Friday, November 30, 2018

Ini Lho Halo Makassar (2018)

Kalau film sama menyerupai agama, di mana niat baik telah mendatangkan pahala, saya akan memperlihatkan Halo Makassar evaluasi positif. Film buatan Ihdar Nur yang sebelumnya menjabat sebagai penata kamera di Uang Panai’ (2016) ini tanpa intensi macam-macam. Tidak ada tuntutan berpesan moral, tidak ada propaganda, tidak ada pula niatan sok artsy. Menulis naskahnya bersama Matamatahari, Ihdar Nur cuma ingin menghibur (bedakan “menghibur” dan “jualan”) lewat dongeng cinta berbumbu komedi. Tapi film bukan agama. Niat baik saja tak cukup, sehingga saya harus adil mengakui bahwa kekurangan Halo Makassar menenggelamkan kelebihannya.

Seperti Uang Panai’, bakat komedi berbakat mengisi film ini. Tapi menyerupai Uang Panai’ pula, naskahnya tak mampu menyatukan keping-keping komedi secara rapi, semoga tak terasa kolam kompilasi sketsa. Pun sketsanya menggunakan formula yang terus diulang: Dua sopir taksi, Bimbi dan Mellonk (diperankan Bimbi dan Mellonk) bertingkah bodoh, seringkali terlibat pertengkaran konyol, sebelum diakhiri bunyi klise “Ba Dum Tss”. Lucu? Di beberapa kesempatan, ya. Meski dengan bakat Bimbi dan Mellonk, daya bunuh humornya berpotensi meningkat bila berani menambah tingkat absurditas.
Dua adegan pendek yang tampil sebelum logo rumah produksi menciptakan saya makin mempertanyakan pilihan struktur filmnya.  Salah satu adegannya jadi perkenalan penonton pada Diat (Rizaf Ahdiat), komposer jenius asal Jakarta yang gres mendapatkan pekerjaan menciptakan musik dari satu perusahaan di Makassar. Perusahaan apa? Musik untuk apa? Jangan berharap menerima jawaban. Sebab Diat pun hanya dihubungi via telepon, yang menanyakan, apakah ia mau mendapatkan pekerjaan di Makassar? Tanpa menggali gosip lebih jauh, ia pribadi mengiyakan. Diat memang tak suka basa-basi. Bahkan dalam pertemuan pertama di kantor klien, ia bersikap tak acuh, sibuk dengan alat perekamnya, kemudian melontarkan pernyataan sombong bahwa “musik manis itu biasa”.

Tapi Diat tak membenci sosialisasi. Keramahannya pada puteri pemilik studio rekaman yang masih kecil jadi bukti. Penokohannya memang penuh tanda tanya. Satu hal pasti, bunyi Anggu (Anggu Batari), operator taksi yang diidolakan penumpang lantaran celotehan lucunya, meluluhkan hatinya. Diat pun sibuk merekam bunyi Anggu, melupakan kewajibannya menciptakan musik. Cara bicara Anggu Batari bisa mengingatkan pada pengalaman terpikat bunyi penyiar radio, yang saya yakin, pernah dialami kebanyakan laki-laki. Ditambah polah lucu yang memancarkan aura positif plus senyum manis penyingkap gingsul, Anggu berjasa meniupkan rasa manis dalam romansa dua orang aneh ini.
Anggu mulai menyadari ketertarikan Diat ketika alat rekam sang komposer handal asal ibukota itu tertinggal di taksi. Anggu menemukannya, tapi melanjutkan contoh naskah Halo Makassar yang penuh tanda tanya soal motivasi karakter, ia menunda mengembalikan perekam itu. Apabila ia mempertanyakan intensi Diat, bukankah lebih baik segera mengembalikannya kemudian bertanya pribadi atau melaporkannya pada bos? Keputusan Anggu membuatnya diskors selama tiga hari, menimbulkan taksi-taksi kesulitan memperoleh penumpang, alasannya ialah bunyi Anggu ialah hal yang mereka nantikan. Logis? Tentu tidak. Namun masalahnya bukan soal logika, melainkan kegagalan menjadikan situasi itu kekonyolan abstrak selaku bentuk penolakan Halo Makassar menuruti logika.  
Kekurangan naskahnya terulang di babak simpulan yang buru-buru, nihil puncak emosi dari momen yang telah dibangun sepanjang durasi. Tapi saya tidak terkejut. Pasca mendapati banyak sekali kelemahan sebelumnya, mestinya penonton bisa mencium gelagat kelemahan yang satu ini. Justru tata suaranya yang amat disayangkan. Memiliki tokoh utama seorang komposer yang menyayangi perempuan lantaran suaranya, indera pendengaran saya justru kerap terganggu oleh departemen suara, apalagi ketika musik menampilkan distorsi gitar.   Benar kalau Halo Makassar belum bisa disebut baik. Tapi saya mengajak anda menontonnya, alasannya ialah dengan intensi murni (baca: menghibur) pembuatnya, makin besar pertolongan publik, saya yakin kualitas karya bakal bertambah.


Untuk ulasan versi vlog bisa ditonton di sini:

Artikel Terkait

Ini Lho Halo Makassar (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email