Friday, December 28, 2018

Ini Lho As The Gods Will (2014)

Takashi Miike kembali menjadi seorang jenius gila yang tahu caranya bersenang-senang dalam pembiasaan manga berjudul Kami-sama no Iu Toori (As the Gods Will) ini. Setelah menghabiskan beberapa tahun terakhir mencari uang untuk makan (Miike menyampaikan itu) lewat film-film ringan macam Ninja Kids dan Ace Attorney, memang sudah saatnya ia kembali menjadi Miike yang dicintai banyak orang. Kekerasan penuh darah, situasi abstrak yang hadir seenaknya, sampai komedi gelap yang hitam pekat ialah apa saja yang bakal kita temui dalam film ini. As the Gods Will adalah jawaban kalau ada seseorang bertanya "kenapa sang sutradara begitu suka mengadaptasi manga?" Jawabannya mudah. Karena dari bahan buku komik, Miike sanggup menemukan keluasan fantasi yang dengan gampang memfasilitasi keliaran gayanya. Seolah ia menemukan kebebasan mengekspresikan kegilaan komikal yang mengakar berpengaruh dalam jiwanya. 

Bagaikan tidak sabar, Miike sudah menyodorkan boneka Daruma yang sanggup bergerak, bicara, bahkan membunuh orang sedari awal film. Sekelompok siswa Sekolah Menengan Atas terkurung dalam kelas tanpa tahu apa-apa dan dipaksa menjalani permainan maut oleh Daruma tersebut. Sebuah permainan tradisional sederhana, dimana ada satu orang berjaga (Daruma) sambil melantunkan sebaris lirik sedangkan pemain lainnya (siswa) harus bergerak mendekatinya tanpa ketahuan. Jika Daruma berbalik dan mendapati ada yang bergerak/bicara, siswa tersebut akan mati. Cara mereka mati pun dikemas sadis tapi komikal. Kepala mereka meledak, tapi tidak hanya darah yang muncrat, melainkan kelereng berwarna merah dalam jumlah besar. Semua itu hanya awal. Awal dari rangkaian permainan tradisional lain yang dimainkan secara mematikan, alasannya pemenang dari tiap babak akan lanjut ke permainan lain yang lebih sulit dan tentunya lebih berbahaya. Takashi Miike telah menciptakan Battle Royale versinya lewat film ini.
Mengingatkan pada Battle Royale karena survival games yang hadir tidak hanya menguji kecepatan berpikir, namun juga fisik serta psikologis pesertanya. Ada beberapa momen dimana kepercayaan dan kesetiaan pada teman-teman mereka diuji. Tapi toh As the Gods Will tidak mempunyai atau lebih tepatnya tidak berusaha mempunyai drama persahabatan menyentuh ibarat film yang diperbandingkan. Satu-satunya drama yang menerima fokus lebih ialah hubungan antara sang huruf utama, Shun Takahata (Sota Fukushi) dengan dua orang sobat wanitanya. Mereka ialah Ichika Akimoto (Hirona Yamazaki) yang merupakan sobat Shun sedari kecil, dan Shoko Takase (Mio Yuki) yang sempat bersahabat dengannya ketika Sekolah Menengah Pertama dulu. Selipan cinta segitiga di tengah kekacauan abstrak penuh darah semacam ini memang terdengar menggelikan. Jika dipaksakan dramatis, bukan kesan emosional berpengaruh yang hadir, namun justru kekonyolan dalam konteks negatif. 

Namun tentu saja Miike sadar akan hal tersebut. Dia membiarkan drama itu mengalir seadanya, tidak berusaha melaksanakan penggalian lebih. Bagaimana pada kesannya semua itu terasa emosional ialah ketika Miike bertransformasi dari orang gila menjadi seorang yang kejam. Dengan kejamnya, ia memanfaatkan tiga aspek: adegan final hayat sadis, wajah bagus nan polos dari Mio Yuki, serta kondisi sebatang kara dari Shun. Alhasil sesudah semua ini berakhir, saya yang masih merasa sakit jawaban "tusukan" mendalam dari Miike dibentuk mencicipi kehampaan serupa dengan karakternya. Ending yang seharusnya senang itu pun jadi terasa kosong (in a positive way) ketika penonton dibentuk bertanya-tanya "lalu untuk apa berusaha lolos dari semua ini?" 
Sepanjang film, karakternya sering bermonolog dalam hati guna memohon, bertanya, bahkan mengutuk segala tindakan Tuhan. Seperti yang tersurat dalam perkataan Shun, "Tuhan itu tidak ada, kalau memang ada maka Dia sangat kejam." Kemudian kalau penonton bertanya kenapa, bagaimana dan untuk apa, mungkin Miike dengan santainya bakal menjawab "semuanya sudah merupakan kehendak Tuhan." Mungkin ceritanya merupakan perwujudan cerdas mengenai orang-orang yang merasa diperlakukan tidak adil oleh Tuhan. Atau sanggup saja semua ini hanyalah escapism dari Miike yang tidak mau repot-repot menjelaskan asal muasal makhluk-makhluk gila pembawa maut tersebut. Karena kalau ditanya, toh lagi-lagi ia sanggup menjawab "semuanya kehendak Tuhan." Sebenarnya yang manapun tidak masalah, alasannya keduanya sama-sama berhasil menyuguhkan tontonan menyenangkan. Mungkin pertanyaan di atas akan terjawab oleh sekuelnya kelak kalau dibuat.

Dibalik segala kebrutalan dan keabsurdan sureal yang menyenangkan, poin terbaik As the Gods Will adalah permainan-permainan mautnya. Memberikan twist pada game tradisional, menyaring aturannya, kemudian mengubahnya menjadi rangkaian permainan mematikan ialah wangsit yang segar. Setiap permainan mempunyai lawan berbeda, setting berbeda, hukum berbeda, ujian berbeda, dan konsekuensi yang berbeda pula. Hal itu menciptakan perjalanan film ini tidak pernah membosankan, selalu bergerak dalam kecepatan serta intensitas yang stabil. Ditambah imbas CGI yang meski tidak terlalu mahal namun bersinkronisasi tepat dengan tone "tidak serius" khas seorang Takashi Miike, kesenangan yang dihadirkan film ini pun seolah tak ada habisnya.

Artikel Terkait

Ini Lho As The Gods Will (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email