Makassar evaluasi positif. Film buatan Ihdar Nur yang sebelumnya menjabat sebagai penata kamera di Uang Panai’ (2016) ini tanpa intensi macam-macam. Tidak ada tuntutan berpesan moral, tidak ada propaganda, tidak ada pula niatan sok artsy. Menulis naskahnya bersama Matamatahari, Ihdar Nur cuma ingin menghibur (bedakan “menghibur” dan “jualan”) lewat dongeng cinta berbumbu komedi. Tapi film bukan agama. Niat baik saja tak cukup, sehingga saya harus adil mengakui bahwa kekurangan Halo Makassar menenggelamkan kelebihannya.

Seperti Uang Panai’, bakat komedi berbakat mengisi film ini. Tapi menyerupai Uang Panai’ pula, naskahnya tak mampu menyatukan keping-keping komedi secara rapi, semoga tak terasa kolam kompilasi sketsa. Pun sketsanya menggunakan formula yang terus diulang: Dua sopir taksi, Bimbi dan Mellonk (diperankan Bimbi dan Mellonk) bertingkah bodoh, seringkali terlibat pertengkaran konyol, sebelum diakhiri bunyi klise “Ba Dum Tss”. Lucu? Di beberapa kesempatan, ya. Meski dengan bakat Bimbi dan Mellonk, daya bunuh humornya berpotensi meningkat bila berani menambah tingkat absurditas.
Dua adegan pendek yang tampil sebelum logo rumah produksi menciptakan saya makin mempertanyakan pilihan struktur filmnya.  Salah satu adegannya jadi perkenalan penonton pada Diat (Rizaf Ahdiat), komposer jenius asal Jakarta yang gres mendapatkan pekerjaan menciptakan musik dari satu perusahaan di Makassar. Perusahaan apa? Musik untuk apa? Jangan berharap menerima jawaban. Sebab Diat pun hanya dihubungi via telepon, yang menanyakan, apakah ia mau mendapatkan pekerjaan di Makassar? Tanpa menggali gosip lebih jauh, ia pribadi mengiyakan. Diat memang tak suka basa-basi. Bahkan dalam pertemuan pertama di kantor klien, ia bersikap tak acuh, sibuk dengan alat perekamnya, kemudian melontarkan pernyataan sombong bahwa “musik manis itu biasa”.

Tapi Diat tak membenci sosialisasi. Keramahannya pada puteri pemilik studio rekaman yang masih kecil jadi bukti. Penokohannya memang penuh tanda tanya. Satu hal pasti, bunyi Anggu (Anggu Batari), operator taksi yang diidolakan penumpang lantaran celotehan lucunya, meluluhkan hatinya. Diat pun sibuk merekam bunyi Anggu, melupakan kewajibannya menciptakan musik. Cara bicara Anggu Batari bisa mengingatkan pada pengalaman terpikat bunyi penyiar radio, yang saya yakin, pernah dialami kebanyakan laki-laki. Ditambah polah lucu yang memancarkan aura positif plus senyum manis penyingkap gingsul, Anggu berjasa meniupkan rasa manis dalam romansa dua orang aneh ini.
Anggu mulai menyadari ketertarikan Diat ketika alat rekam sang komposer handal asal ibukota itu tertinggal di taksi. Anggu menemukannya, tapi melanjutkan contoh naskah Halo Makassar yang penuh tanda tanya soal motivasi karakter, ia menunda mengembalikan perekam itu. Apabila ia mempertanyakan intensi Diat, bukankah lebih baik segera mengembalikannya kemudian bertanya pribadi atau melaporkannya pada bos? Keputusan Anggu membuatnya diskors selama tiga hari, menimbulkan taksi-taksi kesulitan memperoleh penumpang, alasannya ialah bunyi Anggu ialah hal yang mereka nantikan. Logis? Tentu tidak. Namun masalahnya bukan soal logika, melainkan kegagalan menjadikan situasi itu kekonyolan abstrak selaku bentuk penolakan Halo Makassar menuruti logika.  
Kekurangan naskahnya terulang di babak simpulan yang buru-buru, nihil puncak emosi dari momen yang telah dibangun sepanjang durasi. Tapi saya tidak terkejut. Pasca mendapati banyak sekali kelemahan sebelumnya, mestinya penonton bisa mencium gelagat kelemahan yang satu ini. Justru tata suaranya yang amat disayangkan. Memiliki tokoh utama seorang komposer yang menyayangi perempuan lantaran suaranya, indera pendengaran saya justru kerap terganggu oleh departemen suara, apalagi ketika musik menampilkan distorsi gitar.   Benar kalau Halo Makassar belum bisa disebut baik. Tapi saya mengajak anda menontonnya, alasannya ialah dengan intensi murni (baca: menghibur) pembuatnya, makin besar pertolongan publik, saya yakin kualitas karya bakal bertambah.


