Sebagaimana mestinya komedi satir, Gila Lu Ndro! menyindir realita dengan humor. Diharapkan, penonton tertawa sembari merenungkan kejadian yang tengah disaksikan. Namun film keempat sutradara Herwin Novianto (Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara, Tanah Surga...Katanya, Jagad X Code) ini di satu titik lupa akan niatnya memberikan sesuatu alasannya terlampau sibuk berusaha sekonyol mungkin, sebaliknya, di titik lain getol berceramah sehingga lalai melucu. Mau yang mana pun, bobot pesannya berujung terlemahkan.
Guna memahami poin utama film ini, kita perlu mengikuti kisah yang dituturkan Indro (Tora Sudiro) kepada sang istri, Nita—nama istri Indro Warkop di dunia nyata—yang diperankan Mieke Amalia, yang cukup beruntung mendapat jatah kalimat-kalimat terlucu dalam naskah garapan Upi (Tusuk Jelangkung, My Stupid Boss, Sweet 20) bersama “anak didiknya”, Aline Djayakusuma. Deretan kalimat tersebut kebanyakan berfungsi mengutarakan keheranan sekaligus kekesalannya terhadap kisah abstrak sang suami yang mengaku bertemu Al (Indro Warkop) alias Alien, Raja dari planet Alienus.
Sebagai Raja, Al merasa perlu menemukan jalan menuntaskan konflik tak berkesudahan antara warga Alienus. Untuk itulah beliau mencari “Sumber Damai”, yang konon dimiliki Bumi. Dibantu Indro, Al pun melaksanakan perjalanan mengitari Bumi (baca: Jakarta), menemui ragam kejadian yang filmnya pakai sebagai alat menyindir isu-isu sosial di sekitar. Mulai dari yang mereka lihat pribadi menyerupai penyebaran hoax, penerimaan suap oleh polisi, pembeli yang menawar harga semaunya, dialog singkat soal kegemaran wakil rakyat tidur pulas tatkala sidang, hingga baliho berupa undangan berdoa (alih-alih mengusahakan jalan keluar) apabila terkena banjir.
Jadi apa yang Gila Lu Ndro! tawarkan demi menuntaskan segala dilema di atas? Al sebagai Raja merupakan metafora pemimpin bangsa ini, dan filmnya secara gamblang nan lantang menyebut bahwa turun ke jalan menemui rakyat pribadi alias blusukan merupakan jalan keluar. Kata “blusukan” bahkan Indro ucapkan, meniadakan ruang bagi kesubtilan. Daripada “merasakan”, rasanya menyerupai disuapi oleh Indro, yang penokohannya bisa dirangkum dalam 2 kata, “penengah konflik”. Tidak lebih, tetapi bisa kurang. Sebab di beberapa situasi, beliau bahkan tak menengahi permasalahan, sebatas berdiri, mengamati, atau malah kabur.
Bagaimana dengan kita? Para insan biasa, bukan pemimpin bangsa atau alien dengan sumber daya tanpa batas. Sejujurnya sulit dipahami jawaban masing-masing problematika tak memiliki relasi pasti, seolah tanpa citra besar untuk disampaikan. Terkesan, tiap dilema dipilih bukan atas dasar kebutuhan narasi, melainkan dari pertimbangan, “mana yang paling konyol”. Bahkan ada subplot dikala Al mendapat tugas di sebuah film buatan Alex Abbad sehabis seluruh pemain menolak hadir di lokasi. Apa kaitannya dengan pencarian kedamaian?
Untunglah, walau membayangi pesannya, komedi film ini bisa memproduksi tawa. Masih terjadi inkonsistensi, meleset di sana-sini khususnya ketika Herwin Novianto tampak kurang cakap mengatur timing, namun berhasil juga sempurna target di banyak sisi berkat sederet inspirasi kreatif Aline dan Upi, yang tetap mengedepankan kelucuan ketimbang berusaha seaneh mungkin (like you-know-who). Saya suka setiap kali Nita memotong kisah Indro, yang dibungkus lewat banyak sekali cara unik.
Berlawanan dengan sang istri, Tora kurang lepas membanyol alasannya di dikala bersamaan dibebani tugas selaku penyampai pesan moral. Sebaliknya, Indro melakoni tugas layar lebar terlucunya pasca masa Warkop DKI, dengan humor cross-dressing di final merupakan momen terbaik. Keseluruhan Gila Lu Ndro! memang lucu. Penonton yang mengisi penuh studio kawasan saya menonton terang terpuaskan. Apabila cuma bertujuan memancin tawa, maka film ini sukses. Tapi Gila Lu Ndro! ingin menjadi lebih.....dan gagal. Coba tanyakan pada penonton yang tergelak sepanjang film mengenai intisari filmnya, besar kemungkinan mereka tidak bisa mengutarakan jawaban pasti.
Ini Lho Aneh Lu Ndro! (2018)
4/
5
Oleh
news flash