Thursday, November 29, 2018

Ini Lho The Predator (2018)

Di film ini sesosok Predator (the normal one, not the giant Ultimate Predator) mendarat di Bumi berlandaskan suatu tujuan. Tujuan yang terasa berlawanan dengan serangkaian pembantaian yang ia lakukan. Itulah plot hole terbesar filmnya, alasannya meski Predator yakni monster berharga diri tinggi, liar, ganas, mereka juga makhluk cerdas. Walau bila sang Predator berpikiran jernih, bisa menahan nafsu membunuh, filmnya akan berakhir bahkan sebelum menginjak second act. Saya menjabarkan lubang tersebut di awal biar anda bisa bersiap, sehingga tak perlu terlampau memikirkannya dan bisa duduk santai menikmati “slash slash bang bang” persembahan Shane Black (Iron Man 3, The Nice Guys).

Tidak gampang menciptakan sekuel di seri Predator. Setiap film punya protagonis berbeda tanpa relasi satu sama lain, menimbulkan proses pengembangan abjad tidak mungkin dilakukan. Satu-satunya pilihan hanya memperlebar mitologi para mesin pembunuh berambut dreadlock, dan memang itu yang Black lakukan. Pasca mendarat (darurat) kemudian terlibat konforntasi dengan Quinn McKenna (Boyd Holbrook), penembak jitu Army Rangers yang kebetulan tengah menjalankan misi dan berujung mencuri beberapa teknologi alien, sang Predator dibawa ke akomodasi belakang layar untuk diteliti, salah satunya oleh andal Biologi berjulukan Casey Bracket (Olivia Munn).

Casey menyadari anomali dalam DNA Predator, yang Black dan Fred Dekker (RoboCop 3) pakai di naskah hasil goresan pena mereka guna menjelaskan alasan Predator gemar mendatangi Bumi, sekaligus menegaskan tidak dianggapnya eksistensi dua judul Alien vs. Predator. Anda akan tahu “kenapa” saat tujuan kedatangan Predator selama ini diungkap. Pembangunan mitologi lain dilakukan lewat pengenalan Ultimate Predator, pemburu para pemburu, yang berburu bersama anjing-anjing raksasa (Predogtor? Predadog?) yang juga berambut dreadlocks. Menurut Casey, rambut tersebut berfungsi sebagai penghantar sinyal. Ultimate Predator lebih besar, lebih kuat, tapi caranya beraki kolam monster kurang cendekia ketimbang mesin pembunuh taktis layaknya Predator orisinal. Makara bila ada pertanyaan apakah ia menyeramkan, jawabannya “Tidak”.

Namun Shane Black berbekal kekhasan penulisannya terang tak berniat menciptakan The Predator sebagai horor kelam nan serius. Diperlihatkan kala kita bertemu sekelompok veteran perang bermasalah yang terdiri atas pengidap Tourette, ADHD, PTSD, dan lain-lain. Quinn, yang coba dibungkam sebagai saksi pendaratan Predator, termasuk salah satunya. Bergantian mereka melontarkan lelucon, khususnya Coyle (Keegan-Michael Key) dengan “mulut busuknya”. Tanpa penokohan mendalam, tidak pula memorable, setidaknya kehadiran mereka menghasilkan momen-momen menyenangkan. Trevante Rhodes paling menonjol, piawai menangani kalimat demi kalimat, menciptakan abjad Nebraska bagai mitra yang bisa diajak bicara hati-ke-hati di malam hari sembari menenggak sebotol bir dengan nyaman.

Keputusan Black memacu kencang The Predator sayangnya kerap menghalangi beberapa humor—yang dibawakan dengan apik oleh jajaran pemain—mencapai potensi puncak akhir comedic timing-nya sering berantakan, buru-buru melaju sebelum penonton bisa memproses banyolannya secara menyeluruh. Tapi saat berhasil, tawa yang dihasilkan tidak tanggung-tanggung, apalagi Black menolak malu-malu mengumbar kekonyolan, termasuk melalui komedi slapstick.

Serupa film agresi popcorn masa lalu, khususnya kurun 80an, The Predator digeber kencang, diiringi baku tembak serta kejar-kejaran pesawat yang semuanya gaduh, tanpa pernah berniat menginjak rem. Sebuah keputusan sempurna melihat tipisnya alur yang cuma diisi segelintir eksposisi mitologi, yang apabila dijajarkan, takkan berjalan hingga 15 menit. Singkatnya, ibarat film agresi oldskul saat seorang hero masuk hutan dan menghabisi sepasukan lawan seorang diri. Tapi ibarat film agresi oldskul pula, Black menyimpan amunisi sebagai ganti ketiadaan jalinan dongeng solid, yaitu gore. Predator mengunyah kepala manusia, menyayat perut hingga segala isinya berhamburan, mencabik-cabik wajah mereka, menyemburkan darah ke segala penjuru ruangan. Kebrutalan The Predator akan memuaskan para pencari sadisme over-the-top, termasuk berkat kepiawaian Black merangkai formasi momen ajal kreatif. Mungkin sulit mengingat detail penokohan tiap orang, tapi tidak dengan cara mereka meregang nyawa.

Boyd Holbrook yakni leading man yang solid, meyakinkan mengangkat senjata pula menebar senyum kharismatik. Begitu pun Olivia Munn yang sanggup berdiri tegak dalam franchise yang selama ini identik, atau tepatnya diawali dengan parade machismo Arnold Schwarzenegger dan kawan-kawan 31 tahun lalu. Turut tampil yakni Jacob Tremblay, memerankan putera Quinn, Rory McKenna, pengidap autisme sekaligus seorang bocah jenius yang sanggup mengakali peralatan canggih milik Predator. Tremblay sebagaimana biasa tampil apik, dan rasanya bakal memainkan tugas besar di kelanjutan seri ini (jika dibuat), mengingat benih yang ditanam pada konklusi The Predator merujuk pada sekuel yang lebih futuristik.

Artikel Terkait

Ini Lho The Predator (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email