Friday, November 30, 2018

Ini Lho Terbang: Menembus Langit (2018)

Salah satu adegan dalam Terbang: Menembus Langit memperlihatkan Onggy (Dion Wiyoko) melamar Candra (Laura Basuki). Bagi karakternya, ini momen penting ketika ia menemukan cinta, mitra hidup yang menyokong sekaligus memberi motivasi bagi perjuangannya. Tapi Fajar Nugros (Yowis Ben, Moammar Emka’s Jakarta Undercover) yang bertindak selaku sutradara dan penulis naskah enggan menghantam penonton lewat dramatisasi tinggi. Berlatar warung mie ayam, ia menarik romantisme keluar dari situasi kurang romantis, setidaknya berdasarkan Candra. Kesederhanaan itu mematenkan rasa juga nilai usungan filmnya, yang menimbulkan Terbang, meski masih mempertahankan formula khas melodrama, mempunyai nilai lebih dibanding “rekan-rekan sejawatnya”.

Mengangkat dongeng hidup motivator sukses Onggy Hianata, Nugros justru tak semata menekankan destinasi berupa keberhasilan finansial. Lahir di keluarga sederhana di Tarakan, Onggy selalu terngiang petuah sang ayah (Chew Kin Wah) wacana ketiadaan kebebasan hidup apabila bekerja bagi orang lain. Begitu melancong ke Surabaya kemudian menikah, ia pun nekat meninggalkan pekerjaan kantoran lantaran takut kelak tidak punya waktu menyaksikan tumbuh kembang si buah hati. Saya kerap mendapati penyesalan serupa dialami banyak ayah begitu menyongsong usia senja sementara anak mereka telah “terbang” seorang diri jauh di sana. Keluarga yaitu poin utama Terbang, yang terus Nugros pertahankan hingga konklusi sewaktu ia berani menampilkan bentuk kebahagiaan sederhana ketika banyak penonton mungkin berekspektasi akan gelimag harta.
Bisa dibilang Onggy bukan jenius dalam hal bisnis. Berulang kali ia terbentur kegagalan entah akhir kesalahan taktik maupun tertipu. Sejak kecil pun ia digambarkan tidak secemerlang kakaknya di dingklik sekolah. Ditambah keterbatasan ekonomi, saya pun berpikir, “bagaimana ia bisa sukses?”. “Apa rencananya?”. Selain tekad baja, Onggy digambarkan sebagai laki-laki dengan banyak rencana. Kalimat “aku punya rencana” pun sering terlontar dari mulutnya, walau jangankan memancing keyakinan terhadapnya, filmnya lalai menjabarkan planning apa yang dimaksud. Bahkan Onggy kuliah di jurusan apa pun urung dipaparkan. Karena bagi filmnya, yang penting penonton melihat Onggy bisa menempuh pendidikan di Surabaya, tanah impiannya. Di Surabaya pula Terbang memasuki babak paling menyenangkan berkat sentuhan komedi seputar kehidupan mahasiswa indekos, yang lagi-lagi melukiskan kebahagiaan di tengah kesederhanaan.

Tidak ketinggalan pula pesan nasionalisme, yang meski bisa diperhalus lagi penyampaiannya dengan cara “menunjukkan” alih-alih banyak “menyatakan” secara verbal, tak berkurang relevansinya. Pesan tersebut terang penting disampaikan sekarang. Kegamblangan macam itu memang senjata andalan film inspiratif dan/atau melodrama, tapi untungnya, penokohan Onggy terhindar dari keklisean serupa. Dia pantang menyerah, namun bukan sosok suci. Penonton berkesempatan melihatnya di titik nadir, ketika ia merasa lelah, dan satu-satunya hal yang bisa dilakukan yaitu bersimpuh sambil bertanya pada Tuhan ditemani luapan tangis yang mengambarkan kebolehan Dion Wiyoko mengolah rasa. Chemistry yang dibangun bersama Laura Basuki juga solid, menghasilkan pasangan gampang menggaet simpati walau keduanya gres bertemu ketika film memasuki separuh durasi.
Salah satu tantangan terbesar Nugros di penulisan naskah tak lain menangani fakta bahwa tokoh utamanya merupakan pentolan Multi Level Marketing (MLM) negeri ini, yang bukan tidak mungkin termasuk alasan mengapa Nugros menentukan mengedepankan kekeluargaan. Bayangkan apa respon publik menonton kesuksesan ekonomi aksara yang disebabkan MLM? Fakta itu dikaburkan, dan sayangnya, dari segi naratif keputusan itu menghilangkan beberapa poin krusial. Keseluruhan alurnya memang dipenuhi lompatan berangasan dan bukan cuma yang bersinggungan dengan MLM. Waktu berganti begitu saja, masalah-masalah yang dilontarkan juga berlalu sedemikian kilat.

Pada satu titik, Candra mengalami kontraksi di pasar. Dia segera melahirkan. Candra terjatuh, dan bila saya tidak salah lihat, begitu ia dipapah oleh beberapa orang, perut Laura Basuki tampak mengempis. Ini cacat bagi elemen artistik yang secara keseluruhan terhampar baik. Detail setting dan properti masa lalu, hingga warna yang mengesankan nuansa “hikayat dari kala terdahulu”, semua memanjakan mata. Bicara soal kala terdahulu, Nugros memang tampaknya hendak mengajak penonton kembali, bukan saja menuju masa lalu, pula kembali ke akar, pulang ke rumah, kembali pada keluarga. Dibalik segala kelemahannya, Terbang: Menembus Langit tetap menonjol bila disandingkan dengan film-film lokal bertema usaha inspiratif kebanyakan.

Artikel Terkait

Ini Lho Terbang: Menembus Langit (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email