Thursday, November 29, 2018

Ini Lho Gentayangan (2018)

Jangan tonton film ini sendirian. Bukan alasannya yaitu Gentayangan begitu mengerikan, melainkan aneka macam kekurangannya lebih mengasyikkan bila ditertawakan bersama teman-teman. Ketika belakangan perfilman kita dibanjiri horor berkualitas tiarap, Gentayangan jadi makhluk langka. Keburukannya tidak membuat hati panas menyerupai produk-produk MD Pictures, tapi kekonyolan yang termasuk teritori so-bad-it’s-good, hingga nyaris membuatnya layak mendapatkan gelar “Azrax-nya horor tanah air”. Satu-satunya penghalang yaitu masih terdapat “kelemahan konvensional” macam jump scare ala kadarnya yang dibalut musik berisik.

Bukan hasil mengejutkan bila melihat keberadaan Shyam Ramsay, sang legenda horor kelas B Bollywood yang karyanya terdiri atas judul-judul menyerupai Purana Mandir (1984), Veerana (1988), hingga Bandh Darwaza (1990), meski bagi publik Indonesia, mungkin karyanya yang paling dikenal yaitu serial Nagin. Saya menonton beberapa filmnya, sehingga tahu mesti berekspektasi apa dan harus memasang perspektif bagaimana kala menyikapi Gentayangan. Makara sewaktu tali yang menarik Ronny P. Tjandra masih tampak jelas, saya harus menganggapnya sebagai bab hiburan, bukan kelalaian yang wajib dicaci, walau itu bukan suatu kesengajaan.

Ceritanya berpusat pada Abimanyu (Baim Wong) yang terpaksa mengajak keluarganya pindah ke Hotel Kaki Langit peninggalan orang tuanya sesudah bisnisnya bangkrut. Tidak butuh waktu usang hingga hantu-hantu gentayangan mulai mengganggu mereka dalam teror yang terinspirasi dari kengerian di Hotel Overlook milik The Shining (1980). Bahkan beberapa tumpuan terhadap film buatan Stanley Kubrick itu pun bermunculan, menyerupai penggunaan kapak, juga momen ikonik “Here’s Johnny!”.

Masalah finansial Abimanyu tak pernah menemui jalan keluar, tapi saya menyukai bagaimana naskah yang ditulis Adi Nugroho (Kuldesak, Jelangkung, Ruang) menyediakan alasan logis mengapa Abimanyu sekeluarga tidak segera meninggalkan hotel. Kesulitan uang menghilangkan opsi tinggal di daerah lain, ditambah lagi larangan pergi dari pihak kepolisian pasca insiden berdarah mulai terjadi. Saya sanggup mencicipi ada film cantik terkubur dalam Gentayangan (berdasarkan dongeng di balik layar yang saya dengar memang demikian faktanya). Konsep terornya menyiratkan hal serupa. Walau beberapa medioker, ada segelintir yang kreatif, sebutlah “bola kepala” dan hantu perempuan yang terbang, merenggut salah satu huruf dari belakang.

Justru penyutradaraan Shyam Ramsay yang sudah membuat film selama 46 tahun jadi pelaku jatuhnya kualitas Gentayangan. Menolak memperhatikan timing di setiap jump scare, Shyam pun gagal membangun atmosfer, walau hotel dengan sederet patung sebagai properti merupakan modal memadahi guna mencuatkan kesan mencekam berbasis set. Tapi bila bukan alasannya yaitu sang legenda hidup, kita takkan memperoleh barisan kekonyolan. Shyam membiarkan pemainnya berakting buruk, dan acap kali, kombinasi dua aspek itu (penyutradaraan + akting) menghasilkan hiburan tiada tara.

Perihal tersebut, gelar MVP (Most Valuable Player, bukan Multivision Plus) jadi milik Jelita Callebaut yang memerankan Sheila, adik Abimanyu. Menjalani debut yang sayangnya kurang jelita, sang aktris membalikkan badan kolam bintang iklan sampo sedang mengibaskan rambut yang berkibar-kibar. Dia pun kelabakan kala diminta mengikuti pekikan khas para Scream Queens. Teriakannya dipaksakan, kaku, jawaban harus melalui ancang-ancang yang begitu kentara, atau terkadang, menggunakan dua kali tarikan nafas supaya terdengar panjang. Berkat Jelita, pefroma dangkal Nadine Alexandra sebagai Sofia, istri Abimanyu, kalah menonjol.

Bertengger di posisi kedua yaitu Haydar Salishz sebagai Arman yang memukau lewat akting sekaku otot orang yang kurang olahraga. Contohnya sudah dibeberkan oleh trailer. Didorong hantu, Arman tersungkur menabrak meja dalam sebuah pemandangan dibuat-buat konyol. Semakin konyol kala Haydar berteriak datar, “Siapa di situ?!”. Momen emas ini mencapai puncak sesudah Kania (Brianna Simorangkir), kekasih Arman, menjawab “Ada orang di sini? Ada orang di situ? Nggak kelihatan tuh. Jangan-jangan...hantu?”. Sungguh bahan meme yang sempurna. Kasus berbeda dialami Baim Wong yang berusaha keras memberi layer dalam interpretasinya soal frustrasi. Baim berniat menambah dinamika, menolak asal berteriak, coba variatif memainkan intonasi walau tak selalu berhasil dan kadang membuat kelucuan tak disengaja lain.

Artikel Terkait

Ini Lho Gentayangan (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email