Friday, December 28, 2018

Ini Lho The Nightmare (2015)

Dulu saya cukup sering mengalami apa yang orang Jawa (saya tidak tahu sebutan di kawasan lain) bilang "ketindihan", atau dari bahasa lebih scientific disebut sleep paralysis. Salah satu yang paling mengerikan terjadi kurang lebih tiga tahun lalu. Seluruh tubuh tidak dapat digerakkan (gejala standar), kemudian tubuh merinding membuat pikiran saya mengasosiasikan bahwa ada kehadiran makhlus halus di dalam kamar, sampai tiba-tiba saya ibarat berada di tengah hutan. Kondisi tubuh masih tidak dapat digerakkan, tidak dapat pula berteriak. Mulailah terdengar bunyi asing yang menyuruh untuk melihat kearah semak-semak sempurna di depan saya. Semakin usang pandangan terfokus kesana, semakin saya merasa ada suatu hal mengerikan di baliknya. Lalu mendadak sepasang mata berwarana merah menyala tampak dari balik semak-semak diiringi bunyi teriakan menyayat layaknya scoring film Insidious. Saya pun terbangun. Mungkin hampir tiap orang pernah mengalami itu meski detail yang dirasakan atau dilihat berbeda. Lewat The Nightmare, Rodney Ascher merangkum dongeng dari delapan narasumber yang sering mengalami sleep paraylisis kemudian ia visualisasikan.

Reka ulang yang dilakukan Ascher mengakibatkan dokumenter ini kental dengan aura horor. Bahkan pada karenanya The Nightmare jauh lebih berhasil sebagai horor murni daripada dokumenter yang berfungsi melaksanakan penggalian terhadap sebuah isu. Sama ibarat karya Ascher sebelumnya yaitu Room 237, tidak ada satupun pakar dari bidang bersangkutan yang memperlihatkan keterangan. Segala informasi yang membentuk narasi, murni berasal dari dongeng delapan orang narasumbernya. Hal tersebut mengakibatkan filmnya kurang mempunyai pegangan dalam eksplorasi. Meski berjumlah cukup banyak, orang-orang ini berasal dari pihak yang sama, yakni mereka dengan sleep paralysis. Pada karenanya meski pengalaman masing-masing berbeda, sudut pandang yang dimunculkan kurang lebih sama. Tidak peduli walaupun ada yang menggunakan perspektif agama dan ada pula yang sains, semuanya memperlihatkan penuturan serupa: their sleep paralysis are beyond explanation. Lalu apa? 
Tidak banyak hal gres yang dapat penonton ambil lewat film ini. Keseluruhan 90 menit film ini tidak ada bedanya dengan dialog yang terjadi ketika tengah duduk bersama teman-teman kita membicarakan pengalaman mistis. Menyenangkan, mengerikan dan membuat kita ingin mendengar lebih. Tapi semua itu hanya dongeng yang subjektif tanpa ada penyeimbang dari sumber lain. Kita tidak tahu apakah narasumber ini menyatakan 100% kebenaran. Bisa saja mereka memberi bumbu, dapat saja semuanya kebohongan, atau dapat saja ialah kebohongan yang tidak mereka sadari. Sebagai contoh, salah satu narasumber menceritakan pengalamannya didatangi dua makhluk ibarat alien ketika usianya masih 1,5 tahun. Seseorang dapat saja mengingat sebuah memori yang kurang sempurna atau bahkan sama sekali berbeda untuk kemudian secara tidak sadar mereka percayai sebagai sebuah kebenaran. Apalagi pengalaman itu diceritakan terjadi puluhan tahun kemudian ketika masih balita. Miskonsepsi memori amat mungkin terjadi. 
Apakah The Nightmare masih dapat disebut penggalian lebih dalam akan sleep paralysis? Bagi saya tidak. Daripada menggali lebih dalam, film ini coba menggali di lebih banyak lubang tanpa kedalaman yang berarti. Tujuan Rodney Ascher memang hanya menghimpun sebanyak mungkin cerita, tanpa membuat polemik maupun pencerahan terhadap objek utamanya. Seperti Room 237, kita sebagai penonton hanya diajak mendengarkan dongeng subjektif yang tidak dapat lagi diganggu gugat. Mereka karam dalam dongeng mereka, begitu percaya akan apa yang mereka yakini, tak ubahnya seorang tokoh agama radikal. Saya sama sekali tidak menyatakan segala omongan mereka itu bohong. Karena salah satu dongeng narasumber hampir sama persis ibarat yang saya deskripsikan di atas. Saya termasuk yang percaya bahwa sleep paralysis secara medis memang ada, tapi "ketindihan" secara mistis juga ada. Dua buah fenomena yang serupa tapi tak sama. Masalahnya, Rodney Ascher tidak memperlihatkan sudut pandang lain untuk memperkuat statement yang diusung filmnya. Bagai sebuah karya tulis yang mengambil rujukan dari ocehan pengguna media sosial.

The Nightmare adalah dokumenter lemah, tapi justru merupakan horor yang cukup efektif. Sebagai kisah positif yang didokumentasikan tanpa dasar teori kuat, film ini bagaikan fiktif. Tapi dipandang sebagai fiktif, pengemasannya sebagai dokumenter justru membuat film ini terasa nyata. Ironis memang, tapi The Nightmare justru berhasi memunculkan apa yang seringkali gagal dilakukan mockumentary horror dewasa ini, yaitu membuat kengerian yang seakan-akan sungguh terjadi. Pengemasan Ascher bagai membawa kita kedalam mimpi buruk. Atmosfer eerie, rasa seperti melayang di kehampaan, kemunculan bayangan hitam misterius yang perlahan mendekat, suara-suara chaotic nan disturbing, lengkap dengan lighting remang didominasi neon merah-biru, setidaknya film ini sukses mewujudkan situasi sleep paralysis dengan meyakinkan. Terasa menakutkan, apalagi jikalau pengalaman anda termasuk yang divisualisasikan oleh film ini. Bagi saya sendiri, kemunculan bayangan hitam berwarna merah sukses membuat bulu kuduk berdiri, rasa tidak nyaman hadir, dan seketika saya menengok sekeliling ruangan berharap tidak ada sosok mengerikan berdiri disana.

Artikel Terkait

Ini Lho The Nightmare (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email