Thursday, November 29, 2018

Ini Lho The Nun (2018)

The Nun ialah korban benturan kepentingan artistik dengan potensi finansial. Para pembuatnya, yang digawangi sutradara Corin Hardy (The Hallow) serta James Wan sebagai produser, sadar bahwa seri The Conjuring butuh napas baru. Tapi sepenuhnya berpindah jalur sanggup “mengkhianati” ekspektasi penonton yang—pasca kesuksesan 4 filmnya meraup lebih dari $1,2 miliar berkat segala cirinya—sudah mantap ingin disuguhi tontonan mirip apa: straight up haunted house ride.

Naskah karya Gary Dauberman (Annabelle: Creation, It) menyenggol area petualangan berbumbu fantasi ala The Mummy (1999) milik Stephen Sommers, tapi tak memiliki cukup nyali untuk total beralih ke sana (detailnya bakal dibahas nanti). Lokasinya sendiri, yang kali ini berlatar waktu tahun 1952 atau 25 tahun sebelum The Conjuring 2 (2016), beralih dari rumah bau tanah ke biara tua, yang sejatinya tak mengandung banyak pembeda terkait pemanfaatannya sebagai panggung teror mistis.

Masih dalam ruang remang-remang, perbedan terbesar justru berupa hal negatif, di mana ketiadaan “keluarga serasi dalam bahaya hantu” turut meniadakan keintiman kaya rasa yang jadi nilai tambah formasi installment The Conjuring. Kini abjad utamanya ialah Irene (Taissa Farmiga), seorang novice yang diutus oleh Vatikan membantu penyelidikan Pendeta berjulukan Burke (Demián Bichir) terhadap insiden bunuh diri seorang suster di suatu biara di Rumania. Tragedi tersebut bertindak selaku momen pembuka The Nun, yang menyiratkan misteri di balik sosok Valak, namun malah meninggalkan lubang alur menganga terkait modus operandi sang hantu ternama, yang membutuhkan badan guna memasuki dunia manusia.

Dibantu laki-laki setempat, Frenchie (Jonas Bloquet), keduanya berusaha mencari kebenaran menyibak tabir rahasia, yang sebagaimana tagline-nya, merupakan “Babak tergelap dalam dunia The Conjuring”. Benar bahwa biara yang alih-alih suci justru jadi sarang iblis ialah gagasan kelam, tapi tak terpapar besar lengan berkuasa akhir urung dibarengi story arc mendukung soal para protagonisnya.  Keduanya tidak mempertanyakan kepercayaan masing-masing, bahkan keduanya nyaris tidak melewati proses internal sepanjang durasi. Patut disayangkan mengingat Bichir, sang peraih nominasi Oscar, niscaya sanggup menangani tugas kompleks semacam itu.

Walau sama-sama terdiri dari laki-laki dan perempuan yang bersahabat dengan hal-hal magis, dinamika Burke-Irene dan Ed-Lorraine mirip langit dan bumi. Tanpa chemistry, tanpa lapisan karakterisasi. Irene diceritakan menyimpan “bakat” serupa Lorraine, namun kurang digali untuk menghasilkan konflik batin mumpuni. Setelah di awal kesulitan memahami kemampuan itu, tiba-tiba dia sanggup mengendalikan tanpa menempuh proses apa pun, lantaran naskahnya memerlukan cara mengakhiri konflik. Jangan kaget apabila pada sekuelnya nanti, Lorraine dan Irene diceritakan punya korelasi darah sebagaimana kedua aktris pemerannya di dunia nyata.

Teror di sekitar karakter, yang merupakan alasan utama penonton berbondong-bondong meramaikan bioskop, gagal menjadi wahana pemacu jantung. Seperti sedikit disinggung sebelumnya, penyebabnya tak lain peleburan parade jump scare dengan petualangan sarat aksi. Keduanya berbeda. Saya mengibaratkan jump scare layaknya tabrak lari. Fasenya kurang lebih berjalan begini: penonton menunggu–hantu muncul secara mengejutkan–hantu menghilang. Trik ini bertujuan melonjakkan intensitas, kemudian memberi penonton kesempatan bernapas sembari menunggu hentakan berikutnya. Sementara petualangan/aksi, walau bisa mengagetkan, menekankan pada momen “pasca”. Karakter dituntut berjibaku melawan makhluk yang muncul, membangun intensitas kontinyu daripada sekali waktu.

Hardy acap kali kelabakan menyatukan dua elemen tadi, khususnya sepanjang second act. Pembangunan tensi yang perlahan terperinci mengikuti contoh horor James Wan, tetapi kemunculan Valak dan kompatriotnya sesama makhluk mistik ditangani kolam serbuan monster yang sekedar muncul di layar, minim elemen kejut, kemudian menantang sang satria beradu fisik. Namun sebelum sabung fisik mencapai puncak ketegangan sebagaimana mestinya film aksi/petualangan berkualitas, makhluk tersebut lenyap. Hardy berusaha menggabungkan dua contoh yang terbukti tidak berjodoh.

Penelusuran misteri sempat menarik di paruh awal. Sederet tanya terkait asal muasal Valak, juga misteri di balik perilaku asing para biarawati, menyuntikkan cukup daya tatkala jump scare kehilangan taring sementara potensi humor segar tersia-siakan dikarenakan Hardy kurang piawai memainkan comic timing. Namun begitu serangkaian tanya menemukan titik terang, yang dijabarkan lewat eksposisi plus flashback pendek, daya cengkeram alurnya ikut memudar. Jangan harap memperoleh latar belakang rumit perihal Valak. Selalu cuma ada satu balasan bagi pertanyaan “Dari mana iblis berasal?”.

Klimaks ialah momen sewaktu The Nun kesudahannya berani melangkah lebih jauh ke lingkup petualangan. Mengetengahkan pencarian benda pusaka sambil diselingi pertarungan kontak fisik yang tidak lagi hadir malu-malu (bahkan melibatkan senjata), terciptalah hiburan yang tiba terlambat. Ambisi melahirkan spin-off bernuansa lain layak diberi nilai tambah, tapi kalau Wan dan rekan-rekan berharap terus memperpanjang sekaligus memperlebar cakupan dunia The Conjuring, formula supaya warna gres dan signature lamanya bisa disatukan perlu segera ditemukan.

Artikel Terkait

Ini Lho The Nun (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email