Friday, November 30, 2018

Ini Lho Sicario: Day Of The Soldado (2018)

Sicario pertama (2015) bicara soal “sosok putih”, distributor FBI berjulukan Kate Macer (Emily Blunt), yang mempelajari realita abu-abu sehabis ditampar keras oleh ambiguitas budbahasa di mana aturan tak berlaku. Pada sekuelnya, giliran dua sosok “penampar” Kate lah yang mendapati bahwa ketiadaan aturan mereka pun nampak higienis di hadapan intrik kotor politik internasional. Di satu kesempatan, distributor CIA Matt Graver (Josh Brolin) menyuarakan kejengahannya pada sang atasan, Cynthia Foards (Catherine Keener), bahwa langkah yang diambil pemerintah takkan mengubah apa pun. Respon Cyhnthia menciptakan Matt, si prajurit brutal nihil aturan tampak kolam bocah naif.

Ada pula dua muda-mudi terlibat dalam konflik: Isabela Reyes (Isabela Moner), puteri bungsu seorang pimpinan kartel Meksiko yang di sekolahnya bisa bersikap layaknya bos durjana tanpa takut tersentuh eksekusi guru, dan Miguel Hernandez (Elijah Rodriguez), berilmu balig cukup akal Meksiko-Amerika yang ingin menjadi kriminal. Seperti Kate di film pertama, Isabela dan Miguel bagai domba, tapi di sini, domba-domba itu berlagak layaknya serigala, sampai kesudahannya nasib mempertemukan mereka dengan kawanan serigala sungguhan yang tengah berperang. Apakah domba-domba ini akan jadi mangsa, kembali ke habitatnya, atau bertransformasi menjadi predator pula? Konklusinya memberi siratan cukup terperinci bagi arah bundar kehidupan yang bakal mereka tempuh.

Day of the Soldado membahas dua pokok problem yang belakangan makin kerap menyulut kontroversi, khususnya di Amerika, yakni serbuan teroris aneh serta imigran. Tapi Taylor Sheridan (Sicario, Wind River, Hell or High Water) yang masih menulis naskahnya tak tertarik menjabarkan “Apa yang seharusnya dilakukan?”, melainkan “Apa yang selama ini sudah dilakukan dari di balik layar”. Setidaknya berdasarkan perspektif Sheridan, yang membuka filmnya pribadi lewat hantaman mencekat dan menegangkan berupa agresi bom bunuh diri. Sayang, ketegangan di tingkatan setara gagal terulang di sisa durasi. Kementrian Pertahanan mengutus Matt guna menutup jalur para terors yang diselundupkan oleh kartel di Meksiko.

Taktik memecah-belah diterapkan. Kembali dibantu Alejandro (Benicio del Toro), Matt menculik puteri pimpinan kartel, Isabela, kemudian mengaturnya semoga tampak ibarat perbuatan kartel saingan. Tujuannya semoga kedua belah pihak saling menghancurkan tanpa perlu campur tangan pemerintah Amerika, yang nantinya diperlukan memutus mata rantai terorisme. Meski kalau ditanya mengenai definisi terorisme, Matt menjawab, “Tugas Menteri Pertahanan untuk menyematkan definisi itu ke siapa”. Di sini Sheridan tengah menyentil wacana Amerika, sang negeri adidaya, bisa pengelompokkan “si baik” dan “si jahat” sesuai kepentingan mereka.

Artinya, ambiguitas pendahulunya masih dipertahankan. Sheridan menegaskan ketiadaan kepastian soal siapa mitra maupun lawan, yang diwakili suatu momen yang ia tulis secara cerdas tatkala Isabela berhasil “diselamatkan” dari kurungan penculik. Tapi tidak semua momen tampil secerdik itu. Ada kalanya rencana Sheridan pintar, ada kalanya tidak masuk akal. Atau mungkin di dalam imajinasinya, itu masuk akal, hanya saja, akhir kebencian Sheridan terhadap eksposisi (diakuinya sendiri), banyak poin terkesan membingungkan. Bahkan lebih membingungkan ketimbang film pertama lantaran kali ini konspirasi bertambah rumit seiring skala yang turut membesar, juga melibatkan lebih banyak pihak. Kadang kebingungan tersebut mensugesti intensitas.  

Untung penyutradaraan Stefano Sollima (Suburra) solid. Mengusung tempo lebih cepat, toh kita tetap bisa menemukan pergerakan kamera yang melayang lambat khususnya dalam establishing shot, yang mengingatkan akan gaya Denis Villeneuve. Masih dipertahankan pula musik atmosferik nan menghantui, walau departemen musik kini ditangani Hildur Guðnadóttir, menggantikan mendiang Jóhann Jóhannsson. Tidak mengherankan, alasannya ialah keduanya pernah berkolaborasi di Mary Magdalene (2018), dan Guðnadóttir pernah memainkan cello dalam Arrival (2016) yang musiknya digubah Jóhannsson. Sayang, meski tetap sedap dipandang, sinematografi Dariusz Wolski (The Martian, Prometheus) nyatanya tak seindah karya Roger Deakins.

Tidak ada Emily Blunt yang kehadirannya berfungsi sebagai kacamata penonton mengintip kerasnya dunia kriminalitas, namun Day of the Soldado masih punya Josh Brolin dan Benicio del Toro, dua pemain film yang bisa menebarkan aura machismo cukup dengan duduk membisu atau bertutur secara kasual. Karakter peranan del Toro memperoleh story arc bersifat personal selaku lanjutan film pertama, yang lagi-lagi Cuma berujung sempilan di tengah tanpa imbas emosi. Tidak ada pilihan lain. Apabila Sheridan begitu getol ingin menguatkan elemen drama di sekitar Alejandro, ia membutuhkan filmnya sendiri. Sementara Brolin memantapkan status sebagai “actor of the year”. Pasca Thanos, Cable, kemudian Matt, pesan yang muncul jelas: “Jangan macam-maca dengan Josh Brolin!”.

Konklusinya membuka lapang bermacam-macam kemungkinan untuk dongeng masa depan andai seri Sicario dilanjutkan. Kemungkinan yang rasanya nyaris tidak berujung mengingat kriminalitas dan konspirasi politik merupakan jalur utamanya. Tapi di waktu bersamaan, konklusi tersebut melucuti citra kerasnya dunia gelap milik seri Sicario, di mana semestinya tak ada pihak yang kondusif dalam daerah sekelam nan semematikan ini. Sicario: Day of the Soldado tidak se-memorable pendahulunya, tidak pula mengandung teror yang sama kuatnya, tetapi sebagai sajian aksi/thriller semata, Day of the Soldado memperlihatkan cengkeraman cukup kencang.

Artikel Terkait

Ini Lho Sicario: Day Of The Soldado (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email