Untuk ulasan versi vlog bisa ditonton di sini:

Ini Lho Terbang: Menembus Langit (2018)

Salah satu adegan dalam Terbang: Menembus Langit memperlihatkan Onggy (Dion Wiyoko) melamar Candra (Laura Basuki). Bagi karakternya, ini momen penting ketika ia menemukan cinta, mitra hidup yang menyokong sekaligus memberi motivasi bagi perjuangannya. Tapi Fajar Nugros (Yowis Ben, Moammar Emka’s Jakarta Undercover) yang bertindak selaku sutradara dan penulis naskah enggan menghantam penonton lewat dramatisasi tinggi. Berlatar warung mie ayam, ia menarik romantisme keluar dari situasi kurang romantis, setidaknya berdasarkan Candra. Kesederhanaan itu mematenkan rasa juga nilai usungan filmnya, yang menimbulkan Terbang, meski masih mempertahankan formula khas melodrama, mempunyai nilai lebih dibanding “rekan-rekan sejawatnya”.

Mengangkat dongeng hidup motivator sukses Onggy Hianata, Nugros justru tak semata menekankan destinasi berupa keberhasilan finansial. Lahir di keluarga sederhana di Tarakan, Onggy selalu terngiang petuah sang ayah (Chew Kin Wah) wacana ketiadaan kebebasan hidup apabila bekerja bagi orang lain. Begitu melancong ke Surabaya kemudian menikah, ia pun nekat meninggalkan pekerjaan kantoran lantaran takut kelak tidak punya waktu menyaksikan tumbuh kembang si buah hati. Saya kerap mendapati penyesalan serupa dialami banyak ayah begitu menyongsong usia senja sementara anak mereka telah “terbang” seorang diri jauh di sana. Keluarga yaitu poin utama Terbang, yang terus Nugros pertahankan hingga konklusi sewaktu ia berani menampilkan bentuk kebahagiaan sederhana ketika banyak penonton mungkin berekspektasi akan gelimag harta.
Bisa dibilang Onggy bukan jenius dalam hal bisnis. Berulang kali ia terbentur kegagalan entah akhir kesalahan taktik maupun tertipu. Sejak kecil pun ia digambarkan tidak secemerlang kakaknya di dingklik sekolah. Ditambah keterbatasan ekonomi, saya pun berpikir, “bagaimana ia bisa sukses?”. “Apa rencananya?”. Selain tekad baja, Onggy digambarkan sebagai laki-laki dengan banyak rencana. Kalimat “aku punya rencana” pun sering terlontar dari mulutnya, walau jangankan memancing keyakinan terhadapnya, filmnya lalai menjabarkan planning apa yang dimaksud. Bahkan Onggy kuliah di jurusan apa pun urung dipaparkan. Karena bagi filmnya, yang penting penonton melihat Onggy bisa menempuh pendidikan di Surabaya, tanah impiannya. Di Surabaya pula Terbang memasuki babak paling menyenangkan berkat sentuhan komedi seputar kehidupan mahasiswa indekos, yang lagi-lagi melukiskan kebahagiaan di tengah kesederhanaan.

Tidak ketinggalan pula pesan nasionalisme, yang meski bisa diperhalus lagi penyampaiannya dengan cara “menunjukkan” alih-alih banyak “menyatakan” secara verbal, tak berkurang relevansinya. Pesan tersebut terang penting disampaikan sekarang. Kegamblangan macam itu memang senjata andalan film inspiratif dan/atau melodrama, tapi untungnya, penokohan Onggy terhindar dari keklisean serupa. Dia pantang menyerah, namun bukan sosok suci. Penonton berkesempatan melihatnya di titik nadir, ketika ia merasa lelah, dan satu-satunya hal yang bisa dilakukan yaitu bersimpuh sambil bertanya pada Tuhan ditemani luapan tangis yang mengambarkan kebolehan Dion Wiyoko mengolah rasa. Chemistry yang dibangun bersama Laura Basuki juga solid, menghasilkan pasangan gampang menggaet simpati walau keduanya gres bertemu ketika film memasuki separuh durasi.
Salah satu tantangan terbesar Nugros di penulisan naskah tak lain menangani fakta bahwa tokoh utamanya merupakan pentolan Multi Level Marketing (MLM) negeri ini, yang bukan tidak mungkin termasuk alasan mengapa Nugros menentukan mengedepankan kekeluargaan. Bayangkan apa respon publik menonton kesuksesan ekonomi aksara yang disebabkan MLM? Fakta itu dikaburkan, dan sayangnya, dari segi naratif keputusan itu menghilangkan beberapa poin krusial. Keseluruhan alurnya memang dipenuhi lompatan berangasan dan bukan cuma yang bersinggungan dengan MLM. Waktu berganti begitu saja, masalah-masalah yang dilontarkan juga berlalu sedemikian kilat.

Pada satu titik, Candra mengalami kontraksi di pasar. Dia segera melahirkan. Candra terjatuh, dan bila saya tidak salah lihat, begitu ia dipapah oleh beberapa orang, perut Laura Basuki tampak mengempis. Ini cacat bagi elemen artistik yang secara keseluruhan terhampar baik. Detail setting dan properti masa lalu, hingga warna yang mengesankan nuansa “hikayat dari kala terdahulu”, semua memanjakan mata. Bicara soal kala terdahulu, Nugros memang tampaknya hendak mengajak penonton kembali, bukan saja menuju masa lalu, pula kembali ke akar, pulang ke rumah, kembali pada keluarga. Dibalik segala kelemahannya, Terbang: Menembus Langit tetap menonjol bila disandingkan dengan film-film lokal bertema usaha inspiratif kebanyakan.

