Thursday, November 29, 2018

Ini Lho Goosebumps 2: Haunted Halloween (2018)

Kalau film pembiasaan Goosebumps pertama (2015) menyerupai penghormatan bagi monster-monster dalam buku horor anak tersebut beserta R. L. Stine sang kreator, maka sekuelnya yang bertajuk Haunted Halloween ialah penerapa gaya narasi Stine, yang sejauh ini telah membentang sampai 231 buku. Tapi keduanya mempunyai satu kesaman, yakni sama-sama berakhir menjadi petualangan keluarga medioker juga sarat keklisean.

Memindahkan lokasi dari Madison ke Wardenclyffe di malam Halloween, strukturnya mengikuti rujukan yang telah kita saksikan ratusan, bahkan ribuan kali. Terdapat tiga protagonis: Sonny (Jeremy Ray Taylor), sahabatnya, Sam (Caleel Harris), dan sang kakak, Sarah (Madison Iseman). Sonny ialah bocah nerd, yang ingin membuat ulang menara penghantar listrik milik Nikola Tesla. Bersama Sam, ia juga menjalankan bisnis memungut barang rongsokan.

Tentu keduanya jadi korban perundungan. Tentu mereka secara tidak sengaja mengumpulkan rongsokan di bekas rumah R. L. Stine (Jack Black), membuka buku karyanya (berjudul Haunted Halloween, buku pertama Stine yang belum sempat diselesaikan), menghidupkan lagi Slappy the Dummy ke dunia manusia. Tentu Madison akan menangkap lembap perselingkuhan kekasihnya di pesta, dalam sebuah sekuen yang bisa dengan gampang kita temukan di film cukup umur manapun. Dan keretakan hubungan cinta itu tak menyimpan signifikansi bagi keseluruhan alur.

Naskah buatan Rob Lieber tidak berusaha memberi pembeda, atau setidaknya, membuat elemen formulaik di atas menarik disimak. Semua hanya pengisi durasi sebelum Slappy menampakkan wujudnya di hadapan Sonny, Sam, dan Sarah. Modus operandi si boneka iblis itu ialah mengontrol kehidupan ketiganya, memperbudak, menghancurkan hidup mereka, yang mana merupakan tipikal teror Goosebumps dan telah menghadirkan mimpi jelek bagi bawah umur pembaca bukunya. Ending-nya pun diisi twist kelam kesukaan R. L. Stine.

Andai saja Goosebumps 2: Haunted Halloween setia mempertahankan elemen tersebut selaku plot device. Sayangnya tidak, alasannya ialah setelahnya, film ini kembali bergerak pasrah mengikuti arus dalam rujukan cerita petualangan anak, di mana hal terpenting ialah menghajar monster-monster, tanpa menekankan teror di pikiran mereka mengenai konsekuensi kalau rencana Slappy berhasil. Padahal itulah keunggulan terbesar Goosebumps, dikala petualangan ringan bisa membaur dengan teror menyeramkan.

Berjalan selama 90 menit, alurnya bergerak cepat, pribadi merangsek ke inti konflik begitu Slappy bangkit, kemudian menghidupkan monster-monster lain. Beberapa sosok dari buku, mirip insan serigala (The Werewolf of Fever Swamp) Abominable Snowman (The Abominable Snowman of Pasadena), sampai para gnomes (Revenge of the Lawn Gnomes), tampil, bersama sekelompok monster baru. Tapi kehadiran mereka sekedar glorified cameo, sebagaimana tugas tidak penting Jack Black, yang seolah dipaksakan ada meski minim alasannya ialah sang pemain drama sibuk terlibat di film setipe, The House with A Clock in Its Walls.

Penyutradaraan Ari Sandel (When We First Met) gagal membuat gelaran agresi menyegarkan, atau paling tidak menghibur, begitu pula gugusan one-liner Slappy yang sama tidak lucunya dengan humor-humor medioker yang kentara diciptakan buru-buru kemudian ditempel secara asal-asalan. Ditutup oleh simplifikasi luar biasa pada konklusinya yang menghapus metode kreatif film pertama (yang juga tribute terhadap kreativitas R. L. Stine) guna menuntaskan konflik, Goosebumps 2: Haunted Halloween sebaiknya dikesampingkan demi penghematan menyongsong sederet film menarik yang segera menyusul di bulan ini.

Artikel Terkait

Ini Lho Goosebumps 2: Haunted Halloween (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email