Pada dasarnya Bhavesh Joshi Superhero merupakan origin story, sebagaimana telah berulang kali kita saksikan dalam film bertema pahlawan super. Bedanya, menyentil warta sosial lebih dikedepankan ketimbang mengulik ruang personal si calon pahlawan. Bayangkan film Batman, tapi pendalaman abjad Bruce Wayne kalah secara umum dikuasai dibanding paparan korupnya Gotham. Saya menyebut “Batman” lantaran Bhavesh Joshi mengusung pendekatan “realistis”, serupa Batman Begins (2005). Di sebuah sekuen menarik—yang mestinya lebih sering ditampilkan—protagonisnya merangkai sendiri bermacam-macam alat bermodalkan barang bekas seadanya. Pemandangan macam itu mirip obligasi jikalau ingin menciptakan film pahlawan super bernuansa realistis.
Pun serupa babak pembuka trilogi The Dark Knight, plotnya melibatkan rencana jahat untuk menguasai jalan masuk air. Sementara melihat tongkat sebagai senjata si jagoan plus pengembangan poin alur di paruh akhir, pandangan gres lain besar kemungkinan tiba dari serial Daredevil. Dua judul itu mempunyai satu kesamaan: kelam dan berusaha membumi. Di ketika bersamaan, kisah vigilante bertopeng yang nekat terjun ke jalan tanpa kemampuan bela diri apalagi kekuatan super terperinci mengingatkan pada Kick-Ass (2010), yang meski brutal, punya unsur komedi kental. Pendekatan mana yang lebih tepat? Pertanyaan yang tampaknya juga kesulitan dijawab oleh empunya film.
Mari simak cara filmnya dibuka. Tiga sahabat, Bhavesh Joshi (Priyanshu Painyuli), Siku (Harshvardhan Kapoor), dan Rana (Nishikant Kamat) tengah berkumpul membahas kejengahan atas pemerintahan korup serta kecintaan Rana terhadap pahlawan super semenjak kecil. Rana juga yang membuka narasi. Padahal, dibanding Bhavesh maupun Siku, kiprahnya teramat kecil. Sebelum konklusi, pratis beliau cuma spekator dalam agresi Bhavesh-Siku membentuk duo pembasmi kejahatan berjulukan “Insaaf” yang memberantas ketidakdilan di lingkungan, dari penebang liar pohon kota hingga penyedia layanan internet busuk. Poin ini jadi salah satu wujud kebingungan pembuatnya, entah terkait pengembangan narasi atau nuansa film.
Sutradara Vikramaditya Motwane (Udaan, Trapped) memang kurang jeli membungkus timing humor, tapi paruh awalnya terperinci penuh kekonyolan yang cocok mewakili ceritanya. Betapa tidak? Duo Insaaf kolam pahlawan kesiangan yang menggunakan topeng dari tas kertas serta membuatkan agresi mereka melalui video meriah (kalau bukan norak) di internet. Mereka menghentikan penerobos jalur satu arah hanya untuk dipukuli. Hingga agresi mereka mulai menyentuh para pemegang kekuasaan sehingga bahaya bertambah serius, demikian pula filmnya. Tapi perlu diingat, Kick-Ass juga menampilkan bahaya mematikan, tapi urung menanggalkan guyonan. Bukti kalau konflik serius tak wajib dibawakan serius pula. Sesuatu yang mestinya jadi keahlian sineas India kini. Setidaknya, jadilah konsisten. Di paruh kedua, kala rasa kelam telah mengambil alih, filmnya masih sempat menampilkan sikap taat hukum si jagoan yang berhenti ketika lampu merah meskipun musuh-musuhnya tengah mengejar.
Sedangkan paruh pertamanya coba menggali motivasi, alasan di balik keputusan tokoh utamanya mengenakan kostum pahlawan super. Tujuan ini balasannya gagal terpenuhi akhir kurangnya keintiman dalam naskah buatan Vikramaditya Motwane, Anurag Kashyap, dan Abhay Koranne. Fokusnya bukan mengenai “hati” di antara hubungan karakter, melainkan pembahasan warta sosial. Sejatinya pilihan ini turut memperlihatkan nilai positif. Pemikiran saya sempat terprovokasi terkait perdebatan: Apakah agresi Insaaf memberi dampak? Apakah bersikap selurus mungkin bakal mengubah dunia? Perdebatan yang sayangnya berujung inkonklusif, alasannya Bhavesh Joshi Superhero terbentur obligasi untuk banting setir mempresentasikan film pahlawan super, lantaran terlanjur menjual filmnya demikian.
Penonton yang berharap disuguhi baku hantam ala blockbuster mungkin akan kebingungan tatkala mencapai lebih dari satu jam dari total durasi 153 menit, filmnya tak kunjung menghidangkan laga. Begitu yang dijanjikan tiba, saya justru mendapati potensi yang gagal termaksimalkan. Beberapa perpindahan adegan garang nan canggung, teknik pengambilan gambarnya urung menangkap baku hantam brutal berisi pukulan-pukulan peremuk tulang, koreografi yang walau tak jelek terperinci tidak seberapa dinamis, semua itu ialah setumpuk kekurangan yang menghalangi Bhavesh Joshi mencapai puncak potensi. Padahal dengan badan kekar, jenggot lebat, juga wajah tampan dan tegas yang mengingatkan akan John Krasinski, Harshvardhan Kapoor punya kapasitas memerankan vigilante tangguh. Sudahkah saya menyebut ending-nya bagai cerminan ketergesa-gesaan pembuatnya sewaktu menyadari jatah durasi menipis tapi masih terdapat banyak hal untuk dirangkum? Sebuah momen menampilkan karakternya menceritakan kisah mengenai Icarus. Saya justru melihat Bhavesh Joshi Superhero-lah si Icarus.
Ini Lho Bhavesh Joshi Superhero (2018)
4/
5
Oleh
news flash