Ini Lho Beirut (2018)


Alkisah, pemerintah Amerika Serikat bergantung pada Mason Skiles (Jon Hamm), seorang negosiator, guna membebaskan seorang sandera di Beirut, Lebanon. Sama mirip film Beirut yang mengandalkan wibawa Jon Hamm yang begitu meyakinkan memerankan diplomat Amerika Serikat untuk Lebanon. Bermodalkan wajah tegas, senyum mempesona, ditambah setelan necis, Mason jago bercerita, aktif berkeliling menyapa satu per satu tamu pesta di rumah mewahnya, dan tak sulit melihat betapa cocok Hamm melakoni kiprah ini. Salah satu dongeng yang dituturkan Mason ialah analogi soal Lebanon.

Menurutnya, Lebanon menyerupai rumah berisi orang-orang yang saling tidak percaya. Beirut memang dipenuhi tokoh-tokoh yang mengundang kecurigaan bahkan berkhianat, entah secara sengaja sebagai bentuk ketamakan, atau cuma menjalankan tugas. Hal kedua dialami Cal Riley (Mark Pellegrino) sahabat Mason sekaligus anggota CIA yang terpaksa menahan bocah Lebanon berusia 13 tahun yang Mason dan sang istri, Nadia (Leïla Bekhti), rawat, atas tuduhan terlibat agresi terorisme yang dijalankan kakaknya di Munich. Karim (Idir Chender) nama bocah itu. Tanpa diduga, upaya penangkapan itu berujung bencana yang mengubah hidup Mason, menghempaskannya.
Perubahan bukan saja dialami Mason, alasannya lebih banyak didominasi tokoh film ini identik dengan dua karakteristik, yakni “tidak bisa dipercaya” dan “berubah lantaran perang”. 10 tahun pasca tragedi, Mason kembali ke Amerika, menjalankan profesi sebagai perantara perusahaan, hidup awut-awutan dalam jeratan alkohol. Mason berubah. Pun sehabis kembali ke Beirut, ia mendapati setumpuk perubahan. Kota yang porak poranda akhir perang saudara, juga beberapa orang terdekat yang sekarang berbalik memusuhinya. Beirut sendiri, layaknya analogi soal rumah di atas, terjebak dalam kepentingan politik internasional. Palestina, Israel, Amerika Serikat, tumpah ruah berebut kendali.

Alasan pemerintah Amerika Serikat meminta (baca: memaksa) Mason kembali tak lain lantaran Cal diculik, dan sang pelaku meminta Mason khusus didatangkan sebagai negosiator. Di sana, beberapa perwakilan pemerintahan membantunya, termasuk Sandy Crowder (Rosamund Pike) si distributor lapangan CIA. Sekali lagi, tak ada yang bisa sepenuhnya dipercaya. Perjalanan Beirut selaku hostage thriller dimulai dengan dipandu naskah buatan Tony Gilroy (trilogi The Bourne), yang sebagaimana biasa, penuh sesak oleh setumpuk intrik rumit, yang bisa memberi dua hasil berlawanan: intensitas mencekat atau penonton tersesat. Beirut sayangnya lebih bersahabat ke kelompok kedua. Saling tipu, kejutan, maupun konspirasi terus dituangkan tanpa ada kepedulian apakah penonton mempunyai cukup kesempatan menyerap seluruhnya.
Tidak hanya penonton, Beirut sendiri tersesat, kebingungan memilih fokus, apakah harus mengedepankan hostage thriller atau drama perihal gejolak batin Mason. Poin kedua sejatinya menarik. Walau menyangkal, secara tersirat Mason turut menyalahkan Cal atas bencana yang menimpanya, sementara Cal pun menyalahkan diri sendiri, yang ditengarai menjadi alasannya tetap tinggal di Beirut selama satu dekade terakhir. Tatkala Mason mesti menyelamatkan Cal, berlangsunglah prosesnya berdamai dengan duka, yang semakin berhasil dilalui, semakin cepat pula luka batinnya sembuh.

Di dingklik sutradara, Brad Anderson (The Machinist, The Call), mungkin bukan Paul Greengrass yang mampu menerjemahkan skenario Tony Gilroy menjadi parade intensitas tingkat tinggi, tetapi Beirut tetap solid, walau banyak sekali musik ritmis kaya ketukan perkusi buatan John Debney bakal mengatakan jenis iringan paling klise dalam suguhan thriller yang telah diterapkan dalam ratusan, ribuan, atau malah jutaan tontonan serupa di luar sana. Setidaknya Brad bisa menjaga kerapatan momentum pun mempunyai kepekaan soal bermain timing, di mana adegan meledaknya sebuah bom jadi titik paling menghentak. Jauh lebih menghentak ketimbang keseluruhan filmnya.