Thursday, November 29, 2018

Ini Lho Adrift (2018)

Sepasang kekasih (or soo-to-be one) berenang di telaga. Mereka tertawa ditemani matahari yang bersinar dari kejauhan, memberi kesan romantis hangat di isu terkini panas yang hangat, sementara Where’s My Love milik SYML mengalun lembut di belakang. Elemen-elemen audiovisual tersebut dikemas mengikuti hukum dasar “How to make a romantic scene”. Keseluruhan Adrift mengikuti hukum dasar, menentukan bermain aman, namun itulah mengapa filmnya bekerja dengan baik. Sutrdara asal Islandia, Baltasar Kormákur (Contraband, 2 Guns, Everest), hanya perlu menangani hal-hal esensial di tengah proses produksi berat di tengah lautan yang memakan waktu beberapa minggu.

Adrift merupakan penyesuaian buku non-fiksi Red Sky in Mourning: A True Story of Love, Loss, and Survival at Sea buatan Tami Oldham Ashcraft dan Susea McGearhart, yang mengangkat usaha Tami bertahan hidup di bahari lepas selama 41 hari pasca kapalnya mengalami kecelakaan. Pertama kita bertemu Tami (Shailene Woodley), kapalnya telah rusak parah dihantam badai. Dia berteriak, mencari tunangannya, Richard (Sam Claflin). Keduanya sedang berlayar dari Tahiti menuju San Diego, dalam rangka mengantarkan kapal pesiar “Hazana” ketika Badai Raymond menerjang. Lalu kita dibawa mundur menuju momen pertemuan mereka.

Skenario garapan Aaron Kandell, Jordan Kandell, dan David Branson Smith memakai narasi non-linier, melompat antara dua linimasa: usaha di tengah bahari dan kebersamaan senang Tami-Richard. Pilihan bentuk itu bertujuan menguatkan dampak emosi, di mana berulang kali, sesaat sehabis mengunjungi kebahagiaan, kita segera dilempar menuju penderitaan. Tidak selalu berjalan mulus, tapi chemistry Woodley dan Claflin cukup berpengaruh untuk tampak meyakinkan sebagai pasangan yang sama-sama yakin telah menemukan tambatan selesai masing-masing. Menyenangkan melihat mereka bersama, dan itu menguatkan pesan filmnya, adalah mengenai cinta yang memberi kekuatan.

Poin utamanya memang bukan soal detail bertahan hidup, walau sesekali kita melihat apa yang Tami lakukan, dari membuatkan layar, mengumpulkan sisa makanan, atau memperbaiki kerusakan di sana-sini. Adrift bukan perihal apa yang Tami lakukan, melainkan apa yang mendorongnya melaksanakan itu. Apa yang menyuntikkan kekuatan, apa yang menyokongnya agar senantiasa berdiri walau berulang kali dijatuhkan. Jawabannya tentu saja “cinta”. Sounds too cheesy? Probably, you haven’t found true love then.

Woodley memerankan karakternya dengan baik. Karakter yang menyatakan keengganan untuk pulang, hingga semesta mengabulkan undangan itu, yang justru menimbulkan keinginannya kembali ke rumah lebih besar dari sebelumnya. Karakter yang ingin mengarungi samudera tanpa ujung dengan cinta selaku layar pencetus sekaligus jangkar yang menjaganya bertahan di realita. Performa itu sayangnya direcoki keputusan para penulis naskah sepenuhnya menanggalkan kesubtilan bertutur. Woodley dituntut menyebutkan hampir semua yang ia lihat, rasakan, dan insiden apa yang sedang terjadi selaku alat penjelas kepada penonton, walau di banyak kesempatan, bahasa visual saja sudah cukup. Kadang sang aktris nampak kolam sedang bermain di B-movie, di mana karakternya meneriakkan detail segala peristiwa.

Babak pertengahannya sewaktu rintangan yang karakternya hadapi semakin terjal, Adrift justru seolah terhanyut dalam contoh penceritaan kondusif miliknya. Fase ini menentukan bagi penonton, apakah menentukan mengalah dalam dinamika yang perlahan surut, atau tetap bertahan, berlayar memasuki titik puncak yang bakal mencengkeram kuat. Kormákur mengurung protagonisnya dalam topan raksasa dibungkus imbas visual meyakinkan serta tata bunyi bombastis, sementara saya di kursi penonton dibentuk tak berdaya dicengkeram ketegangan, meski intensitasnya sesekali naik-turun tanggapan lompatan latar waktu alurnya. Karena mendadak pindah ke bahari damai terang menurunkan tensi, sehinnga perlu usaha lebih untuk melambungkannya kala filmnya kembali memasuki gempuran badai.

Konklusinya menyentuh, sekali lagi berkat kemampuan Baltasar Kormákur menangani elemen-elemen formulaik. Menyoroti soal memori, sambil (lagi-lagi) ditemani alunan lagu akustik manis, kali ini Picture in A Frame-nya Tom Waits, Kormákur sukses membangun epilog emosional. Bukan disebabkan pembangunan konsisten yang terbayar lunas, melainkan kepandaian sang sutradara memanipulasi rasa melalui formula. Bukan cara pandai apalagi segar, tapi efektif. Adrift pun bukan film luar biasa, tapi terang tontonan yang bekerja dengan baik.

Artikel Terkait

Ini Lho Adrift (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email