Friday, November 30, 2018

Ini Lho Mission: Impossible - Fallout (2018)

Film aksi, biar menghadirkan ketegangan dan decak kagum bagi penonton, harus sama menyerupai pistol yang ditembakkan jagoannya. Semakin banyak amunisi, semakin besar kemungkinan kena sasaran. Tapi bukan berarti bisa dilakukan asal membabi buta. Aneka sudut maupun taktik mesti dicoba. Fallout, yang masih digawangi Christopher McQuarrie (Jack Reacher, Mission: Impossible – Rogue Nation) sebagai sutradara sekaligus penulis naskah, membawa bekal banyak amunisi berbentuk formasi set piece aksi, yang masing-masing kolam dibentuk dengan tujuan mengungguli sekuen sebelumnya. And to breathe normally throughout the whole movie, is indeed an impossible mission for the audience.

Formula alur masih serupa. Ethan Hunt (Tom Cruise) harus menghentikan agresi terorisme berskala global (menghancurkan negara, menyebar virus mematikan, menguasai sumber daya, dll.), sementara pemerintah menutup mata dan telinga, bahkan tak jarang berbalik mengejarnya. Pun kali ini, musuh lamanya kembali, yakni Solomon Lane (Sean Harris) yang berhasil Hunt penjarakan di Rogue Nation. Rutinitas ini pasti segera melelahkan disaksikan, tapi Cruise, menginjak usia 56 tahun, masih belum lelah melakoni rutinitas yang menciptakan tiap seri Mission: Impossible berkali-kali lipat lebi seru. Apalagi kalau bukan melaksanakan stunt-nya sendiri.

Cruise terjun bebas dari pesawat yang terbang di ketinggian 9 kilometer, mengendarai sepeda motor dengan kecepatan penuh di tengah keramaian kota, berlari di atap gedung, bergelantungan kemudian mengendarai helikopter. Tentu ada santunan CGI, tapi minimum, sebatas untuk menghapus tali atau alat pengaman lain, kecuali dikala Cruise dan Henry Cavill, yang memerankan August Walker si biro CIA brutal, melompat dari pesawat dan mesti menghadapi langit mendung serta petir CGI. Sayang, polesan yang dibutuhkan menambah intensitas itu justru mengurangi keaslian adegan.

Ya, kekuatan Fallout, dan seri Mission: Impossible setidaknya semenjak Ghost Protocol (2011), yaitu keaslian. Minim layar hijau pembentuk latar palsu, tidak ada pemakaian quick cut berlebihan, dan dengan sungguh-sungguh melaksanakan aksinya, Cruise bisa menampilkan ekspresi (takut, cemas, terkejut, lega) nyata. Sementara McQuarrie dan sinematografer Rob Hardy pun terfasilitasi untuk menaruh kamera di mana pun mereka mau tanpa perlu repot memutar otak supaya penonton tak melihat wajah stuntman (because there wasn’t any). Kamera ditempatkan di benda yang terlibat pribadi dalam aksi, menyerupai motor atau jendela helikopter, menghasilkan sensasi gerakan intens, alasannya yaitu penonton dibentuk seolah berada di tengah-tengah peristiwa.

Terkadang wide angle digunakan selaku establishing shot guna memperlihatkan bahwa lokasi berlangsungnya agresi yaitu nyata, bukan kreasi komputer. Kita tahu di tiap aksi-aksi ajal tersebut, Ethan beserta timnya akan berakhir unggul, tetapi McQuarrie bisa memunculkan kesan, walau hanya sepersekian detik, kalau kali ini, mereka takkan keluar hidup-hidup. Tengok konklusi klimaksnya yang ditutup oleh pemandangan dramatis berupa Tom Cruise bersama cahaya matahari senja.

Plotnya memang urung mengatakan gebrakan baru, namun bukan berarti penulisan McQuarrie malas. Beberapa eksposisi terdengar berbelit, tapi masih memungkinkan diikuti. Dan pastinya, sebagai film soal biro rahasia, yang mana bekerja juga mengandalkan otak alih-alih hanya otot, banyak sekali kejutan yang secara umum dikuasai berasal dari trik-trik berakal protagonis kita pun tersebar, menjadi tikungan demi tikungan yang menjaga film ini bernyawa. Pameran teknologi Fallout tidak sevariatif Ghost Protocol, di mana topeng kembali jadi andalan, tapi McQuarrie, yang paham akan ancaman repetisi, muncul dengan pandangan gres pandai sarat kejutan biar taktik itu tetap segar.  

Satu elemen penting yang Hunt miliki, dan kompatriotnya sesama kepetangan fiktif macam Jason Bourne atau James Bond tidak, yaitu huruf pendukung menarik yang aktif terlibat dalam misi. Interaksi Hunt dan timnya menarik, bukan sebatas selipan penyegar, melainkan pondasi penting franchise ini. Kesan bila mereka telah memahami satu sama lain sehabis melalui serangkaian misi berbahaya amat terasa. Ilsa (Rebecca Ferguson) masih tangguh, Benji (Simon Pegg) tetap ahlinya memancing tawa, dan Luther (Ving Rhames), secara mengejutkan memberi salah satu momen berperasaan yang juga membawa kita sejenak mendekati ruang personal Ethan Hunt.

Cavill dengan kumis tersohor miliknya sayangnya kurang dimaksimalkan. Penokohan sebagai “tukang bersih-bersih” CIA yang tak kenal ampun seketika lenyap begitu beliau terjun ke lapangan. Sejatinya ini bisa dimengerti, alasannya yaitu seramai apa pun jajaran pemainnya, Mission: Impossible merupakan “Film Tom Cruise”. Wajar bila sang aktor, yang turut merangkap produser, enggan karakternya tersaingi, apalagi sehabis melewati serangkaian agresi gila. Lalu apa esensi kumis Cavill? Bisakah kumis itu dibentuk menggunakan CGI layaknya undangan Warner Bros kepada Paramount? Jelas bisa. Hasilnya akan lebih meyakinkan daripada menghapus kumis. Paramount bagai ingin mempermainkan WB, dan berhasil. Sama menyerupai keberhasilan menjaga franchise ini terus hidup selama 22 tahun dan 6 film.

Artikel Terkait

Ini Lho Mission: Impossible - Fallout (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email